Tujuan Iptek Indonesia Sulit Dicapai Jika Biaya Riset Hanya 0,3%
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah membidik tahun 2045 sebagai tahun keemasan Indonesia, baik secara ekonomi maupun teknologi. Tapi semua itu bakal sulit digapai jika anggaran riset dan pengembangan (R&D) Indonesia masih di kisaran 0,3% dari produk domestik bruto (PDB).
“Dana riset dan pengembangan kita baru 0,3% dari PDB. Ini tidak ideal jika bangsa ini ingin maju, terlebih membidik tahun 2045 sebagai masa keemasan. Anggaran ini secara presentasi jauh di bawah negara ASEAN lainnya,” ungkap Ketua Lembaga Bantuan Teknologi (LBT), Prasetyo Sunaryo saat diskusi di Jakarta.
Dia menyebutkan, Malaysia menganggarkan 1,3% dari PDB, Singapura 2,6%, Korea Selatan 4,6%, Jepang 3,5%. Indonesia juga kalah dalam rasio jumlah peneliti per satu juta orang. "Malaysia paling tinggi di angka 500 orang, disusul Vietnam, Thailand, dan Filipina," sesalnya.
Kalau dilihat dari nilainya, maka 0,3% PDB itu setara dengan Rp30 triliun. Sementara idealnya anggaran penelitian untuk Indonesia 1,5% dari PDB atau sekitar Rp150 triliun per tahun.
"Kami berharap pemerintahan terpilih nanti memprioritaskan urusan riset. Sehingga Indonesia semakin siap untuk bersaing menjadi negara maju. Bukan hanya sebatas jargon belaka," harap Prasetyo.
Dia kembali berharap penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dikembangkan secara maksimal. Sebab peran penguasaan iptek merupakan wujud dari kinerja bangsa.
Untuk mencapai iptek yang kuat, lanjut Prasetyo, salah satu kuncinya ada di payung hukum. Tepatnya UU tentang Penerapan Iptek dengan menggunakan asas Lex Specialis. “RUU-nya sedang digarap di DPR dan pemerintah, ini harus dengan asas Lex Specialis sama seperti UU KPK, sehingga perkembangan tingkat penguasaan iptek mendapat perhatian besar dari pemerintah dan masyarakat. Jangan dalam penganggaran menggunakan prosedur laporan keuangan yang sama, riset tidak seperti itu, iptek mengedepankan hasil,” papar Prasetyo.
Kinerja suatu bangsa ditentukan oleh tiga indikator, yakni pertumbuhan ekonomi makro, kualitas penyelenggara negara, dan perkembangan tingkat penguasaan Iptek. Masing-masing memberikan kontribusinya secara proporsional sebesar 33%.
Bahkan untuk negara maju aspek perkembangan tingkat penguasaan Iptek memberikan kontribusi 50%. “Jumlah peneliti Indonesia per satu juta penduduk perlu ditingkatkan. Ini sangat penting terhadap eksistensi Indonesia di masa mendatang. Pencanangan target menjadi negara maju tidak akan terwujud jika penguasaan iptek di Indonesia tidak ditingkatkan,” tandasnya.
Di bidang pertama, yaitu pangan, energi dan air, adalah bagaimana program penelitian untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Bidang kedua, eksplorasi dan pendayagunaan SDA, yakni sistem produksi nasional perlu terus diupayakan menggunakan teknologi mutakhir baik karena kemampuan inovasi lokal maupun nasional (bioteknologi, namoteknologi, geologi dan material baru).
“Terakhir, kita perlu peningkatan kualitas sumber daya manusia yang sanggup melakukan optimalisasi nilai guna dari teknologi produk era 4.0 dan lain-lain. Khusus era Industri 4.0 sebaiknya fokus pada optimalisasi dan teknologi harus menjadi solusi atas persoalan di masyarakat,” tutup Prasetyo.
“Dana riset dan pengembangan kita baru 0,3% dari PDB. Ini tidak ideal jika bangsa ini ingin maju, terlebih membidik tahun 2045 sebagai masa keemasan. Anggaran ini secara presentasi jauh di bawah negara ASEAN lainnya,” ungkap Ketua Lembaga Bantuan Teknologi (LBT), Prasetyo Sunaryo saat diskusi di Jakarta.
Dia menyebutkan, Malaysia menganggarkan 1,3% dari PDB, Singapura 2,6%, Korea Selatan 4,6%, Jepang 3,5%. Indonesia juga kalah dalam rasio jumlah peneliti per satu juta orang. "Malaysia paling tinggi di angka 500 orang, disusul Vietnam, Thailand, dan Filipina," sesalnya.
Kalau dilihat dari nilainya, maka 0,3% PDB itu setara dengan Rp30 triliun. Sementara idealnya anggaran penelitian untuk Indonesia 1,5% dari PDB atau sekitar Rp150 triliun per tahun.
"Kami berharap pemerintahan terpilih nanti memprioritaskan urusan riset. Sehingga Indonesia semakin siap untuk bersaing menjadi negara maju. Bukan hanya sebatas jargon belaka," harap Prasetyo.
Dia kembali berharap penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dikembangkan secara maksimal. Sebab peran penguasaan iptek merupakan wujud dari kinerja bangsa.
Untuk mencapai iptek yang kuat, lanjut Prasetyo, salah satu kuncinya ada di payung hukum. Tepatnya UU tentang Penerapan Iptek dengan menggunakan asas Lex Specialis. “RUU-nya sedang digarap di DPR dan pemerintah, ini harus dengan asas Lex Specialis sama seperti UU KPK, sehingga perkembangan tingkat penguasaan iptek mendapat perhatian besar dari pemerintah dan masyarakat. Jangan dalam penganggaran menggunakan prosedur laporan keuangan yang sama, riset tidak seperti itu, iptek mengedepankan hasil,” papar Prasetyo.
Kinerja suatu bangsa ditentukan oleh tiga indikator, yakni pertumbuhan ekonomi makro, kualitas penyelenggara negara, dan perkembangan tingkat penguasaan Iptek. Masing-masing memberikan kontribusinya secara proporsional sebesar 33%.
Bahkan untuk negara maju aspek perkembangan tingkat penguasaan Iptek memberikan kontribusi 50%. “Jumlah peneliti Indonesia per satu juta penduduk perlu ditingkatkan. Ini sangat penting terhadap eksistensi Indonesia di masa mendatang. Pencanangan target menjadi negara maju tidak akan terwujud jika penguasaan iptek di Indonesia tidak ditingkatkan,” tandasnya.
Di bidang pertama, yaitu pangan, energi dan air, adalah bagaimana program penelitian untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Bidang kedua, eksplorasi dan pendayagunaan SDA, yakni sistem produksi nasional perlu terus diupayakan menggunakan teknologi mutakhir baik karena kemampuan inovasi lokal maupun nasional (bioteknologi, namoteknologi, geologi dan material baru).
“Terakhir, kita perlu peningkatan kualitas sumber daya manusia yang sanggup melakukan optimalisasi nilai guna dari teknologi produk era 4.0 dan lain-lain. Khusus era Industri 4.0 sebaiknya fokus pada optimalisasi dan teknologi harus menjadi solusi atas persoalan di masyarakat,” tutup Prasetyo.
(mim)