Mengenal Jupiter, Benda Langit Terbesar Kedua di Tata Surya setelah Matahari
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jupiter merupakan planet terbesar di Tata Surya dengan bintik merah besarnya. Jupiter mampu memukau siapapun yang memandangnya baik ketika senja maupun fajar. Planet ini dinamai Jupiter oleh pengamat langit pada era Romawi, karena Jupiter adalah dewa pelindung bagi kerajaan Romawi.
Jupiter menjadi sangat penting ketika pada tahun 1610, Galileo Galilei mengarahkan teleskopnya dan mengamati empat satelit alami pertama yang mengelilingi planet ini, dan menandai penemuan pertama benda langit yang mengelilingi objek selain Bumi.
Andi Pangerang, Peneliti Pusat Sains dan Antariksa, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), mengatakan bahwa astronom mengenali Jupiter sebagai planet terbesar di Tata Surya jauh sebelum misi eksplorasi luar angkasa menggunakan wahana antariksa diluncurkan.
Planet ini berdiameter 142.984 km atau hampir 11 kali diameter Bumi, sehingga Jupiter dapat memuat 1.321 Bumi berukuran sama. Massa planetnya 2,5 kali dari total massa delapan planet lain termasuk Bumi. Inilah yang membuat Jupiter menjadi benda langit paling dominan kedua setelah Matahari.
Jupiter adalah salah satu contoh planet gas raksasa di Tata Surya. Permukaan Jupiter tidak padat sebagaimana Bumi. Inti planet ini tersusun dari batuan kecil yang tertutup dalam cangkang hidrogen metalik dan dikelilingi oleh hidrogen cair.
Andi menjelaskan, hidrogen cair inilah yang kemudian diselimuti oleh gas hidrogen dengan rasio antara hidrogen dan helium sebesar 90 : 10. Secara keseluruhan, rasio massa hidrogen dan helium pada planet Jupiter sebesar 73 : 24. Rasio ini mirip sekali dengan Matahari yang mana rasio keseluruhan massa hidrogen dan helium sebesar 71 : 27.
Kerapatan massa Jupiter juga mirip dengan Matahari. Jupiter mengandung 1,33 gram setiap sentimeter kubik volumenya sedangkan Matahari mengandung 1,41 gram setiap sentimeter kubik volumenya.
"Bandingkan dengan Bumi yang lebih padat dibandingkan dengan Jupiter dan Matahari, mengandung 5,51 gram setiap sentimeter kubik volumenya," jelas Andi, Minggu (28/8/2021).
Atas dasar inilah Jupiter kerap dianggap sebagai bintang gagal. Namun, Andi menjelaskan bahwa bintang dan planet lahir dari dua mekanisme yang jauh berbeda. Bintang lahir ketika materi sangat padat di awan molekul antar bintang mulai runtuh oleh gravitasinya sendiri.
Runtuhnya awan gas dan debu ini menyebabkan materi ini berputar dan menarik lebih banyak materi lain dari awan di sekelilingnya sehingga menciptakan piringan akresi bintang.
“Seiring bertambahnya massa dan juga gravitasi, inti bintang yang masih sangat muda mengalami tekanan sangat besar sehingga inti bintang ini menjadi semakin panas dan sangat mampat. Dari sinilah reaksi fusi termonuklir dimulai. Setelah bintang selesai mengakresi materi di sekelilingnya, banyak piringan akresi yang tersisa. Dari sinilah planet terbentuk," ujar Andi.
Astronom mengira bahwa Jupiter berasal dari akresi butiran-butiran protoplanet (pebble accretion), yang diawali dari butiran-butiran kecil batuan es dan debu di dalam piringan. Ketika butiran-butiran ini mengelilingi bintang yang masih sangat muda, butiran-butiran tersebut mulai bertabrakan dan tarik-menarik dikarenakan gaya listrik statis.
Butiran-butiran ini kemudian membentuk gumpalan yang cukup besar dengan massa 10 kali massa Bumi. Oleh karena itu, butiran-butiran dapat menarik gas di sekeliling piringan tersebut.
