Virus Corona Mewabah, Bumi Justru Capai Rekor Suhu Terpanas di Tahun 2020

Sabtu, 16 Januari 2021 - 11:21 WIB
loading...
Virus Corona Mewabah,...
Perubahan iklim membuat ice abadi di Alaska mencair dan ini menambah volume air laut dalam jumlah besar. Foto/Ist
A A A
HOUSTON - Tahun 2016 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah Planet Bumi dan rekor itu terpecahkan pada 2020. Padahal tahun lalu Bumi mengalami pandemik COVID-19 yang memaksa manusia menghentikan sementara aktivitas industri.

"Tahun ini telah menjadi contoh yang sangat mencolok tentang bagaimana rasanya hidup di bawah beberapa efek perubahan iklim yang paling parah yang telah kami prediksi," kata Lesley Ott, seorang ahli meteorologi penelitian di Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard NASA di Greenbelt, Maryland, AS.

Berita ini muncul setelah temuan bahwa upaya penguncian di awal pandemi COVID-19 pada tahun lalu mengurangi sementara emisi nitrogen dioksida di atmosfer. "Penguncian menunjukkan bahwa kita dapat berubah dan berubah dengan cepat," kata Piers Forster, Direktur Pusat Internasional untuk Iklim Priestley di Universitas Leeds Inggris kepada AFP.

Salah Manusia
Suhu yang mencapai rekor ini adalah hasil dari emisi gas rumah kaca yang dihasilkan manusia, yang sebagian besar berasal dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas alam. Membakar sumber daya tak terbarukan ini menciptakan karbon dioksida yang menumpuk di atmosfer dan memerangkap panas.

"Proses alami Bumi untuk menyerap karbon dioksida yang dilepaskan oleh aktivitas manusia -tumbuhan dan lautan- tidak cukup untuk mengimbangi berapa banyak karbon dioksida yang kita masukkan ke atmosfer," kata Gavin Schmidt, ilmuwan iklim dan Direktur Institut Studi Luar Angkasa Goddard NASA kepada Space.com.

Proses pemanasan global ini hanya akan berlanjut karena manusia terus memproduksi dan mengeluarkan gas rumah kaca, seperti karbon dioksida dan metana. Faktanya, tingkat karbon dioksida telah meningkat sekitar 50% sejak Revolusi Industri 250 tahun lalu, dan tingkat metana di atmosfer telah meningkat lebih dari dua kali lipat dalam rentang itu, menurut pernyataan NASA.

Model iklim saat ini memperkirakan bahwa, karena planet terus menjadi lebih hangat dari waktu ke waktu, maka kita akan mengalami lebih banyak gelombang panas. Ini akan menyebabkan lebih banyak kekeringan dan kebakaran hutan yang sering kita lihat pada tahun 2020, musim badai lebih intens, naiknya permukaan laut dari pencairan lembaran es dan banyak lagi dampak buruk lainnya.

Konsekuensi Iklim
Salah satu konsekuensi dari kenaikan suhu ini, Kutub Utara mengalami gelombang panas yang serius pada tahun 2020. Suhu musim panas melonjak di atas 100 derajat Fahrenheit (38 derajat Celcius) di Siberia, dan panas yang meluas di Kutub Utara bahkan menyebabkan wabah kebakaran hutan.

Wabah kebakaran hutan ini menyalakan kembali sesuatu yang dikenal sebagai "kebakaran zombi", yang diamati di Kutub Utara pada tahun 2019. Kebakaran zombi dapat terjadi ketika api membakar di daerah dengan lapisan es, atau tanah kaya karbon yang dapat tetap membeku sepanjang tahun. Kebakaran ini bisa membakar begitu kuat ke lapisan permafrost sehingga bisa bertahan bahkan melalui musim dingin di bawah selimut salju, hanya untuk disingkapkan di musim semi.

Selain itu, kebakaran hutan berbahaya lainnya terjadi pada tahun 2020, karena perubahan iklim terus memperpanjang musim kebakaran dengan vegetasi lokal mengering pada suhu yang lebih tinggi. Lebih dari 20% bioma hutan beriklim sedang Australia terbakar pada tahun 2020, menurut pernyataan NASA, dan benua itu juga mengalami badai petir pyrocumulonimbus yang disebabkan oleh api, didukung oleh awan yang terbentuk di atas api yang parah. Gumpalan asap dari kebakaran ini mencapai jarak 18 mil (30 kilometer) ke stratosfer.

Karena bencana alam yang menghancurkan seperti ini terus berlanjut dengan meningkatnya suhu, pencairan es di seluruh dunia terus menambah kenaikan permukaan laut dan konsekuensi lainnya. Meskipun tahun 2020 tidak mencatat rekor apa pun dalam hal kehilangan es di laut atau di darat, menurut NASA, Bumi terus kehilangan sekitar 13,1% dari es laut Arktik berdasarkan wilayah setiap dekade.

Meskipun perhitungan NASA mematok 2020 secara efektif terikat dengan 2016 untuk tahun terpanas dalam catatan, analisis oleh para peneliti dengan Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional AS menunjukkan tahun 2020 sebenarnya sedikit lebih dingin daripada 2016.

"Data NASA menunjukkan 2016 dan 2020 sangat berdekatan, meskipun, dalam data NASA, 2020 sedikit di depan," kata Schmidt.
(iqb)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4424 seconds (0.1#10.140)