Fakta Baru, Hewan Berdarah Dingin Punya Rahasia Umur Panjang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sebuah penelitian menyeluruh melibatkan hewan tetrapoda ekotermik seperti reptil dan amfibi membuka wawasan baru mengenai rahasia umur panjang. Terutama yang dialami oleh para hewan berdarah dingin.
Diketahui hewan berdarah dingin seperti kura-kura cenderung memiliki rentang hidup yang panjang. Begitu juga ukuran tubuh yang sangat berbeda dibandingkan hewan lainnya.
Penelitian yang dipublikasikan jurnal Science itu sangat komprehensif karena melibatkan 107 hewan berdarah dingin. Seluruh objek penelitian itu mewakili 77 spesies hewan berdarah dingin yang ada saat ini.
Dari penelitian itu diketahui sebanyak 30 spesies vertebrata yang berhasil melewati umur 100 tahun kebanyakan adalah hewan ektoterm atau hewan yang panas tubuhnya berasal dari lingkungan. Disebutkan Science Alert sebanyak 26 spesies vertebrata ektoterm banyak yang umurnya lebih dari 100 tahun.
Fakta itu yang kemudian menarik perhatian para peneliti. Mereka kemudian mencoba cari tahu apa yang membuat para hewan itu bisa panjang umur. Termasuk bagaimana mereka bertahan hingga tidak kunjung mati.
Penelitian itu sendiri menghasilkan banyak temuan. Termasuk hubungan antara sifat fisik atau kimia yang melindungi spesies itu yang bisa membuat mereka jadi lebih lama hidup. Beberapa sifat fisik itu di antaranya badan yang memiliki pelindung keras, duri, cangkang hingga gigitan yang berbisa.
Secara ilmiah mekanisme itu dikenal sebagai fenotipe pelindung. Diyakini oleh para peneliti mekanisme sangat membuat perbedaan dalam menjaga umur panjang.
“Berbagai mekanisme perlindungan ini dapat mengurangi tingkat kematian hewan dalam beberapa generasi,” kata ahli biologi evolusioner Beth Reinke, dari Northeastern Illinois University.
"Dengan demikian, mereka cenderung hidup lebih lama, dan itu dapat mengubah lanskap seleksi lintas generasi untuk evolusi penuaan yang lebih lama," sambungnya lagi.
Beth Reinke melanjutkan penelitian itu tidak menyebutkan bahwa beberapa binatang tidak menua sama sekali. Pasalnya kemungkinan hewan itu mati juga tidak berubah apalagi terus usianya bertambah dan telah melewati masa reproduksi.
Lebih lanjut mereka juga mengecualikan kondisi tertentu, yakni penuaan yang diabaikan. Hal itu terjadi saat hewan mengalami penuaan di luar kebiasaan. Dimana hanya ada satu objek yang mengalami penuaan panjang dimana yang lainnya tidak mampu mencapai kondisi yang sama.
Kondisi penuaan yang diabaikan itu terjadi pada satu spesies di masing-masing grup ektoterm seperti katak, salamander, kadal, buaya dan kura-kura.
Hanya saja bisa dipastikan bahwa ektoterma dapat hidup lebih lama atau lebih pendek dibanding endoterm. Bahkan variasi dalam tingkat penuaan dan umur panjang ektoterm jauh lebih besar daripada pada burung dan mamalia.
"Bisa jadi morfologi mereka yang berubah dengan cangkang keras memberikan perlindungan dan telah berkontribusi pada evolusi sejarah hidup mereka, termasuk penuaan yang dapat diabaikan," kata ahli biologi evolusi Anne Bronikowski, dari Michigan State University.
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Science itu diharapkan berguna untuk melihat pola penuaan pada manusia. Selain itu juga diharapkan bisa membantu upaya konservasi hewan berdarah dingin.
"Dataset jangka panjang yang mendukung rentang hidup hewan ini juga penting untuk upaya konservasi reptil," kata ahli ekologi Mike Gardner, dari Flinders University di Australia.
Diketahui hewan berdarah dingin seperti kura-kura cenderung memiliki rentang hidup yang panjang. Begitu juga ukuran tubuh yang sangat berbeda dibandingkan hewan lainnya.
Penelitian yang dipublikasikan jurnal Science itu sangat komprehensif karena melibatkan 107 hewan berdarah dingin. Seluruh objek penelitian itu mewakili 77 spesies hewan berdarah dingin yang ada saat ini.
Dari penelitian itu diketahui sebanyak 30 spesies vertebrata yang berhasil melewati umur 100 tahun kebanyakan adalah hewan ektoterm atau hewan yang panas tubuhnya berasal dari lingkungan. Disebutkan Science Alert sebanyak 26 spesies vertebrata ektoterm banyak yang umurnya lebih dari 100 tahun.
Fakta itu yang kemudian menarik perhatian para peneliti. Mereka kemudian mencoba cari tahu apa yang membuat para hewan itu bisa panjang umur. Termasuk bagaimana mereka bertahan hingga tidak kunjung mati.
Penelitian itu sendiri menghasilkan banyak temuan. Termasuk hubungan antara sifat fisik atau kimia yang melindungi spesies itu yang bisa membuat mereka jadi lebih lama hidup. Beberapa sifat fisik itu di antaranya badan yang memiliki pelindung keras, duri, cangkang hingga gigitan yang berbisa.
Secara ilmiah mekanisme itu dikenal sebagai fenotipe pelindung. Diyakini oleh para peneliti mekanisme sangat membuat perbedaan dalam menjaga umur panjang.
“Berbagai mekanisme perlindungan ini dapat mengurangi tingkat kematian hewan dalam beberapa generasi,” kata ahli biologi evolusioner Beth Reinke, dari Northeastern Illinois University.
"Dengan demikian, mereka cenderung hidup lebih lama, dan itu dapat mengubah lanskap seleksi lintas generasi untuk evolusi penuaan yang lebih lama," sambungnya lagi.
Beth Reinke melanjutkan penelitian itu tidak menyebutkan bahwa beberapa binatang tidak menua sama sekali. Pasalnya kemungkinan hewan itu mati juga tidak berubah apalagi terus usianya bertambah dan telah melewati masa reproduksi.
Lebih lanjut mereka juga mengecualikan kondisi tertentu, yakni penuaan yang diabaikan. Hal itu terjadi saat hewan mengalami penuaan di luar kebiasaan. Dimana hanya ada satu objek yang mengalami penuaan panjang dimana yang lainnya tidak mampu mencapai kondisi yang sama.
Kondisi penuaan yang diabaikan itu terjadi pada satu spesies di masing-masing grup ektoterm seperti katak, salamander, kadal, buaya dan kura-kura.
Hanya saja bisa dipastikan bahwa ektoterma dapat hidup lebih lama atau lebih pendek dibanding endoterm. Bahkan variasi dalam tingkat penuaan dan umur panjang ektoterm jauh lebih besar daripada pada burung dan mamalia.
"Bisa jadi morfologi mereka yang berubah dengan cangkang keras memberikan perlindungan dan telah berkontribusi pada evolusi sejarah hidup mereka, termasuk penuaan yang dapat diabaikan," kata ahli biologi evolusi Anne Bronikowski, dari Michigan State University.
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Science itu diharapkan berguna untuk melihat pola penuaan pada manusia. Selain itu juga diharapkan bisa membantu upaya konservasi hewan berdarah dingin.
"Dataset jangka panjang yang mendukung rentang hidup hewan ini juga penting untuk upaya konservasi reptil," kata ahli ekologi Mike Gardner, dari Flinders University di Australia.
(wsb)