"Sejak saat itu, Jupiter berkembang secara bertahap hingga massanya mencapai seperti saat ini, 318 kali massa Bumi atau seperseribu massa Matahari," imbuh Andi.
Andi melanjutkan, ketika Jupiter selesai menarik materi di sekelilingnya, dan massa yang dibutuhkan masih cukup jauh untuk membentuk fusi termonuklir hidrogen, Jupiter berhenti berkembang. Dalam artian, Jupiter tidak akan mencapai massa lebih besar dibandingkan dengan saat ini.
Pesona Jupiter yang luar biasa inilah yang memunculkan ide untuk mengeksplorasi Jupiter lebih lanjut. Misi eksplorasi Jupiter diawali oleh Pioneer 10 pada tahun 1973 dan disusul Pioneer 11 yang melintasi Jupiter setahun setelahnya.
Wahana Voyager 1 dan 2 yang diluncurkan di tahun 1979 oleh NASA menyelidiki permukaan Jupiter lebih dekat. Tidak hanya itu saja, kedua wahana ini juga memetakan permukaan satelit alami Jupiter dan menemukan cincin tipis Jupiter yang redup.
Wahana antariksa Galileo yang memasuki orbit Jovian di tahun 1995, semakin membuka kesempatan bagi astronom untuk menelisik lebih jauh mengenai karakteristik planet gas raksasa ini. Bahkan, wahana ini juga menjadi saksi ketika komet Shoemaker-Levy 9 menabrak Jupiter di tahun 1994.
Galileo mengirimkan probe untuk mengambil sampel atmosfer, sebelum pada akhirnya probe ini hancur oleh tekanan besar di bawah awan Jupiter . Akhirnya, misi ini selesai di tahun 2003.
Pada Juli 2016, wahana antariksa Juno memasuki orbit di sekitar Jupiter untuk mengawali babak baru pengamatan ilmiah. Berkat wahana ini, astronom dengan tepat memetakan medan gravitasi dan medan magnet Jupiter, mempelajari lebih banyak mengenai gugusan siklon di kutub planet.
Hasil penemuan menakjubkan ini menunjukkan bahwa planet gas raksasa tersebut berotasi seperti benda padat tepat di bawah puncak awan yang tidak stabil. Meskipun Juno awalnya dijadwalkan untuk menghentikan misinya pada Februari 2018, misi tersebut akhirnya diperpanjang dan berjalan hingga Juli 2021 kemarin.
Ukuran Jupiter dan kesamaan komposisi dengan katai coklat dan bintang berukuran kecil juga menyebabkan Jupiter disebut sebagai bintang gagal. Jika planet ini terbentuk dengan lebih banyak massa, Jupiter diklaim akan memicu fusi nuklir dan Tata Surya akan menjadi sistem bintang ganda.
"Kehidupan mungkin tidak pernah berevolusi di Bumi karena suhunya akan terlalu tinggi dan karakteristik atmosfernya menjadi tidak seimbang," tuturnya.
Meskipun Jupiter berukuran sebesar planet, butuh sekitar 75 kali massanya saat ini untuk memicu fusi nuklir di intinya dan menjadi bintang. Astronom telah menemukan bintang-bintang lain yang dikelilingi oleh planet-planet dengan massa yang jauh lebih besar dari Jupiter.
Andi menambahkan, di galaksi Bimasakti, terdapat bintang deret utama yang berukuran sangat kecil, yang disebut EBLM J0555-57Ab. Ukurannya sedikit lebih besar dibandingkan dengan Saturnus, akan tetapi masih lebih kecil dibandingkan dengan Jupiter, yakni 118.000 km.
Bintang ini merupakan salah satu dari sistem tiga bintang yang berjarak 600 tahun cahaya dari Bumi kita. Dengan massa bintang 85 kali massa Jupiter, bintang ini menjadi bukti bahwa ukuran bukan jaminan bahwa objek itu dapat dikategorikan sebagai bintang atau bukan.
