Robot Dapat Beradaptasi seperti Hewan
A
A
A
Saat sejumlah orang khawatir robot-robot dapat bangkit dan melawan manusia, masih ada penghalang besar pada robot-robot itu, yakni mereka mudah rusak.
Riset baru diharapkan dapat membuat robot-robot lebih tangguh dengan melengkapi mereka dengan software khusus yang dapat membantu mereka belajar cara pulih dari luka hanya dalam waktu dua menit atau kurang. Harapannya, algoritma pembelajar ini akan membantu menghasilkan robot otonom yang lebih efektif yang tidak banyak memerlukan campur tangan manusia.
Robot-robot itu juga dapat bertahan lebih lama dalam situasi kritis seperti di tempat kerja atau operasi search and rescue (SAR). Untuk studi itu, para peneliti dari Pierre and Marie Curie University dan Universitas Wyoming meniru perilaku binatang sesungguhnya.
Saat seekor binatang terluka, mereka dapat mengimbangi dengan berjalan pincang, mengubah titik berat mereka atau menggunakan strategi lain. Banyak anjing tiga kaki yang dapat menangkap frisbee misalnya, atau jika keseleo pergelangan kakinya, mereka tetap dapat mencari cara berjalan dengan luka tersebut.
“Saat terluka, binatang tidak mulai belajar dari awal,” ungkap Jean-Baptiste Mouret, seorang peneliti dalam studi itu. “Malah, mereka secara intuisi memiliki cara lain untuk berperilaku. Intuisi ini memungkinkan mereka untuk secara cerdas memilih beberapa perilaku berbeda untuk dicoba dan setelah tes ini, mereka memilih salah satu cara yang bekerja dengan rasa sakit lebih sedikit,” papar Mauret.
Dia menjelaskan, “Kami membuat robot yang dapat melakukan tindakan yang sama.” Sebelum robot itu dikembangkan, robot itu menggunakan algoritma baru yang dapat menciptakan detail peta ruangan. Menurut peneliti, peta ini mewakili intuisi robot tentang apa perilaku yang dapat dilakukan.
Pada dasarnya, robot dapat membangun perpustakaan gerakan berbeda dan menetapkan bagian tubuh mana yang dapat diandalkan jika mengalami luka, bahkan jika robot itu kakinya rusak atau hilang. Membuat robot dapat memetakan semua skenario itu akan membutuhkan waktu terlalu lama dan dapat berpotensi merusak peralatan, jadi para peneliti memetakannya dalam simulasi komputer.
“Dalam melakukannya, mereka dapat menguji dan memetakan lebih dari 13.000 cara berjalan yang berbeda, termasuk dengan kaki rusak dan hilang, serta untuk kaki robot dengan pergelangan yang rusak dalam 14 cara berbeda,” papar studi tersebut. Para peneliti menyebut proses ini sebagai algoritma cerdas trial and error sehingga robot dapat beradaptasi dalam berbagai situasi hanya dalam waktu dua menit atau kurang.
Setelah robot mengalami kerusakan, robot bertindak seperti peneliti, mencoba perilaku yang berbeda, dan tidak melakukan yang tidak dapat bekerja. “Kami memiliki robot-robot yang menyimpan pengetahuan dari pengalaman sebelumnya dalam bentuk peta ruang perilaku kinerja,” ujar para peneliti, dikutip Daily Mail.
Para peneliti menjelaskan, “Dipandu dengan peta ini, satu robot yang rusak mencoba cara perilaku berbeda yang diprediksi dapat berjalan baik, saat tes dilakukan, berbagai perubahan memperkirakan kinerja untuk tipe-tipe perilaku itu.” “Proses berakhir saat robot memprediksi bahwa perilaku paling efektif telah ditemukan.
Hasilnya robot dapat segera menemukan jalan untuk mengimbangi kerusakan tanpa memahami detail mekanistik penyebabnya, seperti terjadi pada binatang,” papar para peneliti.
Pada masa lalu, para peneliti dapat mengembangkan robot yang dapat melakukan diagnosis sendiri, tapi mereka menggunakan sensor-sensor yang mahal yang memerlukan waktu untuk mengembangkan rencana kontingensi, seperti berjalan dengan pincang.
Dengan studi ini, para peneliti berharap dapat memberi robot-robot daya tahan lebih lama dalam situasi berbahaya dan sensitif. Misalnya, robot yang dapat memperbaiki diri sendiri dapat berada dalam situasi sangat berbahaya bagi manusia, seperti saat kebakaran hutan, menyelamatkan korban yang terperangkap atau menonaktifkan pembangkit listrik tenaga nuklir.
