Mulai Alat Medis Terjangkau hingga Layar Ponsel dari Alam
A
A
A
JAKARTA - Peneliti Indonesia sejatinya memiliki ide-ide inovatif dan temuan baru yang bisa dipasarkan ke dunia internasional. Salah satunya alat medis besutan dr Soni Sunarso Sulistiawan SpAn FIPM.
Dokter anestesi di RSUD Dr Soetomo dan dosen di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini menciptakan alat yang mampu memudahkan pekerjaan sesama dokter anestesi dan membantu para dokter muda melakukan pembiusan. Bertajuk Black Box VL-Scope, alat inovasi ini menjadi pemenang dalam IndoHCF Innovation Awards 2017 lalu.Sesuai dengan namanya, alat ini terinspirasi dari black box pada pesawat terbang, berupa videolaryngoscope dengan perekam yang dapat disambung secara langsung ke smartphone , laptop, LCD projector , dan PC. Perangkat ini bisa digunakan melakukan analisis proses intubasi yang telah dilakukan.
Kebutuhan terhadap alat intubasi yang mampu meningkatkan patient safety sekaligus menunjang upaya peningkatan kualitas pendidikan dokter spesialis anestesi dengan harga terjangkau sangat diperlukan saat ini. Soni mengemukakan, alat intubasi buatannya ini menyempurnakan alat intubasi yang ada, dengan memungkinkan sambungan internet sehingga dapat digunakan untuk panduan intubasi dari jarak jauh secara real-time menggunakan video, jadi dapat mendukung SPGDT (Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu) dan yang pasti harganya sangat murah. Black Box VL-Scope, lanjut dia, diharapkan mampu menjadi solusi permasalahan kebutuhan alat emergency dengan kualitas tinggi tetapi saat ini harganya masih sangat mahal.
“Saat ini, alatnya masih digunakan secara internal di RS kami. Namun, masih belum diproduksi secara massal karena kesibukan saya di RS dan kampus,” kata Soni kepada KORAN SINDO , Jumat (23/8).Menurut Soni, proses produksi massal sebuah inovasi baru butuh waktu dan biaya yang tidak sedikit. Seperti pendaftaran merek, uji standar produk, hingga dokumen-dokumen lain yang dibutuhkan. “Untuk paten sudah didaftarkan. Namun, memang butuh waktu lama prosesnya,” ungkapnya. Cara kerja Black Box VL-Scope sendiri sama seperti alat laryngoscope yang biasa digunakan untuk memasang selang napas.
Dipasang dari mulut masuk langsung ke trakea yang tersambung langsung ke paru-paru. Tujuannya untuk pembebasan jalan napas atau intubasi seperti pada saat gawat darurat, di mana alat inilah digunakan untuk pembebasan jalan napas. Keunggulan alat ini adalah bisa terhubung ke smartphone , sehingga siapa pun bisa melihat jalan masuk alat itu ke mana.
“Smartphone ataupun komputer disambungkan melalu USB. Ada software juga yang bisa diunduh bebas sehingga sangat mudah digunakan. Jadi apa pun yang dilihat oleh dokter dalam proses intubasi yang biasanya tidak keliatan, sekarang bisa tergambar jelas di gadget ,” ujar Soni.
Bagi dokter-dokter muda, kata Soni, alat ini juga berguna sebagai teaching hospital . Inovasi ini juga dapat digunakan dalam sistem pe nanggulangan gawat darurat terpadu. Karena jum lah dokter anestesi sedikit, di Indonesia saja kurang dari 200 dokter, alat ini dapat membantu. Karena terhubung dengan smartphone , nantinya di harapkan alat ini akan ada di setiap ambulans di daerah-daerah luar Jawa yang dokter anestesi masih jarang.
