Teknologi Peredup Sinar Matahari
A
A
A
Para peneliti sedang mengembangkan rencana untuk meredupkan sinar matahari demi mengurangi dampak perubahan iklim.
Mereka berharap bahan kimia buatan manusia untuk kerai sinar matahari itu dapat memiliki risiko lebih kecil dibandingkan naiknya suhu global yang berbahaya. Riset yang disebut “solar geo-engineering” itu akan menirukan letusan gunung berapi yang bisa mendinginkan Bumi dengan menghalangi sinar matahari dengan tabir abu.
Penelitian semacam ini kini dilirik banyak pihak di berbagai negara kaya dan universitas-universitas ternama termasuk Universitas Harvard dan Universitas Oxford.
Sebanyak 12 pakar dari berbagai negara termasuk Bangladesh, Brasil, China, Etiopia, India, Jamaika, dan Thailand, menulis di jurnal Nature pekan ini bahwa negara-negara miskin paling rawan pada pemanasan global dan harus lebih banyak dilibatkan.
“Negara-negara berkembang harus memimpin riset solar geo-engineering. Seluruh ide tentang solar geo-engineering sungguh gila, tapi secara bertahap diterima di dunia riset,” tulis kepala peneliti Atiq Rahman yang memimpin Bangladesh Centre for Advanced Studies pada kantor berita Reuters.
Berbagai studi tentang solar geoengineering telah dibantu dengan pendanaan baru USD400.000 dari Open Philanthropy Project, yayasan yang didukung Co-Founder Facebook Dustin Moskovitz dan istrinya Cari Tuna.
“Dana itu dapat membantu para peneliti di negara-negara berkembang mem pelajari dampak regional solar geo-engineering, seperti saat kekeringan, banjir, atau musim hujan,” kata Andy Parker, salah satu peneliti dan direktur proyek Solar Radiation Management Governance Initiative.
Rahman menjelaskan, para akademisi juga memperkirakan geo-engineering itu dapat bekerja di lapangan. Be berapa ide yang diusulkan adalah pesawat bisa menyemprotkan awan partikel sulfur pemantul sinar matahari di atmosfer Bumi.
“Teknik ini kontroversial dan memang seperti itu. Masih terlalu dini untuk mengetahui apa dampak yang diakibatkannya. Ini juga bisa menjadi sangat membantu atau sangat merusak,” tulis para peneliti. Tim pakar iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) masih skeptis dengan dampak solar geo-engineering itu.
“Ini mungkin secara ekonomi, sosial dan kelem bagaan tidak layak,” ungkap mereka. Beberapa risikonya, menurut para pakar PBB itu adalah kemungkinan teknik ini mengganggu pola cuaca dan akan sulit dihentikan saat sudah terjadi perubahan. Teknologi ini mungkin tak terlalu disukai negara-negara yang ingin mengubah bahan bakar fosil dengan energi lebih bersih.
Rahman menjelaskan, sebagian besar negara maju sejauh ini gagal dengan janji mereka memangkas emisi gas rumah kaca sehingga opsi-opsi radikal membatasi pemanasan global dapat lebih menarik. Dunia saat ini menetapkan target pemanasan tiga derajat celsius atau lebih di atas erapraindustri.
Target ini jauh di atas tujuan untuk men jaga kenaikan suhu di bawah 2 derajat celsius sesuai Kesepakatan Paris 2015 yang disepakati hampir 200 negara. Para pendukung proyek tersebut menyebut rencana yang mahal dan berisiko itu sangat penting dalam mencari berbagai cara memenuhi target kesepakatan iklim Paris untuk mencegah pemanasan global.
Para peneliti menyebut pemanasan global sebagai penyebab bumi mengalami lebih banyak gelombang panas, curah hujan ekstrem, dan naiknya ketinggian permukaan air laut. PBB menjelaskan, target-target itu tidak mungkin dicapai hanya dengan mengurangi emisi dari pabrik atau kendaraan.
Para peneliti pun terus mencari cara baru menjaga suhu bumi lebih dingin. Beberapa peneliti juga merancang penyedot karbondioksida di udara dengan kipas raksasa. Di dekat Zurich, perusahaan Swiss, Climeworks, mulai menyedot gas rumah kaca dari udara dengan kipas dan filter raksasa pada Mei lalu.
Proyek senilai USD23 juta itu di sebut sebagai pabrik penangkap karbon dioksida komersial pertama di dunia. Di penjuru dunia, riset penangkap udara langsung oleh berbagai per usahaan seperti Climeworks telah meraih pendanaan puluhan juta dolar dalam beberapa tahun terakhir dari berbagai sumber, termasuk pemerintah di sejumlah negara, Pendiri Microsoft Bill Gates, dan Badan Antariksa Eropa (ESA).
