Limbah Kulit Singkong Disulap Menjadi Bioplastik

Minggu, 08 September 2019 - 10:30 WIB
Limbah Kulit Singkong...
Limbah Kulit Singkong Disulap Menjadi Bioplastik
A A A
BAHAN pembuatan bioplastik ini berasal dari limbah kulit singkong yang jarang dimanfaatkan oleh berbagai produsen makanan dari singkong.

Bioplastik ini bukan untuk kantong pembelanjaan melainkan untuk bungkus makanan, terutama makanan basah agar tidak mudah basi. Penggunaan plastik di Indonesia merupakan terbesar kedua di dunia setelah China. Gagasan mengurangi penggunaan plastik pun mulai digalakkan sejak banyaknya limbah plastik dan kasus ikan mati di laut.

Tingginya penyebaran plastik di dunia, khususnya di Indonesia, membuat sebagian orang berpikir tentang bahan alternatif membuat plastik ramah lingkungan. Tujuannya untuk menyelamatkan alam yang ditinggalkan kepada anak cucu nanti.

Berkaca dari kejadian tersebut, mahasiswi Universitas Jember melakukan inovasi dengan membuat bioplastik dari singkong. Dia adalah Meida Cahyaning Putri, mahasiswi Program Studi Teknologi Hasil Pangan Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) Unej. Meida menuturkan, ide awal pembuatan bioplastik diawali saat dirinya melihat produsen makanan seperti singkong.

Sebagian besar produsen ini hanya memanfaatkan bagian dalam singkong dan bagian luarnya dibuang begitu saja. Ia menerapkan ilmu yang didapatkan selama kuliah untuk memulai penelitiannya. Bahan-bahan tentang teknologi dan hasil pertanian yang ia dapatkan dikembangkan menjadi produk bernilai tinggi.

“Di Jember banyak sekali singkong dan ada pengolahan pangan lokal dari singkong, terus saya berpikir kembali di Jember ini banyak sekali usaha keripik singkong. Dari singkong mereka memanfaatkan dalamnya saja, kulitnya belum dimanfaatkan,” kata Meida saat dihubungi tim KORAN SINDO. Meida mulai mencari literatur tentang kandungan apa saja terdapat dalam kulit singkong.

Alhasil ia menemukan bahwa kulit singkong bisa dimanfaatkan untuk membuat bioplastik yang ramah lingkungan. “Bioplastik yang saya buat ini memanfaatkan limbah lokal hasil pertanian Indonesia yang digunakan adalah kulit bagian dalam (singkong),” katanya. Penelitian mahasiswi itu didukung oleh dosen pembimbingnya, yaitu Dr. Triana Lindriati S.T., M.P dan kelompok riset FTP.

Triana memberikan saran agar dalam penelitiannya tentang bioplastik ditambahkan mikroemulsi yang telah dikembangkan oleh kelompok riset FTP. Berdasarkan data Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik Indonesia tahun 2016, penggunaan plastik di Indonesia mencapai 4,8 juta ton. Data ini memiliki kecenderungan kenaikan sebesar 5% per tahunnya. Seluruh plastik yang beredar di pasaran memiliki sifat tidak terurai.

Meskipun bisa terurai secara alami, namun waktu yang dibutuhkan sangat lama hingga berjuta-juta tahun. Ini akan menjadi bom waktu jika masyarakat tidak peduli terhadap lingkungan dan terus dibiarkan. “Di sisi lain, kita adalah produsen singkong ketiga terbesar di dunia, di mana pati singkong adalah bahan dasar pembuat bioplastik yang aman dan ramah lingkungan,” kata maha siswi asal Jombang, Jawa Timur itu.

Sebenarnya bioplastik sudah banyak dikembangkan di negaranegara maju, bahkan juga di Indonesia. Namun, ada beberapa perbedaan formula antara bioplastik Smart Edible Plastik (SMATIC) dengan bioplastik pada umumnya. “Bedanya, SMATIC menggunakan campuran pati singkong dan tepung kulit singkong. Saya juga menam bah kan mikroemulsi dalam ukuran nano partikel ke dalam bioplastik yang kami kembangkan,” kata mahasiswi berjilbab itu. Biasanya bioplastik memiliki kadar uap air tinggi dan mudah menyerap air.

Untuk mengatasi hal tersebut, Meida menambahkan mikroemulsi agar bioplastik lebih tahan terhadap uap air. Mikroemulsi merupakan dispersi isotropik yang transparan. Ukuran partikelnya berkisar antara 5- 10 nanometer. Mikroemulsi dibuat dari ekstrak teh, bunga rosella, dan bahan alami lainnya. Mikroemulsi ini berfungsi sebagai antioksidan sehingga bioplastik yang diproduksi mampu menjaga keawetan makanan agar tidak mudah basi. Kolaborasi tepung kulit singkong dan mikroemulsi bisa memperkuat daya tarik bioplastik agar tidak mudah rusak jika terkena air.

