Paten Indonesia Unggul di ASEAN
A
A
A
JAKARTA - Jumlah paten di Indonesia ternyata melebihi jumlah negara lain di Asia Tenggara. Jumlah paten pun akan terus ditingkatkan sehingga inovasi Tanah Air juga naik.
Dalam empat tahun ke belakang, jumlah paten di Indonesia masih rendah. Pemerintah pun terus melakukan perbaikan lantaran paten adalah cerminan dari kemajuan teknologi suatu negara.
“Paten adalah bahan baku inovasi. Maka kita lakukan perbaikan sehingga pada 2017 di Asia Tenggara (jumlah paten) kita tertinggi,” kata Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek-Dikti) Mohammad Nasir pada Bedah Kinerja 2018, Fokus Kinerja 2019 di kantor Kemenristek-Dikti, Jakarta, kemarin.
Paten domestik (dalam negeri) yang didaftarkan di Indonesia dibandingkan paten domestik yang didaftarkan negar-negara ASEAN terus meningkat.
Dari peringkat ketiga pada 2015, Indonesia kini menjadi negara di ASEAN dengan paten domestik tertinggi. Pada 2015, paten domestik Indonesia mencapai 1.058 paten (peringkat ketiga di ASEAN). Pada 2016, paten domestik Indonesia meningkat menjadi 1.101 paten. Sementara pada 2017, terjadi peningkatan tajam.
Data World Intellectual Propery Organizartion (WIPO) yang berbasis di Jenewa, Swiss diketahui sekitar 1.100 paten dicatatkan di Indonesia. Totalnya pada 2017 Indonesia berhasil mencatat paten domestik sebanyak 2.271. Hal ini membuat Indonesia di peringkat pertama mengalahkan Singapura dan Malaysia.
Peringkat pertama jumlah paten dalam negeri masih dimiliki Indonesia pada 2018 dengan peningkatan angka paten sebesar 500, yang menjadikan angka paten domestik Indonesia mencapai 2.842 paten. Mantan rektor Undip ini menjelaskan, kenaikan signifikan jumlah paten yang terdaftar itu karena pemerintah telah mengeluarkan UU Paten No 13/2016.
Berbagai kemudahan dan juga adanya insentif bagi para pengusul hak paten tersebut. Nasir melanjutkan, hal yang menggembirakan juga terjadi di bidang publikasi internasional. Menurut dia, jumlah publikasi Indonesia per 25 Januari berdasarkan data Scopus sudah mendekati Malaysia yang kini memuncaki posisi di Asia Tenggara.
“Sekarang jumlah publikasi internasional Indonesia 30.924 dan Malaysia 31.968,” katanya. Dia mengatakan, jumlah publikasi Indonesia ini memang cukup mengejutkan sebab pada 2013-2015 lalu publikasi Indonesia selalu di bawah lima negara lain seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam.Guru besar akuntansi Undip ini juga mengapresiasi berbagai inovasi yang telah dihasilkan, mulai Plasma Nanobubble yang membantu mengurai bakteri penyebab bau di Kali Sentiong dan Kali Item, konverter-kit generasi 2 yang menghemat bahan bakar, cat antiradar, katalis merah putih ITB, padi IPB 3S, benih jagung Brawijaya Sweet 2 dan Sweet 2, mesin plasma ozon, hingga motor listrik Gesits yang rencananya akan diluncurkan Maret nanti.
Dirjen Riset dan Pengembangan (Risbang) Kemenristek-Dikti Muhammad Dimyati menjelaskan, paten itu bersumber dari hasil penelitian yang meningkat. Maka jika penelitian meningkat, jumlah inovasinya pun naik signifikan. “Namun, yang menjadi PR adalah bagaimana agar paten itu produktif supaya dipakai di industri,” jelasnya.
Dimyati mengakui bahwa ada UU Paten memang memberikan kemudahan bagi peneliti untuk mendaftarkan paten. Selain itu, para peneliti juga mendapatkan royalti, juga ada afirmasi untuk biaya pemeliharaan paten.
Dirjen menjelaskan, untuk pemeliharaan paten biayanya digratiskan selama lima tahun. Selanjutnya pada tahun keenam hingga masa berlaku paten, itu habis hanya bayar 10%. “Paten biasa itu (berlakunya) 20 tahun dan paten sederhana 20 tahun. Jadi, 10-20 tahun itu hanya 10% bayarnya (pemeliharaan paten),” jelasnya.
Dimyati mengatakan, contoh paten yang sudah diproduksi seperti pengalengan gudeg yang dibuat LIPI, implant tulang, BPPT yang menghasilkan obat-obatan herbal dan pembungkus kapsul.
Dia berharap akan semakin banyak industri yang melamar hak paten itu sehingga semakin bermanfaat di masyarakat. Anggota Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia (FRI) Asep Saifuddin berpendapat, WIPO memang mencatat hak kekayaan intelektual secara umum termasuk paten dan buku.
Oleh karena itu, jumlah paten yang bisa terdaftar itu bisa meningkat lebih baik karena potensi pengusul paten itu bisa dari banyak sumber. Tidak hanya pembuat teknologi, tetapi juga buku. Rektor Universitas Al Azhar Indonesia ini menjelaskan, adanya lonjakan jumlah paten ini merupakan kabar gembira.
Hal ini mencerminkan adanya peningkatan produktivitas menulis, membuat prototipe, dan inovasi lain. Hal ini juga menunjukkan bahwa proses administrasi pendaftaran hak kekayaan intelektual di Indonesia mulai cepat.
