UGM Berhasil Kembangkan Prototipe Baterai Nuklir
A
A
A
YOGYAKARTA - Perangkat elektronik bertenaga nuklir bukan sekadar wacana bagi para peneliti di Universitas Gadjah Mada (UGM). Mereka membuktikannya dengan membuat perangkat baterai nuklir untuk peralatan elektroniknya. Tim peneliti ini berasal dari Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika UGM. Mereka terdiri atas empat orang dosen serta enam asisten peneliti.
Prototipe baterai nuklir sebagai sumber energi listrik diperkirakan memiliki daya tahan hingga 40 tahun. Hal ini karena nuklir dikenal sebagai sumber listrik yang hemat.
Selaku ketua tim peneliti Ir. Yudi Utomo Imardjoko, M.Sc.,Ph.D mengatakan, pengembangan proto tipe baterai nuklir awalnya dibiayai oleh mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan. Dahlan ingin agar ada sesuatu yang bisa dibuat dari teknologi nuklir tidak sekadar teori.
“Ini awalnya didanai oleh beliau (Dahlan Iskan). Beliau ingin agar dari teknologi nuklir Indonesia ada sesuatu yang bisa di-create (diciptakan), tidak hanya teoritis. Ini salah satu bukti bahwa kami sudah melakukan sesuatu yang sifatnya ada hasilnya, walaupun masih kecil itu tinggal scale-up(ditingkatkan) saja,” kata Yudi.
Dalam dua tahun terakhir, proyek penelitian ini mendapat pembiayaan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan dan selesai dilaksanakan. Meski belum sempurna dan masih memerlukan pengembangan lebih jauh, prototipe yang dihasilkan menurutnya sudah cukup baik jika dibandingkan dengan hasil penelitian lainnya.
“Ini kan masih kecil, efisiensinya masih rendah walaupun cukup tinggi kalau dibandingkan dengan di tempat lain,“ kata ketua tim peneliti ini.
Menurut Yudi, penelitian merekasaat ini terkendala ketersediaan plutonium 238 sebagai bahan baku utama. Untuk membuat prototipe tersebut, tim harus mendatangkan limbah radioaktif dari Rusia dengan harga yang mahal, yakni USD 8.600 per keping. “Harga per keping hanya 12 dolar, tapi begitu sampai sini harga nyaitu 8.600 dolar per keping,” kata Yudi.
Dahlan Iskan yang hadir meninjau pengembangan baterai itu mengatakan, kendala untuk mendapatkan plutonium 238 bisa teratasi apabila Indonesia memiliki reaktortorium sendiri, sebab plutonium merupakan limbah dari torium.
“Kita bisa tidak impor lagi kalau kita sudah punya reaktortorium. Reaktortorium itu desainnya sudah jadi, dibuat oleh bapak-bapak ahli nuklir ini, kebetulan itu saya yang mendanai. Desainnya sudah jadi,tinggal bagaimana cara mewujudkannya,” kata Dahlan Iskan.
Salah satu asisten peneliti, Elly Ismail mengatakan, ide pengembangan baterai nuklir ini dikonversi secara tidak langsung. Keluarannya kecil, maka digabung dengan selsurya agar semakin besar output-nya.
Pengembangan baterai ini bermuladari ide untuk mencari sumber tenagayang kecil namun tahan lama. Setelah mempelajari berbagai jurnal, nuklirmenjadi pilihan karena dengan dayayang dimiliki baterai bisa bertahan hingga 40 tahun.
“Kalau baterai litiumitu setahun dua tahun sudah habis. Sedangkan baterai nuklir bisa sampai 40 tahun,” kata Elly.
Baterai nuklir dikemas dalam bentuk tabung. Daya listrik yang dihasilkan dari baterai berasal dari pancaran radiasi plutonium 238 yang dikonversi menjadi cahaya tampak.Kemudian cahaya tampak ditangkap dengan foto voltaik atau sel surya menjadi energi listrik. Baterai ini,kata Elly, memungkinkan digunakan di daerah terpencil sebagai sumber energi alat sensor yang mampu mendeteksi siapa saja yang melalui wilayah perbatasan Indonesia.
