Sensor Pengukur Kadar Oksigen dalam Darah

Minggu, 25 November 2018 - 13:28 WIB
Sensor Pengukur Kadar...
Sensor Pengukur Kadar Oksigen dalam Darah
A A A
Para insinyur di Universitas California (UC), Berkeley, mengembangkan sensor fleksibel untuk area kulit.

Sensor ini mampu memetakan tingkat oksigen dalam darah, jaringan pembuluh darah, dan organ yang luas. Sensor yang telah dikembangkan berpotensi untuk membantu dokter menemukan cara baru. Pemantauan penyembuhan luka secara real time juga dapat dilakukan.

Mahasiswa pascasarjana bidang teknik elektro dan ilmu komputer di UC Berkeley, Yasser Khan, ingin menunjukkan bahwa oksimeters dapat disesuaikan dengan yang kita inginkan.

“Ketika Anda mendengar kata oksimeter, nama untuk sensor oksigen dalam darah, sensor jari-jari yang kaku dan besar muncul ke dalam pikiran Anda, kami ingin melepaskan diri dari itu, dan menunjukkan bahwa oksimeter bisa ringan, tipis, dan fleksibel,” kata Khan, dikutip dari berkeley.

Sensor terbuat dari elektronik organik yang tercetak pada bahan plastik. Bentuk plastik dapat ditekuk menyesuaikan kontur tubuh. Tidak seperti oksimeter pada ujung jari, sensor ini mendeteksi kadar oksigen dalam darah melalui sembilan titik dalam kotak.

Penempatan sensor pun dapat diletakkan di bagian mana saja pada area kulit. Para peneliti mengatakan bahwa sensor berpotensi untuk memetakan oksigenasi cangkok kulit. Sensor juga mampu melihat kadar oksigen dalam organ yang ditransplantasikan.

“Semua aplikasi medis yang menggunakan pemantauan oksigen bisa mendapatkan manfaat dari sensor yang dapat dipakai,” kata Ana Claudia Arias, profesor teknik elektro dan ilmu komputer di UC Berkeley.

Dia juga meyakinkan pasien dengan penyakit diabetes, penyakit pernapasan, dan bahkan sleep apnea, dapat menggunakan sensor yang bisa dipakai di mana saja untuk memantau kadar oksigen dalam darah.

Oksimeter menggunakan light emitting diodes (LED) untuk menyinari cahaya merah yang dekat inframerah. Kedua cahaya didekatkan ke kulit untuk mendeteksi cahaya yang masuk ke sisi lain. Perbandingannya adalah darah yang kaya oksigen akan menyerap lebih banyak cahaya inframerah.

Sementara pada area gelap (miskin oksigen), akan menyerap lebih banyak cahaya merah. Jadi, cahaya merah dan inframerah menjadi indikator dari banyaknya oksigen dalam darah. Sensor menangkap hasil cahaya yang ditransmisikan.

Oksimeter ini hanya bekerja di area tubuh yang sebagian transparan, seperti ujung jari atau daun telinga. Pengukuran kadar oksigen dalam darah juga hanya bisa dilakukan pada satu titik bagian tubuh.

“Bagian tubuh yang tebal, seperti dahi, lengan, dan kaki, hampir tidak bisa melewati atau dekat cahaya inframerah, yang membuat pengukuran oksigen di lokasi ini sangat menantang,” kata Khan. Pada 2014, Arias dan tim mahasiswa pascasarjana menunjukkan penggunaan LED organik.

Mereka membuat oksimeter tipis dan fleksibel untuk ujung jari atau telinga. Sejak itu, mereka telah mendorong pekerjaan mereka lebih jauh. Arias dan rekannya mengembangkan cara mengukur oksigenasi dalam jaringan menggunakan cahaya yang dipantulkan daripada cahaya yang ditransmisikan.

Susunan LED organik merah dan inframerah disatukan dalam fotodioda yang dicetak pada bahan fleksibel. Penggabungan kedua teknologi memungkinkan mereka meletakkan sensor di bagian tubuh mana saja.

Saat melakukan uji coba, tim melacak kadar oksigen di dahi seorang sukarelawan yang memakai manset. Dia menghirup udara dengan konsentrasi oksigen yang semakin rendah, mirip dengan naik di ketinggian. Peneliti menemukan kecocokan dengan penggunaan oksimeter di ujung jari standar.

Kadar oksigen dalam grid tiga per tiga di lengan bawah sukarelawan dapat dipetakan. Khan menjelaskan bahwa setelah transplantasi, ahli bedah ingin mengukur semua bagian organ yang mendapatkan oksigen.

“Jika Anda memiliki satu sensor, Anda harus memindahkannya untuk mengukur oksigenasi di lokasi yang berbeda. Dengan array (sensor), Anda bisa langsung tahu jika ada titik yang tidak menyembuhkan dengan benar,” tambah Khan.

Para peneliti yang terlibat adalah Donggeon Han, Adrien Pierre, Jonathan Ting, Wang Xingchun, dan Claire M Lochner dari UC Berkeley. Peneliti lainnya, Gianluca Bovo, Nir Yaacobi-Gross, Chris Newsome, dan Richard Wilson berasal dari Cambridge Display Technology Limited.
(Fandy)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0812 seconds (0.1#10.140)