Gerhana Matahari di Indonesia 37 Tahun Lalu Sangat Mencekam
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jenis gerhana matahari yang langka akan bertepatan di Minggu 21 Juni 2020 di Indonesia, hal ini menandai hanya kedua kalinya sejak 1983 bahwa peristiwa astronomi ini terjadi pada bulan yang sama.
Gerhana matahari cincin akan menciptakan efek spektakuler bagi para pengamat langit untuk menyaksikan di sebagian besar dunia. BACA JUGA - Awas! Fotosfer di Sekeliling Gerhana Matahari 2020 Membahayakan
Indonesia pernah disapa oleh Gerhana Matahari Total (GMT) atau Total Solar Eclipse, tepatnya pada 11 Juni 1983. Kala itu, jalur totalitas GMT berlangsung hanya di Pulau Jawa, lokasi dengan populasi penduduk terbanyak di Indonesia.
Mengutip dari beberapa sumber, pada tahun 1983 itu, pada tahun 1983 justru tercatat sebagai peristiwa yang paling menghebohkan. Kehebohan terjadi karena pada masa itu banyak beredar kabar bohong. BACA JUGA -Fenomena Langka, Dalam Sehari Aceh Akan Digempur Gerhana Matahari dan Bulan
Di zaman pemerintahan Orde Baru, rakyat tidak boleh melihat GMT secara langsung. Masyarakat saat itu oleh Menteri Penerangan (Menpen) Harmoko, diminta untuk tidak keluar rumah atau menyaksikan peristiwa GMT secara langsung tanpa alat dan melihat dari luar rumah.
Pemerintah melalui aparat TNI dan Polri juga melarang warga menyaksikan langsung secara beramai-ramai. Bahkan di wilayah Jawa Timur, aparat keamanan menyita puluhan alat teropong yang akan digunakan warga untuk melihat gerhana.
Warga diperintahkan masuk ke dalam rumah. Bahkan, saat itu adalah hari kerja namun di sejumlah tempat terpaksa harus menghentikan aktivitas mereka hingga siang hari. Warga masyarakat saat itu mematuhi aturan yang keluarkan Presiden Soeharto melalui Menpen Harmoko.
Kala itu, informasi yang beredar soal gerhana bisa dibilang `menyeramkan`, yakni bila menyaksikan langsung dengan mata telanjang akan terkena dampak radiasi infra merah atau percikan atau lontaran partikel-partikel gas dari matahari. Rakyat waktu itu ditakut-takuti jika melihat langsung bisa mengakibatkan gangguan mata hingga mengalami kebutaan. Sehingga, saat Gerhana Matahari Total terjadi, bahkan ada yang bertindak ekstrem sampai-sampai seluruh jendela rumah ditutup.
Rumah-rumah warga, terutama bagian lubang angin, hewan ternak peliharaan seperti sapi, kerbau, dan kambing serta burung peliharaan perkutut diminta untuk disembunyikan. Lubang angin rumah harus disumbat. Sapi atau hewan terbnak lainnya matanya harus ditutup kain saat di kandang. Sedangkan burung perkutut harus disembunyikan di bawah kolong tempat tidur.
Bahkan, Rumah Sakit Umum (RSU) Dr Sardjito Yogyakarta juga menyiapkan Tim Satgasus (Satuan Tugas Khusus) untuk menangani korban akibat melihat langsung GMT.
Hanya di televisi
Puncak totalitas gerhana berlangsung cukup lama, hampir 7 menit. Kala itu fenomena terjadi pada tengah hari bolong, yaitu sekitar pukul 12 siang. Bagaimana tidak heboh, seharusnya terik, tapi secara alami berubah menjadi seperti malam, kata orang-orang. Peristiwa ini bisa dikatakan menjadi awal mula anggapan Gerhana Matahari sifatnya "membahayakan" muncul.
Saat GMT berlangsung, warga hanya boleh melihat dari siaran televisi, yang saat itu masih televisi hitam putih. Padahal, Gerhana Matahari Total 1983 itu menjadi perhatian dunia internasional terutama para ahli dari luar negeri yang banyak berdatangan ke Indonesia.