"Selain itu, massa juga sangat berpengaruh terhadap proses evolusi bintang. Meskipun kerapatan massa suatu objek sama dengan bintang induknya, bukan lantas objek tersebut bisa menjadi bintang kedua," tutup Andi.
Jupiter menjadi sangat penting ketika pada tahun 1610, Galileo Galilei mengarahkan teleskopnya dan mengamati empat satelit alami pertama yang mengelilingi planet ini, dan menandai penemuan pertama benda langit yang mengelilingi objek selain Bumi.
Andi Pangerang, Peneliti Pusat Sains dan Antariksa, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), mengatakan bahwa astronom mengenali Jupiter sebagai planet terbesar di Tata Surya jauh sebelum misi eksplorasi luar angkasa menggunakan wahana antariksa diluncurkan.
Planet ini berdiameter 142.984 km atau hampir 11 kali diameter Bumi, sehingga Jupiter dapat memuat 1.321 Bumi berukuran sama. Massa planetnya 2,5 kali dari total massa delapan planet lain termasuk Bumi. Inilah yang membuat Jupiter menjadi benda langit paling dominan kedua setelah Matahari.
Jupiter adalah salah satu contoh planet gas raksasa di Tata Surya. Permukaan Jupiter tidak padat sebagaimana Bumi. Inti planet ini tersusun dari batuan kecil yang tertutup dalam cangkang hidrogen metalik dan dikelilingi oleh hidrogen cair.
Andi menjelaskan, hidrogen cair inilah yang kemudian diselimuti oleh gas hidrogen dengan rasio antara hidrogen dan helium sebesar 90 : 10. Secara keseluruhan, rasio massa hidrogen dan helium pada planet Jupiter sebesar 73 : 24. Rasio ini mirip sekali dengan Matahari yang mana rasio keseluruhan massa hidrogen dan helium sebesar 71 : 27.
Kerapatan massa Jupiter juga mirip dengan Matahari. Jupiter mengandung 1,33 gram setiap sentimeter kubik volumenya sedangkan Matahari mengandung 1,41 gram setiap sentimeter kubik volumenya.
"Bandingkan dengan Bumi yang lebih padat dibandingkan dengan Jupiter dan Matahari, mengandung 5,51 gram setiap sentimeter kubik volumenya," jelas Andi, Minggu (28/8/2021).
Atas dasar inilah Jupiter kerap dianggap sebagai bintang gagal. Namun, Andi menjelaskan bahwa bintang dan planet lahir dari dua mekanisme yang jauh berbeda. Bintang lahir ketika materi sangat padat di awan molekul antar bintang mulai runtuh oleh gravitasinya sendiri.
Runtuhnya awan gas dan debu ini menyebabkan materi ini berputar dan menarik lebih banyak materi lain dari awan di sekelilingnya sehingga menciptakan piringan akresi bintang.
“Seiring bertambahnya massa dan juga gravitasi, inti bintang yang masih sangat muda mengalami tekanan sangat besar sehingga inti bintang ini menjadi semakin panas dan sangat mampat. Dari sinilah reaksi fusi termonuklir dimulai. Setelah bintang selesai mengakresi materi di sekelilingnya, banyak piringan akresi yang tersisa. Dari sinilah planet terbentuk," ujar Andi.
Astronom mengira bahwa Jupiter berasal dari akresi butiran-butiran protoplanet (pebble accretion), yang diawali dari butiran-butiran kecil batuan es dan debu di dalam piringan. Ketika butiran-butiran ini mengelilingi bintang yang masih sangat muda, butiran-butiran tersebut mulai bertabrakan dan tarik-menarik dikarenakan gaya listrik statis.
Butiran-butiran ini kemudian membentuk gumpalan yang cukup besar dengan massa 10 kali massa Bumi. Oleh karena itu, butiran-butiran dapat menarik gas di sekeliling piringan tersebut.
"Sejak saat itu, Jupiter berkembang secara bertahap hingga massanya mencapai seperti saat ini, 318 kali massa Bumi atau seperseribu massa Matahari," imbuh Andi.