“Ini dapat memungkinkan pembuatan robot yang dapat membantu para penyelamat tanpa mengharuskan mereka langsung turun tangan. Ini juga memudahkan pembuatan robot pembantu pribadi yang dapat terus membantu, meski ada bagian robot yang rusak,” ungkap Danesh Tarapore, salah satu peneliti dalam studi itu.
Sebelumnya, para peneliti juga telah mengembangkan berbagai robot yang dapat dilibatkan dalam situasi berbahaya, bencana, atau darurat. Meski demikian, robot-robot itu belum memiliki kemampuan untuk beradaptasi jika mengalami kerusakan.
Salah satu robot yang dikembangkan untuk situasi itu adalah Robo-roach atau robot kecoa yang dilengkapi dengan eksoskeleton (rangka luar) yang dapat dipipihkan. Serangga kecoa memang memiliki kelebihan yang tidak dimiliki binatang lain.
Mereka mampu menyusup ke celah-celah yang sempit dengan mudah karena tubuh mereka dapat digepengkan mengikuti celah yang akan dilalui. Kemampuan seperti itu jelas sangat dibutuhkan dalam upaya penyelamatan korban gempa yang sering terhimpit di reruntuhan gedung sehingga hanya menyisakan celah-celah yang tak dapat dilalui manusia.
Satu-satunya yang dapat menyusup ke dalam celah sempit itu adalah robot kecoa tersebut. “Kecoa memberi inspirasi tentang bentuk robot yang dapat membantu misi penyelamatan (SAR) untuk mencari korban yang masih hidup,” tutur para peneliti yang mengembangkan robot canggih tersebut.
Robot kecoa sebesar telapak tangan itu sangat andal dengan eksoskeleton yang fleksibel sehingga sangat cocok untuk menyusup melalui celah-celah di reruntuhan gedung. Kaki-kaki dan cangkang yang lentur memungkinkan robot itu memipihkan tubuhnya hingga ukurannya menjadi setengah lebih kecil dari ukuran semula.
Penggabungan teknologi robot terbaru tentu akan membuat robot-robot semacam itu dapat lebih lama bertahan di dunia nyata. Jika robot itu rusak saat dalam misinya, kemampuan adaptasi ini dapat membantu robot itu tetap menjalankan tugas saat mengalami kerusakan. (Syarifudin)
(nfl)
Riset baru diharapkan dapat membuat robot-robot lebih tangguh dengan melengkapi mereka dengan software khusus yang dapat membantu mereka belajar cara pulih dari luka hanya dalam waktu dua menit atau kurang. Harapannya, algoritma pembelajar ini akan membantu menghasilkan robot otonom yang lebih efektif yang tidak banyak memerlukan campur tangan manusia.
Robot-robot itu juga dapat bertahan lebih lama dalam situasi kritis seperti di tempat kerja atau operasi search and rescue (SAR). Untuk studi itu, para peneliti dari Pierre and Marie Curie University dan Universitas Wyoming meniru perilaku binatang sesungguhnya.
Saat seekor binatang terluka, mereka dapat mengimbangi dengan berjalan pincang, mengubah titik berat mereka atau menggunakan strategi lain. Banyak anjing tiga kaki yang dapat menangkap frisbee misalnya, atau jika keseleo pergelangan kakinya, mereka tetap dapat mencari cara berjalan dengan luka tersebut.
“Saat terluka, binatang tidak mulai belajar dari awal,” ungkap Jean-Baptiste Mouret, seorang peneliti dalam studi itu. “Malah, mereka secara intuisi memiliki cara lain untuk berperilaku. Intuisi ini memungkinkan mereka untuk secara cerdas memilih beberapa perilaku berbeda untuk dicoba dan setelah tes ini, mereka memilih salah satu cara yang bekerja dengan rasa sakit lebih sedikit,” papar Mauret.
Dia menjelaskan, “Kami membuat robot yang dapat melakukan tindakan yang sama.” Sebelum robot itu dikembangkan, robot itu menggunakan algoritma baru yang dapat menciptakan detail peta ruangan. Menurut peneliti, peta ini mewakili intuisi robot tentang apa perilaku yang dapat dilakukan.
Pada dasarnya, robot dapat membangun perpustakaan gerakan berbeda dan menetapkan bagian tubuh mana yang dapat diandalkan jika mengalami luka, bahkan jika robot itu kakinya rusak atau hilang. Membuat robot dapat memetakan semua skenario itu akan membutuhkan waktu terlalu lama dan dapat berpotensi merusak peralatan, jadi para peneliti memetakannya dalam simulasi komputer.
