China Kembangkan Pesawat Hipersonik

Selasa, 06 Maret 2018 - 08:56 WIB
China Kembangkan Pesawat...
China Kembangkan Pesawat Hipersonik
A A A
BEIJING - Tim peneliti Akademi Sains China mengklaim telah mengembangkan pesawat hipersonik yang mampu terbang dengan kecepatan 6.000 km per jam atau lebih dari lima dari kecepatan cahaya.

Pesawat hipersonik itu bisa mengangkut penumpang dan kargo dari Beijing ke New York hanya dalam waktu dua jam saja. Padahal, penerbangan dengan pesawat komersial bisa memakan waktu selama 13,5 jam.

“Pesawat itu mampu terbang dari Beijing ke New York hanya dua am dengan kecepatan hipersonik,” kata Cui Kai, pemimpin penelitian pesawat hipersonik China, dilansir The Independent.

Tim peneliti juga sudah menguji coba model jet tersebut dalam terowongan angin dan mampu terbang dengan kecepatan 8.600 km per jam. Jika dibandingkan dengan pesawat Concorde mampu terbang dengan kecepatan 2.179 km per jam. Desain pesawat yang disebut dengan I Plane memiliki dua sayap lebar untuk mengurangi turbulensi dan guncangan.

Menurut desainer pesawat militer China yang enggan disebutkan namanya, pesawat hipersonik itu akan menjadi "pengubah permainan". "Kita berbicara tentang sesuatu seperti pesawat pengebom supersonik," ujarnya dilansir South China Morning Post.

Dia juga memuji desain pesawat tersebut karena para peneliti tersebut bisa membuat pesawat hipersonik itu bekerja. Itu juga akan menjadi langkah besar dalam pengembangan teknologi hipersonik.

Sebenarnya pesawat hipersonik itu merupakan pesawat yang mampu terbang di atas lima kali kecepatan suara. Pesawat itu bisa digunakan untuk meluncurkan misil, seperti senjata api, dengan target yang jauh.

Melansir BBC, dari segi desain pesawat hipersonik memerlukan sesuatu yang dapat meminimalisir perlambatan di udara. Sebab, semakin cepat sebuah pesawat, semakin besar pula masalah perlambatan. “Laju pesawat berbanding lurus dengan kecepatan kuadrat. Jika kecepatan dilipatgandakan, perlambatan akan meningkat empat kali lipat," ungkap Profesor Nicholas Hutchins dari Universitas Melbourne.

Tim peneliti Beijing juga berupaya mengatasi masalah ini dengan merancang lapisan sayap kedua di atas sayap utama. Mereka kemudian mengujinya dengan menempatkan model miniatur di dalam terowongan angin. Namun, proyek tersebut masih jauh dari uji coba dan lepas landas di lapangan udara.

Beijing baru berbicara mengenai pesawat hipersonik saat ini dan itu sangatlah terlambat. Dalam pandangan Kevin Bowcutt, peneliti senior pesawat hipersonik di Boeing Research and Techology, berbicara mengenai teknologi hipersonik merupakan suatu kemungkinan yang bisa diwujudkan. “Saya pikir kita memiliki teknologi itu sekarang dan kita bisa mewujudkannya,” ujar Bowcutt kepada NBC.

Jauh sebelum China, Amerika Serikat (AS) sudah lama mengembangkan pesawat hipersonik. Washington telah lama mengembangkan X-51 Waverider. Pesawat hipersonik yang dibuat oleh Boeing dan mampu terbang dengan kecepatan 5 Mach atau 5.300 km per jam. Pesawat itu dikembangkan bersama antara Angkatan Udara AS, DARPA, NASA, Boeing, dan Pratt & Whitney Rocketdyne. Pesawat ini pertama kali diuji coba terbang pada 26 Mei 2010.

Selain itu, Falcon Hypersonic Technology Vehicle 2 (HTV-2) juga merupakan pesawat hipersonik yang dikembangkan DARPA. Pesawat tanpa awak itu memiliki peluncur roket dan memiliki kecepatan Mach 20 atau 13.000 mil per jam. Dengan begitu, pesawat itu bisa terbang dari New York City ke Los Angeles kurang dari 12 menit. Pesawat itu diujicoba pada 22 April 2010.