Penelitian ini diharapkan bisa dikembangkan untuk menghasilkan hasil yang lebih besar dan memiliki ukuran lebih kecil karena baterai berukuran mikro menurutnya bisa dimanfaatkan secara lebih luas.(Fandy)
Prototipe baterai nuklir sebagai sumber energi listrik diperkirakan memiliki daya tahan hingga 40 tahun. Hal ini karena nuklir dikenal sebagai sumber listrik yang hemat.
Selaku ketua tim peneliti Ir. Yudi Utomo Imardjoko, M.Sc.,Ph.D mengatakan, pengembangan proto tipe baterai nuklir awalnya dibiayai oleh mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan. Dahlan ingin agar ada sesuatu yang bisa dibuat dari teknologi nuklir tidak sekadar teori.
“Ini awalnya didanai oleh beliau (Dahlan Iskan). Beliau ingin agar dari teknologi nuklir Indonesia ada sesuatu yang bisa di-create (diciptakan), tidak hanya teoritis. Ini salah satu bukti bahwa kami sudah melakukan sesuatu yang sifatnya ada hasilnya, walaupun masih kecil itu tinggal scale-up(ditingkatkan) saja,” kata Yudi.
Dalam dua tahun terakhir, proyek penelitian ini mendapat pembiayaan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan dan selesai dilaksanakan. Meski belum sempurna dan masih memerlukan pengembangan lebih jauh, prototipe yang dihasilkan menurutnya sudah cukup baik jika dibandingkan dengan hasil penelitian lainnya.
“Ini kan masih kecil, efisiensinya masih rendah walaupun cukup tinggi kalau dibandingkan dengan di tempat lain,“ kata ketua tim peneliti ini.
Menurut Yudi, penelitian merekasaat ini terkendala ketersediaan plutonium 238 sebagai bahan baku utama. Untuk membuat prototipe tersebut, tim harus mendatangkan limbah radioaktif dari Rusia dengan harga yang mahal, yakni USD 8.600 per keping. “Harga per keping hanya 12 dolar, tapi begitu sampai sini harga nyaitu 8.600 dolar per keping,” kata Yudi.
Dahlan Iskan yang hadir meninjau pengembangan baterai itu mengatakan, kendala untuk mendapatkan plutonium 238 bisa teratasi apabila Indonesia memiliki reaktortorium sendiri, sebab plutonium merupakan limbah dari torium.
“Kita bisa tidak impor lagi kalau kita sudah punya reaktortorium. Reaktortorium itu desainnya sudah jadi, dibuat oleh bapak-bapak ahli nuklir ini, kebetulan itu saya yang mendanai. Desainnya sudah jadi,tinggal bagaimana cara mewujudkannya,” kata Dahlan Iskan.
Salah satu asisten peneliti, Elly Ismail mengatakan, ide pengembangan baterai nuklir ini dikonversi secara tidak langsung. Keluarannya kecil, maka digabung dengan selsurya agar semakin besar output-nya.
Pengembangan baterai ini bermuladari ide untuk mencari sumber tenagayang kecil namun tahan lama. Setelah mempelajari berbagai jurnal, nuklirmenjadi pilihan karena dengan dayayang dimiliki baterai bisa bertahan hingga 40 tahun.
“Kalau baterai litiumitu setahun dua tahun sudah habis. Sedangkan baterai nuklir bisa sampai 40 tahun,” kata Elly.
Baterai nuklir dikemas dalam bentuk tabung. Daya listrik yang dihasilkan dari baterai berasal dari pancaran radiasi plutonium 238 yang dikonversi menjadi cahaya tampak.Kemudian cahaya tampak ditangkap dengan foto voltaik atau sel surya menjadi energi listrik. Baterai ini,kata Elly, memungkinkan digunakan di daerah terpencil sebagai sumber energi alat sensor yang mampu mendeteksi siapa saja yang melalui wilayah perbatasan Indonesia.
Penelitian ini diharapkan bisa dikembangkan untuk menghasilkan hasil yang lebih besar dan memiliki ukuran lebih kecil karena baterai berukuran mikro menurutnya bisa dimanfaatkan secara lebih luas.(Fandy)
(nfl)