“Misalnya ada pasien yang sangat gawat harus segera ditangani kalau tidak dilakukan intubasi, pasien tersebut tidak akan tertolong. Nah, alat ini bisa membantu waktu kru medis atau dokter umum mampu untuk melakukan intubasi. Kalau tidak ada dokter anestesi, dokter umum diberi wewenang untuk melakukan intubasi,” tuturnya.
Black Box VL-Scope digunakan untuk panduan jarak jauh para dokter umum yang melakukan intubasi atau disebut juga dengan Teleintubation. Alat dengan kegunaan seperti ini belum ada di dunia. Adapun fungsi dengan keunggulan panduan jarak jauh ini sudah ada, namun eksekusinya belum dilakukan karena butuh bantuan pemerintah.
Inovasi lain yang menarik perhatian adalah ide dari Athanasia Amanda Septevani yang membuktikan apakah nanoselulosa yang dibuat menjadi film transparan mampu menjadi layar alat-alat elektronik. Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini mengembangkan nanopaper berbasis biomassa serat nanoselulosa alami sebagai layar atau display perangkat elektronik masa depan.
“Saya berusaha mengembangkan material baru yang bisa dipakai sebagai layar ponsel. Sebenarnya tidak hanya terbatas untuk ponsel saja, tapi bisa sebagai layar laptop, bahkan TV juga bisa. Sekarang ini layar yang ada di pasaran mayoritas tipe yang bahannya itu dari gelas, makanya kalau jatuh itu mudah sekali retak,” kata Athanasia.
Penelitian ini telah meraih penghargaan dan pendanaan dari L’Oreal Women in Science. Saat ini, kata dia, memang sudah banyak bahan layar mulai beralih ke polimer yang bahannya lebih fleksibel. Namun, polimernya masih sintetis jadi masih menggunakan bahan-bahan dari petrokimia yang tidak dapat diperbaharui.
Athanasia membuat nanopaper dari selulosa yang berasal dari limbah biomassa yang melimpah jumlahnya dan tentunya sumbernya dapat diperbaharui. Selulosa diisolasi dan diproses secara kimia menjadi nanoselulosa. Nanoselulosa ini kemudian diproses lebih lanjut menjadi lembaran tipis yang transparan yang dikenal sebagai “nanopaper”. “Hampir sama seperti kertas tapi nanopaper (kertas nano) itu transparan sifatnya karena dia dalam skala nano. Untuk aplikasinya diharapkan dapat berfungsi sebagai layar atau screen ponsel atau alat-alat elektronik lainnya,” katanya.
Produk ini memanfaatkan limbah biomassa dari tandan kosong kelapa sawit dan tongkol jagung. Sebenarnya banyak biomassa lainnya asalkan mengandung selulosa yang cukup banyak sehingga dapat direkayasa atau modifikasi dengan lebih mudah jadi film transparan.
Sebenarnya, ujar Athanasia, selulosa dapat ditemukan di segala macam tumbuhan di daun ataupun batang misalnya. Hal itu bergantung sumbernya, kalau di batang karena warnanya cokelat tua, maka artinya selulosa lebih sedikit. Sementara pada daun selulosanya lebih banyak, akan tetapi selulosa pada tumbuhan ini masih dalam skala mikrometer.
Jika belum dibuat nano, bentuknya seperti serat panjang dan masih dapat terlihat dengan mata telanjang, kalau sudah jadi nanoselulosa, bentuknya sangat kecil seperti jarum dan transparan. Karena bahan mentah penelitian berasal dari limbah-limbah pertanian atau perkebunan di Indonesia, ungkap dia, oleh karenanya melalui penelitian ini diharapkan layar pada perangkat elektronik dapat diproduksi sendiri di Indonesia dengan harga yang relatif murah karena menggunakan limbah produksi yang tidak ada manfaat sama sekali untuk direkayasa menjadi produk material maju.