“Dari pengukuran yang kami lakukan, SMATIC memiliki daya tarik 5 megapascal, sementara untuk plastik yang ada di pasaran atau plastik komersial daya tariknya mencapai 17 megapascal,” kata mahasiswi bimbingan Triana Lindriati ini.Perbedaan daya tarik bioplastik dengan plastik di pasaran memang cukup signifikan. Ini memengaruhi tingkat kekuatan dari plastik yang digunakan, tapi bioplastik sudah layak digunakan. Bioplastik buatan mahasiswi angkatan 2016 ini lebih dikhususkan untuk pembungkus makanan. Bahan-bahan yang digunakan mampu menjaga kualitas makanan lebih tahan lama dan lebih ramah lingkungan.

Meida menjelaskan, SMATIC berfungsi untuk membungkus makanan basah, seperti jenang, dodol, wingko, ketan susu, dan sebagainya. Mikroemulsi menjadi nilai lebih karena mengandung antioksidan. “Sebenarnya kue yang dibungkus dengan SMATIC bisa dimakan dengan plastik pembungkusnya sekaligus, karena terbuat dari bahan alami dan mengandung antioksidan dari teh atau bunga rosella,” katanya.

Proses pembuatan SMATIC tidak membutuhkan teknologi tinggi. Cukup mencam pur kan tepung kulit singkong, mikroemulsi, dan bahan lainnya, kemudian dipanaskan dengan suhu tertentu.

Setelah sedikit mengental seperti bubur, bahan itu dioleskan ke tempat cetak yang sudah disiapkan. Ukuran lebar bioplastik dan ketebalannya disesuaikan dengan kebutuhan pengguna. Pembuatan SMATIC membutuhkan waktu lebih dalam 24 jam. Namun, SMATIC hanya membutuhkan waktu 12 bulan untuk terurai. “Untuk bahan tepung kulit singkong 500 gram bisa menghasilkan delapan kemasan dengan isi masing-masing kemasan 30 lembar, dengan ukuran sekitar 10 x 15 sentimeter,” kata mahasiswi yang merupakan putri dari pasangan Suparman dan Sri Gati.

Harga produk bioplastik Meida dan plastik pada umumnya tidak terlalu signifikan. Jika plastik komersial dijual sebesar Rp 8.000 per kemasan dengan isi 40 lembar, maka bioplastik bisa dijual dengan harga sekitar 7.700 per kemasan dengan isi 30 lembar.

Perbedaan harga ini tentu berpengaruh terhadap kualitas plastik yang digunakan. Namun, perlu dipahami adalah bioplastik sudah pasti ramah lingkungan. Ketekunan Meida dalam meneliti bioplastik mampu membawanya menjadi mahasiswa berprestasi tingkat Universitas Jember tahun 2019. Modal ini ia gunakan untuk mewakili kampus tercinta ke jenjang nasional, yaitu lomba yang diadakan Kemenristekdikti.

Seleksi mahasiswa berprestasi tingkat nasional tahun ini mengambil tema “Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Suistanable Development Goals/ SDGs)”. Ide atau gagasan terbaik sangat dibutuhkan untuk membangun negeri ini agar terus maju ke depan.

“Sesuai dengan tema SDGs, presentasi SMATIC akan saya kaitkan dengan butir kedua belas SDGs tentang bagaimana menjamin kehidupan sehat serta mendorong kesejahteraan untuk semua penduduk di dunia di segala usia,” kata Meida.Meida juga membahas bagaimana melindungi dan memperbarui serta mendorong penggunaan sumber daya atau ekosistem daratan yang bersifat berkelanjutan sesuai butir kelima belas SDGs. Selain mengembangkan penelitian tentang bioplastik, Meida juga berlatih melakukan presentasi dengan sebaik mungkin. Ia juga terus mengasah kemampuan berbahasa Inggris demi melanjutkan cita-citanya belajar keluar negeri.

Meida berharap hasil penelitiannya mendapat dukungan dari pemerintah dan ada pihak-pihak yang melan jutkannya. Ia menginginkan ada pengembangan lebih lanjut agar bioplastik yang awalnya memiliki daya tarik 5 megapascal menjadi 10 megapascal, bahkan lebih. “Saya berharap lebih dikembangkan, mungkin ada penambahan bahan apa atau proses modifikasinya atau bagaimana begitu,” kata mahasiswi Unej. (Fandy)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1526 seconds (0.1#10.140)