Fenomena heboh Gerhana Matahari Total 1983 disiarkan langsung di TVRI -- stasiun televisi satu-satunya di Indonesia kala itu. Tayangan ala jadul tersebut pun menjadi saksi terkait FENOMENA alam langka.
Gerhana matahari cincin akan menciptakan efek spektakuler bagi para pengamat langit untuk menyaksikan di sebagian besar dunia. BACA JUGA - Awas! Fotosfer di Sekeliling Gerhana Matahari 2020 Membahayakan
Indonesia pernah disapa oleh Gerhana Matahari Total (GMT) atau Total Solar Eclipse, tepatnya pada 11 Juni 1983. Kala itu, jalur totalitas GMT berlangsung hanya di Pulau Jawa, lokasi dengan populasi penduduk terbanyak di Indonesia.
Mengutip dari beberapa sumber, pada tahun 1983 itu, pada tahun 1983 justru tercatat sebagai peristiwa yang paling menghebohkan. Kehebohan terjadi karena pada masa itu banyak beredar kabar bohong. BACA JUGA -Fenomena Langka, Dalam Sehari Aceh Akan Digempur Gerhana Matahari dan Bulan
Di zaman pemerintahan Orde Baru, rakyat tidak boleh melihat GMT secara langsung. Masyarakat saat itu oleh Menteri Penerangan (Menpen) Harmoko, diminta untuk tidak keluar rumah atau menyaksikan peristiwa GMT secara langsung tanpa alat dan melihat dari luar rumah.
Pemerintah melalui aparat TNI dan Polri juga melarang warga menyaksikan langsung secara beramai-ramai. Bahkan di wilayah Jawa Timur, aparat keamanan menyita puluhan alat teropong yang akan digunakan warga untuk melihat gerhana.
Warga diperintahkan masuk ke dalam rumah. Bahkan, saat itu adalah hari kerja namun di sejumlah tempat terpaksa harus menghentikan aktivitas mereka hingga siang hari. Warga masyarakat saat itu mematuhi aturan yang keluarkan Presiden Soeharto melalui Menpen Harmoko.
Kala itu, informasi yang beredar soal gerhana bisa dibilang `menyeramkan`, yakni bila menyaksikan langsung dengan mata telanjang akan terkena dampak radiasi infra merah atau percikan atau lontaran partikel-partikel gas dari matahari. Rakyat waktu itu ditakut-takuti jika melihat langsung bisa mengakibatkan gangguan mata hingga mengalami kebutaan. Sehingga, saat Gerhana Matahari Total terjadi, bahkan ada yang bertindak ekstrem sampai-sampai seluruh jendela rumah ditutup.
Rumah-rumah warga, terutama bagian lubang angin, hewan ternak peliharaan seperti sapi, kerbau, dan kambing serta burung peliharaan perkutut diminta untuk disembunyikan. Lubang angin rumah harus disumbat. Sapi atau hewan terbnak lainnya matanya harus ditutup kain saat di kandang. Sedangkan burung perkutut harus disembunyikan di bawah kolong tempat tidur.
Bahkan, Rumah Sakit Umum (RSU) Dr Sardjito Yogyakarta juga menyiapkan Tim Satgasus (Satuan Tugas Khusus) untuk menangani korban akibat melihat langsung GMT.
Hanya di televisi
Puncak totalitas gerhana berlangsung cukup lama, hampir 7 menit. Kala itu fenomena terjadi pada tengah hari bolong, yaitu sekitar pukul 12 siang. Bagaimana tidak heboh, seharusnya terik, tapi secara alami berubah menjadi seperti malam, kata orang-orang. Peristiwa ini bisa dikatakan menjadi awal mula anggapan Gerhana Matahari sifatnya "membahayakan" muncul.
Saat GMT berlangsung, warga hanya boleh melihat dari siaran televisi, yang saat itu masih televisi hitam putih. Padahal, Gerhana Matahari Total 1983 itu menjadi perhatian dunia internasional terutama para ahli dari luar negeri yang banyak berdatangan ke Indonesia.
Fenomena heboh Gerhana Matahari Total 1983 disiarkan langsung di TVRI -- stasiun televisi satu-satunya di Indonesia kala itu. Tayangan ala jadul tersebut pun menjadi saksi terkait FENOMENA alam langka.
(wbs)