Pemerintah China Disebut Gunakan Sensor Wajah untuk Deteksi Muslim Uighur
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah China menggunakan sistem pengenal wajah besar-besaran untuk melacak minoritas Muslim Uighur di seluruh dunia. Hal ini terungkap dalam sebuah artikel yang dilaporkan oleh New York Times.
Menurut laporan itu, teknologi pengenalan wajah yang dipasang pada kamera pemantauan diprogram untuk menemukan warga Uighur berdasarkan penampilan dan melacak pergerakan mereka secara nasional.
Polisi China dituduh menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk menemukan warga Uighur di luar wilayah Xinjiang, termasuk kota-kota kaya seperti Hangzhou dan Wenzhou.
The New York Times mengklaim bahwa sebuah kota di China akan memeriksa apakah populasinya adalah warga Uighur atau tidak sebanyak 500.000 kali.
Pemerintah Turki mengutuk perlakuan China terhadap etnis Muslim Uighur yang oleh Ankara dianggap sebagai tindakan memalukan bagi umat manusia. Ankara juga mendesak China untuk menutup "kamp-kamp konsentrasi", tempat lebih dari 1 juta warga Uighur ditahan.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Turki Hami Aksoy mengatakan bukan lagi rahasia bahwa China secara sewenang-wenang dengan menahan lebih dari satu juta warga Uighur di kamp-kamp yang jadi sorotan masyarakat internasional tersebut.
Dia mengatakan populasi Muslim Turki menghadapi tekanan dan "asimilasi sistematis" di China barat.
"Bukan rahasia lagi bahwa lebih dari 1 juta orang Turki Uighur, yang terkena penangkapan sewenang-wenang, menjadi sasaran penyiksaan dan pencucian otak politik di pusat-pusat konsentrasi dan penjara," kata Aksoy.
"Kami mendesak pihak berwenang China untuk menghormati hak asasi manusia fundamental Turki Uighur dan menutup kamp konsentrasi," katanya.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pernah menuduh China melakukan genosida, tetapi sejak itu menjalin hubungan diplomatik dan ekonomi yang lebih dekat dengan Beijing.
Wilayah Xinjiang China adalah rumah bagi sekitar 10 juta warga Uighur. Kelompok Muslim Turki, yang berjumlah sekitar 45 persen dari populasi Xinjiang, telah lama menuduh pemerintah China melakukan diskriminasi budaya, agama dan ekonomi.
Menurut laporan itu, teknologi pengenalan wajah yang dipasang pada kamera pemantauan diprogram untuk menemukan warga Uighur berdasarkan penampilan dan melacak pergerakan mereka secara nasional.
Polisi China dituduh menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk menemukan warga Uighur di luar wilayah Xinjiang, termasuk kota-kota kaya seperti Hangzhou dan Wenzhou.
The New York Times mengklaim bahwa sebuah kota di China akan memeriksa apakah populasinya adalah warga Uighur atau tidak sebanyak 500.000 kali.
Pemerintah Turki mengutuk perlakuan China terhadap etnis Muslim Uighur yang oleh Ankara dianggap sebagai tindakan memalukan bagi umat manusia. Ankara juga mendesak China untuk menutup "kamp-kamp konsentrasi", tempat lebih dari 1 juta warga Uighur ditahan.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Turki Hami Aksoy mengatakan bukan lagi rahasia bahwa China secara sewenang-wenang dengan menahan lebih dari satu juta warga Uighur di kamp-kamp yang jadi sorotan masyarakat internasional tersebut.
Dia mengatakan populasi Muslim Turki menghadapi tekanan dan "asimilasi sistematis" di China barat.
"Bukan rahasia lagi bahwa lebih dari 1 juta orang Turki Uighur, yang terkena penangkapan sewenang-wenang, menjadi sasaran penyiksaan dan pencucian otak politik di pusat-pusat konsentrasi dan penjara," kata Aksoy.
"Kami mendesak pihak berwenang China untuk menghormati hak asasi manusia fundamental Turki Uighur dan menutup kamp konsentrasi," katanya.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pernah menuduh China melakukan genosida, tetapi sejak itu menjalin hubungan diplomatik dan ekonomi yang lebih dekat dengan Beijing.
Wilayah Xinjiang China adalah rumah bagi sekitar 10 juta warga Uighur. Kelompok Muslim Turki, yang berjumlah sekitar 45 persen dari populasi Xinjiang, telah lama menuduh pemerintah China melakukan diskriminasi budaya, agama dan ekonomi.
(wbs)