Riset Oxford Mencari Vaksin COVID-19 di Ujung Kegagalan
Senin, 25 Mei 2020 - 02:14 WIB
JAKARTA - Uji coba vaksin COVID-19 yang dilakukan University of Oxford di ujung kegagalan. Riset ini hanya memiliki peluang 50% untuk berhasil. (Baca juga: Ini Panduan Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 di Tempat Kerja Karya Menkes )
Oxford's Jenner Institute dilaporkan telah terikat kerja dengan biopharma mayor AstraZeneca Plc untuk memproduksi vaksin dalam skala massal. Dengan catatan, jika hasil penelitiannya sukses.
"Percobaan yang melibatkan 10.000 sukarelawan terancam akan kembali tidak menghasilkan hasil, karena rendahnya transmisi COVID-19 di komunitas tersebut," kata Adrian Hill, Direktur Jenner Institute.
"Ini adalah balapan melawan virus yang menghilang dan kita melawan waktu. Saat ini, ada kemungkinan 50% bahwa kami tidak mendapatkan hasil sama sekali," kata Hill saat berbicara dengan surat kabar Inggris, Telegraph.
Tim Hill mulai melakukan uji coba manusia pada tahap awal vaksin di bulan April. Ini menjadikan mereka sebagai salah satu dari segelintir peneliti yang telah mencapai tonggak sejarah itu.
Awal pekan ini, para pengembang vaksin menggambarkan upaya mereka sebagai kemajuan "sangat baik", bergerak ke fase berikutnya setelah menyelesaikan 1.000 imunisasi kandidat-vaksinnya kepada manusia dewasa yang sehat.
Fase berikutnya, yang kedua dari tiga fase uji coba khas yang dilalui vaksin, melibatkan pendaftaran hingga 10.260 orang dewasa dan anak-anak. Ini untuk menilai tanggapan kekebalan terhadap vaksin pada orang-orang dari berbagai usia dan menilai apakah ada variasi.
Studi Oxford menggabungkan Tahap II dan III untuk pengembangan lebih cepat. Fase III melibatkan penilaian bagaimana vaksin bekerja pada sejumlah besar orang di atas usia 18 tahun. Serta seberapa baik vaksin mencegah orang dari menjadi terinfeksi dan tidak sehat dengan COVID-19.
Peserta dewasa dalam kelompok Fase II dan Fase III akan diacak untuk menerima satu atau dua dosis vaksin ChAdOx1 nCoV-19. Atau vaksin berlisensi (MenACWY) yang akan digunakan sebagai "kontrol" untuk perbandingan.
Para ahli mengatakan, ChAdOx1 nCoV-19 terbuat dari virus (ChAdOx1), yang merupakan versi lemah dari virus flu biasa (adenovirus) yang menyebabkan infeksi pada simpanse. Virus telah diubah secara genetika sehingga tidak mungkin untuk ditiru manusia.
Hasil uji coba hewan terhadap vaksin pada server pra-cetak bioRxiv mengatakan, walaupun vaksin itu tampaknya melindungi monyet dari pengembangan pneumonia, salah satu kondisi yang ditimbulkan oleh COVID-19 pada manusia, tampaknya tidak menghentikan mereka dari terinfeksi. Atau mencegah mereka menjadi pemancar atau penyebar virus.
Oxford's Jenner Institute dilaporkan telah terikat kerja dengan biopharma mayor AstraZeneca Plc untuk memproduksi vaksin dalam skala massal. Dengan catatan, jika hasil penelitiannya sukses.
"Percobaan yang melibatkan 10.000 sukarelawan terancam akan kembali tidak menghasilkan hasil, karena rendahnya transmisi COVID-19 di komunitas tersebut," kata Adrian Hill, Direktur Jenner Institute.
"Ini adalah balapan melawan virus yang menghilang dan kita melawan waktu. Saat ini, ada kemungkinan 50% bahwa kami tidak mendapatkan hasil sama sekali," kata Hill saat berbicara dengan surat kabar Inggris, Telegraph.
Tim Hill mulai melakukan uji coba manusia pada tahap awal vaksin di bulan April. Ini menjadikan mereka sebagai salah satu dari segelintir peneliti yang telah mencapai tonggak sejarah itu.
Awal pekan ini, para pengembang vaksin menggambarkan upaya mereka sebagai kemajuan "sangat baik", bergerak ke fase berikutnya setelah menyelesaikan 1.000 imunisasi kandidat-vaksinnya kepada manusia dewasa yang sehat.
Fase berikutnya, yang kedua dari tiga fase uji coba khas yang dilalui vaksin, melibatkan pendaftaran hingga 10.260 orang dewasa dan anak-anak. Ini untuk menilai tanggapan kekebalan terhadap vaksin pada orang-orang dari berbagai usia dan menilai apakah ada variasi.
Studi Oxford menggabungkan Tahap II dan III untuk pengembangan lebih cepat. Fase III melibatkan penilaian bagaimana vaksin bekerja pada sejumlah besar orang di atas usia 18 tahun. Serta seberapa baik vaksin mencegah orang dari menjadi terinfeksi dan tidak sehat dengan COVID-19.
Peserta dewasa dalam kelompok Fase II dan Fase III akan diacak untuk menerima satu atau dua dosis vaksin ChAdOx1 nCoV-19. Atau vaksin berlisensi (MenACWY) yang akan digunakan sebagai "kontrol" untuk perbandingan.
Para ahli mengatakan, ChAdOx1 nCoV-19 terbuat dari virus (ChAdOx1), yang merupakan versi lemah dari virus flu biasa (adenovirus) yang menyebabkan infeksi pada simpanse. Virus telah diubah secara genetika sehingga tidak mungkin untuk ditiru manusia.
Hasil uji coba hewan terhadap vaksin pada server pra-cetak bioRxiv mengatakan, walaupun vaksin itu tampaknya melindungi monyet dari pengembangan pneumonia, salah satu kondisi yang ditimbulkan oleh COVID-19 pada manusia, tampaknya tidak menghentikan mereka dari terinfeksi. Atau mencegah mereka menjadi pemancar atau penyebar virus.
(iqb)
tulis komentar anda