Pesawat hipersonik yang mampu terbang dengan kecepatan Mach 5 dikendalikan dengan mesin scramjetyakni sebuah mesin jet yang menghisap udara dan menggunakan udara tersebut untuk menyedot bahan bakar. Mesin semacam ini hanya dapat digunakan pada kecepatan Mach 5 dan di atasnya. Kemudian agar pesawat dapat lepas landas dan mengudara, diperlukan mesin jet tambahan.

Beberapa pakar berpendapat mesin jet tambahan itu bisa saja berasal dari sebuah mesin jet konvensional yang lebih dahsyat, namun pada akhirnya dibutuhkan kombinasi kedua jenis mesin. “Selama dua tahun terakhir ada program yang berlangsung di Cina untuk merancang mesin tersebut," kata profesor Michael Smart, kepala bidang studi pendorong hipersonik di Universitas Queensland. "Itu bakal menjadi terobosan yang sebenarnya," katanya.

Menuju Komersial?
Pertanyaannya kini adalah apakah pesawat hipersonik bisa masuk dalam ranah komersial. Semenjak kebangkrutan Concorde yang notabene adalah pesawat supersonik saa mengalami kegagalan. Pesawat buatan Inggris-Prancis itu dianggap sebagai pesawat masa depan ketika pertama kali lepas landas pada 1969. Namun, hanya beberapa unit yang dibuat hingga akhirnya dipensiunkan pada 2003 tanpa muncul penggantinya.

Concorde menjadi simbol kegagalan teknologi pesawat supersonik. Efek gelombang kejut Concorde mengharuskan pesawat itu diperbolehkan terbang di atas kecepatan suara pada saat melintasi samudera. Akibatnya, pesawat itu memili rute terbatas sehingga merugikan maskapai penerbangan. Bukan hanya karena teknologi, tetapi harga tiket pesawat Concorde yang sangat mahal bagi para wisatawan. Apalagi, tren wisata berbiaya terbatas menjadi tren.

Dampakkegagalan Concorde berdampak bagi maskapai penerbangan. Mereka tidak tertarik membeli pesawat supersonik yang mahal dan tidak efektif. Akibatnya, banyak peneliti hanya masih berkutat dalam tahap pengembangan pesawat hipersonik dan supersonik. Maskapai khawatir jika tiket pesawat hipersonik akan lebih mahal dan gelombang kejut yang dihasilkan akan lebih besar.

Namun demikian, masih banyak perusahaan yang mengembangkan pesawat supersonik. Mereka mencoba optimistis jika pesawat. Salah satunya adalah Boom, perusahaan start-up AS yang berharap membuat penerbangan supersonik kembali terwujud. Selain itu, Aerion bekerja sama dengan Lockheed Martin dan GE Aviation untuk mengembangkan pesawat supersonik kelas bisnis.

Kemudian, Spike Aerospace juga berencana membuat pesawat supersonik kelas bisnis, namun dengan konfigurasi sayap dan mesin yang berbeda. Ada lagi, pesawat hipersonik A2 rancangan Reaction Engines. Pesawat ini dirancang mengangkut penumpang dari Eropa ke Australia kurang dari lima jam.

Dalam pandangan Ellis Taylor dari Flight Global, perlu "setidaknya 15 hingga 20 tahun" sebelum pesawat semacam itu realistis dari segi komersial. "Saat ini sulit melihat pasar pesawat seperti itu," ujarnya.

Menurut Taylor, faktanya, dilihat dari sejarah, harga tiket pesawat telah menurun bukannya naik dan bakal sulit menarik penumpang dalam jumlah banyak untuk penerbangan hipersonik. "Pesawat itu akan dinikmati kalangan yang sangat, sangat terbatas. Dan tentu akan mempersulit ekonomi maskapai komersial secara signifikan," ujarnya.

Kemudian, keinginan China mengembangkan pesawat hipersonik tidak lepas dari pengaruh persaingan dengan militer AS. Apalagi, laporan media China menunjukkan para ilmuwan yang berada di balik penelitian pesawat hipersonik juga bekerja untuk militer Beijing. Itu menunjukkan China memang berambisi membuat pesawat hipersonik untuk kepentingan pertahanan.

"Sepanjang sejarah AS selalu memimpin, namun Cina mengejar dengan sangat cepat," kata Profesor Smart. Dia menambahkan, rencana pembuatan pesawat hipersonik, sekecil apapun kemajuannya, merupakan penanda mengenai ambisi China. (Andika Hendra)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1351 seconds (0.1#10.140)