Pengamat pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan berpendapat, pemerintah harus mendorong dunia industri untuk bisa memproduksi berbagai paten yang telah terdaftar tersebut. Pasalnya, banyak paten tersebut yang tidak diproduksi karena dunia bisnis Indonesia yang tidak mampu memasarkannya. (Neneng Zubaidah)
Dalam empat tahun ke belakang, jumlah paten di Indonesia masih rendah. Pemerintah pun terus melakukan perbaikan lantaran paten adalah cerminan dari kemajuan teknologi suatu negara.
“Paten adalah bahan baku inovasi. Maka kita lakukan perbaikan sehingga pada 2017 di Asia Tenggara (jumlah paten) kita tertinggi,” kata Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek-Dikti) Mohammad Nasir pada Bedah Kinerja 2018, Fokus Kinerja 2019 di kantor Kemenristek-Dikti, Jakarta, kemarin.
Paten domestik (dalam negeri) yang didaftarkan di Indonesia dibandingkan paten domestik yang didaftarkan negar-negara ASEAN terus meningkat.
Dari peringkat ketiga pada 2015, Indonesia kini menjadi negara di ASEAN dengan paten domestik tertinggi. Pada 2015, paten domestik Indonesia mencapai 1.058 paten (peringkat ketiga di ASEAN). Pada 2016, paten domestik Indonesia meningkat menjadi 1.101 paten. Sementara pada 2017, terjadi peningkatan tajam.
Data World Intellectual Propery Organizartion (WIPO) yang berbasis di Jenewa, Swiss diketahui sekitar 1.100 paten dicatatkan di Indonesia. Totalnya pada 2017 Indonesia berhasil mencatat paten domestik sebanyak 2.271. Hal ini membuat Indonesia di peringkat pertama mengalahkan Singapura dan Malaysia.
Peringkat pertama jumlah paten dalam negeri masih dimiliki Indonesia pada 2018 dengan peningkatan angka paten sebesar 500, yang menjadikan angka paten domestik Indonesia mencapai 2.842 paten. Mantan rektor Undip ini menjelaskan, kenaikan signifikan jumlah paten yang terdaftar itu karena pemerintah telah mengeluarkan UU Paten No 13/2016.
Berbagai kemudahan dan juga adanya insentif bagi para pengusul hak paten tersebut. Nasir melanjutkan, hal yang menggembirakan juga terjadi di bidang publikasi internasional. Menurut dia, jumlah publikasi Indonesia per 25 Januari berdasarkan data Scopus sudah mendekati Malaysia yang kini memuncaki posisi di Asia Tenggara.
“Sekarang jumlah publikasi internasional Indonesia 30.924 dan Malaysia 31.968,” katanya. Dia mengatakan, jumlah publikasi Indonesia ini memang cukup mengejutkan sebab pada 2013-2015 lalu publikasi Indonesia selalu di bawah lima negara lain seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam.Guru besar akuntansi Undip ini juga mengapresiasi berbagai inovasi yang telah dihasilkan, mulai Plasma Nanobubble yang membantu mengurai bakteri penyebab bau di Kali Sentiong dan Kali Item, konverter-kit generasi 2 yang menghemat bahan bakar, cat antiradar, katalis merah putih ITB, padi IPB 3S, benih jagung Brawijaya Sweet 2 dan Sweet 2, mesin plasma ozon, hingga motor listrik Gesits yang rencananya akan diluncurkan Maret nanti.
Dirjen Riset dan Pengembangan (Risbang) Kemenristek-Dikti Muhammad Dimyati menjelaskan, paten itu bersumber dari hasil penelitian yang meningkat. Maka jika penelitian meningkat, jumlah inovasinya pun naik signifikan. “Namun, yang menjadi PR adalah bagaimana agar paten itu produktif supaya dipakai di industri,” jelasnya.
Dimyati mengakui bahwa ada UU Paten memang memberikan kemudahan bagi peneliti untuk mendaftarkan paten. Selain itu, para peneliti juga mendapatkan royalti, juga ada afirmasi untuk biaya pemeliharaan paten.
Dirjen menjelaskan, untuk pemeliharaan paten biayanya digratiskan selama lima tahun. Selanjutnya pada tahun keenam hingga masa berlaku paten, itu habis hanya bayar 10%. “Paten biasa itu (berlakunya) 20 tahun dan paten sederhana 20 tahun. Jadi, 10-20 tahun itu hanya 10% bayarnya (pemeliharaan paten),” jelasnya.
Dimyati mengatakan, contoh paten yang sudah diproduksi seperti pengalengan gudeg yang dibuat LIPI, implant tulang, BPPT yang menghasilkan obat-obatan herbal dan pembungkus kapsul.
Dia berharap akan semakin banyak industri yang melamar hak paten itu sehingga semakin bermanfaat di masyarakat. Anggota Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia (FRI) Asep Saifuddin berpendapat, WIPO memang mencatat hak kekayaan intelektual secara umum termasuk paten dan buku.
Oleh karena itu, jumlah paten yang bisa terdaftar itu bisa meningkat lebih baik karena potensi pengusul paten itu bisa dari banyak sumber. Tidak hanya pembuat teknologi, tetapi juga buku. Rektor Universitas Al Azhar Indonesia ini menjelaskan, adanya lonjakan jumlah paten ini merupakan kabar gembira.
Hal ini mencerminkan adanya peningkatan produktivitas menulis, membuat prototipe, dan inovasi lain. Hal ini juga menunjukkan bahwa proses administrasi pendaftaran hak kekayaan intelektual di Indonesia mulai cepat.
Pengamat pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan berpendapat, pemerintah harus mendorong dunia industri untuk bisa memproduksi berbagai paten yang telah terdaftar tersebut. Pasalnya, banyak paten tersebut yang tidak diproduksi karena dunia bisnis Indonesia yang tidak mampu memasarkannya. (Neneng Zubaidah)
(nfl)