“Penggunaan material ini tidak hanya meningkatkan nilai ekonomi dari bahan baku itu sen diri, akan tetapi mewujudkan kemandirian teknologi inovasi nasional. Bahkan mimpi saya produk nanopaper ini mampu bersaing dengan produk hasil penelitian internasional,” kata Athanasia. (Rendra Hanggara)
Dokter anestesi di RSUD Dr Soetomo dan dosen di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini menciptakan alat yang mampu memudahkan pekerjaan sesama dokter anestesi dan membantu para dokter muda melakukan pembiusan. Bertajuk Black Box VL-Scope, alat inovasi ini menjadi pemenang dalam IndoHCF Innovation Awards 2017 lalu.Sesuai dengan namanya, alat ini terinspirasi dari black box pada pesawat terbang, berupa videolaryngoscope dengan perekam yang dapat disambung secara langsung ke smartphone , laptop, LCD projector , dan PC. Perangkat ini bisa digunakan melakukan analisis proses intubasi yang telah dilakukan.
Kebutuhan terhadap alat intubasi yang mampu meningkatkan patient safety sekaligus menunjang upaya peningkatan kualitas pendidikan dokter spesialis anestesi dengan harga terjangkau sangat diperlukan saat ini. Soni mengemukakan, alat intubasi buatannya ini menyempurnakan alat intubasi yang ada, dengan memungkinkan sambungan internet sehingga dapat digunakan untuk panduan intubasi dari jarak jauh secara real-time menggunakan video, jadi dapat mendukung SPGDT (Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu) dan yang pasti harganya sangat murah. Black Box VL-Scope, lanjut dia, diharapkan mampu menjadi solusi permasalahan kebutuhan alat emergency dengan kualitas tinggi tetapi saat ini harganya masih sangat mahal.
“Saat ini, alatnya masih digunakan secara internal di RS kami. Namun, masih belum diproduksi secara massal karena kesibukan saya di RS dan kampus,” kata Soni kepada KORAN SINDO , Jumat (23/8).Menurut Soni, proses produksi massal sebuah inovasi baru butuh waktu dan biaya yang tidak sedikit. Seperti pendaftaran merek, uji standar produk, hingga dokumen-dokumen lain yang dibutuhkan. “Untuk paten sudah didaftarkan. Namun, memang butuh waktu lama prosesnya,” ungkapnya. Cara kerja Black Box VL-Scope sendiri sama seperti alat laryngoscope yang biasa digunakan untuk memasang selang napas.
Dipasang dari mulut masuk langsung ke trakea yang tersambung langsung ke paru-paru. Tujuannya untuk pembebasan jalan napas atau intubasi seperti pada saat gawat darurat, di mana alat inilah digunakan untuk pembebasan jalan napas. Keunggulan alat ini adalah bisa terhubung ke smartphone , sehingga siapa pun bisa melihat jalan masuk alat itu ke mana.
“Smartphone ataupun komputer disambungkan melalu USB. Ada software juga yang bisa diunduh bebas sehingga sangat mudah digunakan. Jadi apa pun yang dilihat oleh dokter dalam proses intubasi yang biasanya tidak keliatan, sekarang bisa tergambar jelas di gadget ,” ujar Soni.
Bagi dokter-dokter muda, kata Soni, alat ini juga berguna sebagai teaching hospital . Inovasi ini juga dapat digunakan dalam sistem pe nanggulangan gawat darurat terpadu. Karena jum lah dokter anestesi sedikit, di Indonesia saja kurang dari 200 dokter, alat ini dapat membantu. Karena terhubung dengan smartphone , nantinya di harapkan alat ini akan ada di setiap ambulans di daerah-daerah luar Jawa yang dokter anestesi masih jarang.
“Misalnya ada pasien yang sangat gawat harus segera ditangani kalau tidak dilakukan intubasi, pasien tersebut tidak akan tertolong. Nah, alat ini bisa membantu waktu kru medis atau dokter umum mampu untuk melakukan intubasi. Kalau tidak ada dokter anestesi, dokter umum diberi wewenang untuk melakukan intubasi,” tuturnya.