Andi melanjutkan, ketika Jupiter selesai menarik materi di sekelilingnya, dan massa yang dibutuhkan masih cukup jauh untuk membentuk fusi termonuklir hidrogen, Jupiter berhenti berkembang. Dalam artian, Jupiter tidak akan mencapai massa lebih besar dibandingkan dengan saat ini.
Pesona Jupiter yang luar biasa inilah yang memunculkan ide untuk mengeksplorasi Jupiter lebih lanjut. Misi eksplorasi Jupiter diawali oleh Pioneer 10 pada tahun 1973 dan disusul Pioneer 11 yang melintasi Jupiter setahun setelahnya.
Wahana Voyager 1 dan 2 yang diluncurkan di tahun 1979 oleh NASA menyelidiki permukaan Jupiter lebih dekat. Tidak hanya itu saja, kedua wahana ini juga memetakan permukaan satelit alami Jupiter dan menemukan cincin tipis Jupiter yang redup.
Wahana antariksa Galileo yang memasuki orbit Jovian di tahun 1995, semakin membuka kesempatan bagi astronom untuk menelisik lebih jauh mengenai karakteristik planet gas raksasa ini. Bahkan, wahana ini juga menjadi saksi ketika komet Shoemaker-Levy 9 menabrak Jupiter di tahun 1994.
Galileo mengirimkan probe untuk mengambil sampel atmosfer, sebelum pada akhirnya probe ini hancur oleh tekanan besar di bawah awan Jupiter . Akhirnya, misi ini selesai di tahun 2003.
Pada Juli 2016, wahana antariksa Juno memasuki orbit di sekitar Jupiter untuk mengawali babak baru pengamatan ilmiah. Berkat wahana ini, astronom dengan tepat memetakan medan gravitasi dan medan magnet Jupiter, mempelajari lebih banyak mengenai gugusan siklon di kutub planet.
Hasil penemuan menakjubkan ini menunjukkan bahwa planet gas raksasa tersebut berotasi seperti benda padat tepat di bawah puncak awan yang tidak stabil. Meskipun Juno awalnya dijadwalkan untuk menghentikan misinya pada Februari 2018, misi tersebut akhirnya diperpanjang dan berjalan hingga Juli 2021 kemarin.
Ukuran Jupiter dan kesamaan komposisi dengan katai coklat dan bintang berukuran kecil juga menyebabkan Jupiter disebut sebagai bintang gagal. Jika planet ini terbentuk dengan lebih banyak massa, Jupiter diklaim akan memicu fusi nuklir dan Tata Surya akan menjadi sistem bintang ganda.
"Kehidupan mungkin tidak pernah berevolusi di Bumi karena suhunya akan terlalu tinggi dan karakteristik atmosfernya menjadi tidak seimbang," tuturnya.
Meskipun Jupiter berukuran sebesar planet, butuh sekitar 75 kali massanya saat ini untuk memicu fusi nuklir di intinya dan menjadi bintang. Astronom telah menemukan bintang-bintang lain yang dikelilingi oleh planet-planet dengan massa yang jauh lebih besar dari Jupiter.
Andi menambahkan, di galaksi Bimasakti, terdapat bintang deret utama yang berukuran sangat kecil, yang disebut EBLM J0555-57Ab. Ukurannya sedikit lebih besar dibandingkan dengan Saturnus, akan tetapi masih lebih kecil dibandingkan dengan Jupiter, yakni 118.000 km.
Bintang ini merupakan salah satu dari sistem tiga bintang yang berjarak 600 tahun cahaya dari Bumi kita. Dengan massa bintang 85 kali massa Jupiter, bintang ini menjadi bukti bahwa ukuran bukan jaminan bahwa objek itu dapat dikategorikan sebagai bintang atau bukan.
"Selain itu, massa juga sangat berpengaruh terhadap proses evolusi bintang. Meskipun kerapatan massa suatu objek sama dengan bintang induknya, bukan lantas objek tersebut bisa menjadi bintang kedua," tutup Andi.
(ysw)