Ilmuwan Jerman Yakin Hutan Indonesia Pernah Dihuni Monyet Setinggi 3 Meter
loading...
A
A
A
BERLIN - Terungkap Gigantopithecus adalah kera paling dekat dengan makhluk mitologi King Kong. Kera besar ini memiliki ukuran tubuh sangat besar dengan tinggi tiga meter (sembilan kaki).
BACA JUGA - Ungkap Ular Naga Nabau Kalimantan, Arkeolog Teliti Fosil Najash
Kera raksasa ini, hidup di hutan semi-tropis China selatan dan Asia Tenggara 300.000 tahun yang lalu. Namun, sangat sedikit yang diketahui tentang bentuk fisik atau perilaku raksasa tersebut.
Setelah penelitian dan analisis bertahun-tahun, terhadap sisa fosil rahang bawah yang tidak lengkap dan gigi, para ilmuwan menyimpulkan kera ini identik dengan kera-kera yang ada di Asia Tenggara.
Menurut Herve Bocherens, seorang peneliti di University of Tübingen di Jerman, beberapa dari sisa-sisa fosil ini tentu saja tidak cukup untuk menentukan apakah hewan tersebut berkaki dua atau berkaki empat, dan berapa proporsi tubuhnya.
Namun dengan tegas Herve memastikan Orangutan adalah kerabat yang paling dekat Gigantopithecus memiliki warna merah atau hitam keemasan.
Herve dan tim ilmuwan internasional menemukan bahwa King Kong kuno hidup secara eksklusif di hutan, dan mereka adalah hewan vegetarian.
Preferensi terbatas ini tidak menimbulkan masalah bagi Gigantopithecus hidup zaman es besar selama Zaman Pleistosen, yang berlangsung sekitar 2,6 juta hingga 12.000 tahun yang lalu.
Evolusi alam mengeksplorasi makanan baru dan berhasil menghancurkan kera raksasa pada saat itu. Karena ukurannya, Gigantopithecus yang sangat besar.
Selain itu, selama zaman Pleistosen, semakin banyak hutan lebat di kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia berubah.
Dan mereka mampu bertahan dari perubahan alam dengan memakan daun, rerumputan, dan akar yang disediakan oleh lingkungan baru mereka, menurut penelitian tersebut.
Namun, kera raksasa Asia, yang mungkin terlalu besar untuk memanjat pohon atau bergelantungan di dahan, tidak melakukan transisi.
"Gigantopithecus mungkin tidak memiliki kelenturan tubuuh yang sama dengan kera seperti saat ini, hal itulah yang menyebabkan mereka punah," kata studi tersebut, yang diterbitkan dalam jurnal spesialis, Quaternary International.
Kisah kera besar adalah pengingat akan pentingnya memahami dampak perubahan iklim di planet kita, dan perlunya mengambil tindakan untuk melindungi alam.
BACA JUGA - Ungkap Ular Naga Nabau Kalimantan, Arkeolog Teliti Fosil Najash
Kera raksasa ini, hidup di hutan semi-tropis China selatan dan Asia Tenggara 300.000 tahun yang lalu. Namun, sangat sedikit yang diketahui tentang bentuk fisik atau perilaku raksasa tersebut.
Setelah penelitian dan analisis bertahun-tahun, terhadap sisa fosil rahang bawah yang tidak lengkap dan gigi, para ilmuwan menyimpulkan kera ini identik dengan kera-kera yang ada di Asia Tenggara.
Menurut Herve Bocherens, seorang peneliti di University of Tübingen di Jerman, beberapa dari sisa-sisa fosil ini tentu saja tidak cukup untuk menentukan apakah hewan tersebut berkaki dua atau berkaki empat, dan berapa proporsi tubuhnya.
Namun dengan tegas Herve memastikan Orangutan adalah kerabat yang paling dekat Gigantopithecus memiliki warna merah atau hitam keemasan.
Herve dan tim ilmuwan internasional menemukan bahwa King Kong kuno hidup secara eksklusif di hutan, dan mereka adalah hewan vegetarian.
Preferensi terbatas ini tidak menimbulkan masalah bagi Gigantopithecus hidup zaman es besar selama Zaman Pleistosen, yang berlangsung sekitar 2,6 juta hingga 12.000 tahun yang lalu.
Evolusi alam mengeksplorasi makanan baru dan berhasil menghancurkan kera raksasa pada saat itu. Karena ukurannya, Gigantopithecus yang sangat besar.
Selain itu, selama zaman Pleistosen, semakin banyak hutan lebat di kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia berubah.
Dan mereka mampu bertahan dari perubahan alam dengan memakan daun, rerumputan, dan akar yang disediakan oleh lingkungan baru mereka, menurut penelitian tersebut.
Namun, kera raksasa Asia, yang mungkin terlalu besar untuk memanjat pohon atau bergelantungan di dahan, tidak melakukan transisi.
"Gigantopithecus mungkin tidak memiliki kelenturan tubuuh yang sama dengan kera seperti saat ini, hal itulah yang menyebabkan mereka punah," kata studi tersebut, yang diterbitkan dalam jurnal spesialis, Quaternary International.
Kisah kera besar adalah pengingat akan pentingnya memahami dampak perubahan iklim di planet kita, dan perlunya mengambil tindakan untuk melindungi alam.
(wbs)