Dominasi Kereta Berkecepatan Tinggi Antara China dan Jepang

Senin, 30 November 2020 - 01:21 WIB
Ilustrasi kereta cepat. DOK/IST
Jakarta- Jepang dan China berlomba untuk membangun kereta melayang jenis baru yang sangat cepat. Mereka berusaha menunjukkan penguasaan atas teknologi yang memiliki potensi ekspor sangat besar.

Kedua negara tersebut tengah mengembangkan kereta levitasi magnetik atau maglev. Kereta ini menggunakan magnet yang kuat untuk meluncur di sepanjang jalur bermuatan listrik dengan kecepatan fantastis dan minim gesekan.

Baca juga : ACIS 2020 Dukung Pelaku Industri Temukan Strategi Konkret Hadapi COVID-19

Sejauh ini, sejumlah kereta maglev jarak pendek dan eksperimental sudah beroperasi untuk jarak yang tidak terlalu jauh. Namun, dua negara dengan ekonomi terbesar di Asia itu berlomba-lomba mengembangkan jalur kereta maglev antarkota dengan jarak jauh pertama di dunia.

Jepang membangun kereta maglev senilai 9 triliun yen atau setara dengan USD 86 miliar. Jalur kereta dibangun menghubungkan Tokyo dan Osaka yang ditargetkan selesai pada 2037.



Sementara itu, China akan membangun kereta maglev untuk dioperasikan dengan tujuan Shanghai dan kota pelabuhan timur, Ningbo. Proyek ini diperkirakan menghabiskan dana senilai 100 miliar yuan atau setara dengan USD 15 miliar dan diperkirakan selesai pada 2035.

Ada sebuah pertanyaan kenapa pembangunan kereta maglev membutuhkan dana yang begitu fantastis? Tenyata, mahalnya pembangunan kereta maglev disebabkan oleh penggalian terowongan yang melewati jalur-jalur tertentu seperti pedesaan hingga pegunungan.

Para ahli transportasi menilai bahwa Jepang dan China memiliki kesempatan besar dalam melakukan ekspor teknologi berikutnya saat berhasil menyelesaikan proyek kereta maglev tepat waktu. Nilai proyek infrstruktur kereta ini pun diperkirakan akan lebih besar dari biaya percobaan sebelumnya.

"Teknologi maglev memiliki potensi ekspor yang sangat besar dan proyek domestik China dan Jepang seperti jendela toko tentang bagaimana teknologi itu berhasil diterapkan di luar negeri," kata Christopher Hood, profesor di Universitas Cardiff yang mempelajari dan menulis buku tentang shinkansen Jepang, dikutip dari Techxplore.
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More