Black Box VL-Scope digunakan untuk panduan jarak jauh para dokter umum yang melakukan intubasi atau disebut juga dengan Teleintubation. Alat dengan kegunaan seperti ini belum ada di dunia. Adapun fungsi dengan keunggulan panduan jarak jauh ini sudah ada, namun eksekusinya belum dilakukan karena butuh bantuan pemerintah.
Inovasi lain yang menarik perhatian adalah ide dari Athanasia Amanda Septevani yang membuktikan apakah nanoselulosa yang dibuat menjadi film transparan mampu menjadi layar alat-alat elektronik. Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini mengembangkan nanopaper berbasis biomassa serat nanoselulosa alami sebagai layar atau display perangkat elektronik masa depan.
“Saya berusaha mengembangkan material baru yang bisa dipakai sebagai layar ponsel. Sebenarnya tidak hanya terbatas untuk ponsel saja, tapi bisa sebagai layar laptop, bahkan TV juga bisa. Sekarang ini layar yang ada di pasaran mayoritas tipe yang bahannya itu dari gelas, makanya kalau jatuh itu mudah sekali retak,” kata Athanasia.
Penelitian ini telah meraih penghargaan dan pendanaan dari L’Oreal Women in Science. Saat ini, kata dia, memang sudah banyak bahan layar mulai beralih ke polimer yang bahannya lebih fleksibel. Namun, polimernya masih sintetis jadi masih menggunakan bahan-bahan dari petrokimia yang tidak dapat diperbaharui.
Athanasia membuat nanopaper dari selulosa yang berasal dari limbah biomassa yang melimpah jumlahnya dan tentunya sumbernya dapat diperbaharui. Selulosa diisolasi dan diproses secara kimia menjadi nanoselulosa. Nanoselulosa ini kemudian diproses lebih lanjut menjadi lembaran tipis yang transparan yang dikenal sebagai “nanopaper”. “Hampir sama seperti kertas tapi nanopaper (kertas nano) itu transparan sifatnya karena dia dalam skala nano. Untuk aplikasinya diharapkan dapat berfungsi sebagai layar atau screen ponsel atau alat-alat elektronik lainnya,” katanya.
Produk ini memanfaatkan limbah biomassa dari tandan kosong kelapa sawit dan tongkol jagung. Sebenarnya banyak biomassa lainnya asalkan mengandung selulosa yang cukup banyak sehingga dapat direkayasa atau modifikasi dengan lebih mudah jadi film transparan.
Sebenarnya, ujar Athanasia, selulosa dapat ditemukan di segala macam tumbuhan di daun ataupun batang misalnya. Hal itu bergantung sumbernya, kalau di batang karena warnanya cokelat tua, maka artinya selulosa lebih sedikit. Sementara pada daun selulosanya lebih banyak, akan tetapi selulosa pada tumbuhan ini masih dalam skala mikrometer.
Jika belum dibuat nano, bentuknya seperti serat panjang dan masih dapat terlihat dengan mata telanjang, kalau sudah jadi nanoselulosa, bentuknya sangat kecil seperti jarum dan transparan. Karena bahan mentah penelitian berasal dari limbah-limbah pertanian atau perkebunan di Indonesia, ungkap dia, oleh karenanya melalui penelitian ini diharapkan layar pada perangkat elektronik dapat diproduksi sendiri di Indonesia dengan harga yang relatif murah karena menggunakan limbah produksi yang tidak ada manfaat sama sekali untuk direkayasa menjadi produk material maju.
“Penggunaan material ini tidak hanya meningkatkan nilai ekonomi dari bahan baku itu sen diri, akan tetapi mewujudkan kemandirian teknologi inovasi nasional. Bahkan mimpi saya produk nanopaper ini mampu bersaing dengan produk hasil penelitian internasional,” kata Athanasia. (Rendra Hanggara)
(nfl)