“Dalam melakukannya, mereka dapat menguji dan memetakan lebih dari 13.000 cara berjalan yang berbeda, termasuk dengan kaki rusak dan hilang, serta untuk kaki robot dengan pergelangan yang rusak dalam 14 cara berbeda,” papar studi tersebut. Para peneliti menyebut proses ini sebagai algoritma cerdas trial and error sehingga robot dapat beradaptasi dalam berbagai situasi hanya dalam waktu dua menit atau kurang.
Setelah robot mengalami kerusakan, robot bertindak seperti peneliti, mencoba perilaku yang berbeda, dan tidak melakukan yang tidak dapat bekerja. “Kami memiliki robot-robot yang menyimpan pengetahuan dari pengalaman sebelumnya dalam bentuk peta ruang perilaku kinerja,” ujar para peneliti, dikutip Daily Mail.
Para peneliti menjelaskan, “Dipandu dengan peta ini, satu robot yang rusak mencoba cara perilaku berbeda yang diprediksi dapat berjalan baik, saat tes dilakukan, berbagai perubahan memperkirakan kinerja untuk tipe-tipe perilaku itu.” “Proses berakhir saat robot memprediksi bahwa perilaku paling efektif telah ditemukan.
Hasilnya robot dapat segera menemukan jalan untuk mengimbangi kerusakan tanpa memahami detail mekanistik penyebabnya, seperti terjadi pada binatang,” papar para peneliti.
Pada masa lalu, para peneliti dapat mengembangkan robot yang dapat melakukan diagnosis sendiri, tapi mereka menggunakan sensor-sensor yang mahal yang memerlukan waktu untuk mengembangkan rencana kontingensi, seperti berjalan dengan pincang.
Dengan studi ini, para peneliti berharap dapat memberi robot-robot daya tahan lebih lama dalam situasi berbahaya dan sensitif. Misalnya, robot yang dapat memperbaiki diri sendiri dapat berada dalam situasi sangat berbahaya bagi manusia, seperti saat kebakaran hutan, menyelamatkan korban yang terperangkap atau menonaktifkan pembangkit listrik tenaga nuklir.
“Ini dapat memungkinkan pembuatan robot yang dapat membantu para penyelamat tanpa mengharuskan mereka langsung turun tangan. Ini juga memudahkan pembuatan robot pembantu pribadi yang dapat terus membantu, meski ada bagian robot yang rusak,” ungkap Danesh Tarapore, salah satu peneliti dalam studi itu.
Sebelumnya, para peneliti juga telah mengembangkan berbagai robot yang dapat dilibatkan dalam situasi berbahaya, bencana, atau darurat. Meski demikian, robot-robot itu belum memiliki kemampuan untuk beradaptasi jika mengalami kerusakan.
Salah satu robot yang dikembangkan untuk situasi itu adalah Robo-roach atau robot kecoa yang dilengkapi dengan eksoskeleton (rangka luar) yang dapat dipipihkan. Serangga kecoa memang memiliki kelebihan yang tidak dimiliki binatang lain.
Mereka mampu menyusup ke celah-celah yang sempit dengan mudah karena tubuh mereka dapat digepengkan mengikuti celah yang akan dilalui. Kemampuan seperti itu jelas sangat dibutuhkan dalam upaya penyelamatan korban gempa yang sering terhimpit di reruntuhan gedung sehingga hanya menyisakan celah-celah yang tak dapat dilalui manusia.
Satu-satunya yang dapat menyusup ke dalam celah sempit itu adalah robot kecoa tersebut. “Kecoa memberi inspirasi tentang bentuk robot yang dapat membantu misi penyelamatan (SAR) untuk mencari korban yang masih hidup,” tutur para peneliti yang mengembangkan robot canggih tersebut.
Robot kecoa sebesar telapak tangan itu sangat andal dengan eksoskeleton yang fleksibel sehingga sangat cocok untuk menyusup melalui celah-celah di reruntuhan gedung. Kaki-kaki dan cangkang yang lentur memungkinkan robot itu memipihkan tubuhnya hingga ukurannya menjadi setengah lebih kecil dari ukuran semula.
Penggabungan teknologi robot terbaru tentu akan membuat robot-robot semacam itu dapat lebih lama bertahan di dunia nyata. Jika robot itu rusak saat dalam misinya, kemampuan adaptasi ini dapat membantu robot itu tetap menjalankan tugas saat mengalami kerusakan. (Syarifudin)
(nfl)