Jika karbon dioksida dikubur di bawah tanah setelah diambil dari udara, maka dapat mem bantu mengurangi pemanasan global. Langkah radikal ini bisa memangkas emisi yang menjadi fokus utama dalam Kesepakatan Paris.
Climeworks menghitung biayanya sekarang sekitar USD600 untuk mengekstraksi satu ton karbondioksida dari udara dan pabrik dengan kapasitas penuh pada akhir 2017 hanya mampu menyerap 900 ton karbondioksida per tahun. Jumlah itu setara dengan emisi per tahun untuk 45 orang warga AS saja.
Climeworks juga berencana menjual gas karbon dioksida ke lahan pertanian terdekat sebagai pupuk untuk menanam tomat dan mentimun. Mereka juga ber mitra dengan perusahaan automotif Audi untuk menggunakan karbon sebagai bahan bakar ramah lingkungan.
Direktur dan Pendiri Climeworks Jan Wurzbacher menjelaskan, perusaha annya memiliki ambisi memangkas biaya hingga USD100 per ton karbondioksida dan menangkap 1% emisi karbon buatan manusia secara global per tahun pada 2025.
“Sejak Kesepakatan Paris, bisnis berubah drastis, dengan perubahan dalam minat investor dan pemegang saham menjauh dari industri yang menggunakan karbon untuk mencegah perubahan iklim,” kata Wurzbacher. (Syarifudin)
Mereka berharap bahan kimia buatan manusia untuk kerai sinar matahari itu dapat memiliki risiko lebih kecil dibandingkan naiknya suhu global yang berbahaya. Riset yang disebut “solar geo-engineering” itu akan menirukan letusan gunung berapi yang bisa mendinginkan Bumi dengan menghalangi sinar matahari dengan tabir abu.
Penelitian semacam ini kini dilirik banyak pihak di berbagai negara kaya dan universitas-universitas ternama termasuk Universitas Harvard dan Universitas Oxford.
Sebanyak 12 pakar dari berbagai negara termasuk Bangladesh, Brasil, China, Etiopia, India, Jamaika, dan Thailand, menulis di jurnal Nature pekan ini bahwa negara-negara miskin paling rawan pada pemanasan global dan harus lebih banyak dilibatkan.
“Negara-negara berkembang harus memimpin riset solar geo-engineering. Seluruh ide tentang solar geo-engineering sungguh gila, tapi secara bertahap diterima di dunia riset,” tulis kepala peneliti Atiq Rahman yang memimpin Bangladesh Centre for Advanced Studies pada kantor berita Reuters.
Berbagai studi tentang solar geoengineering telah dibantu dengan pendanaan baru USD400.000 dari Open Philanthropy Project, yayasan yang didukung Co-Founder Facebook Dustin Moskovitz dan istrinya Cari Tuna.
“Dana itu dapat membantu para peneliti di negara-negara berkembang mem pelajari dampak regional solar geo-engineering, seperti saat kekeringan, banjir, atau musim hujan,” kata Andy Parker, salah satu peneliti dan direktur proyek Solar Radiation Management Governance Initiative.
Rahman menjelaskan, para akademisi juga memperkirakan geo-engineering itu dapat bekerja di lapangan. Be berapa ide yang diusulkan adalah pesawat bisa menyemprotkan awan partikel sulfur pemantul sinar matahari di atmosfer Bumi.
“Teknik ini kontroversial dan memang seperti itu. Masih terlalu dini untuk mengetahui apa dampak yang diakibatkannya. Ini juga bisa menjadi sangat membantu atau sangat merusak,” tulis para peneliti. Tim pakar iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) masih skeptis dengan dampak solar geo-engineering itu.
“Ini mungkin secara ekonomi, sosial dan kelem bagaan tidak layak,” ungkap mereka. Beberapa risikonya, menurut para pakar PBB itu adalah kemungkinan teknik ini mengganggu pola cuaca dan akan sulit dihentikan saat sudah terjadi perubahan. Teknologi ini mungkin tak terlalu disukai negara-negara yang ingin mengubah bahan bakar fosil dengan energi lebih bersih.
Rahman menjelaskan, sebagian besar negara maju sejauh ini gagal dengan janji mereka memangkas emisi gas rumah kaca sehingga opsi-opsi radikal membatasi pemanasan global dapat lebih menarik. Dunia saat ini menetapkan target pemanasan tiga derajat celsius atau lebih di atas erapraindustri.
Target ini jauh di atas tujuan untuk men jaga kenaikan suhu di bawah 2 derajat celsius sesuai Kesepakatan Paris 2015 yang disepakati hampir 200 negara. Para pendukung proyek tersebut menyebut rencana yang mahal dan berisiko itu sangat penting dalam mencari berbagai cara memenuhi target kesepakatan iklim Paris untuk mencegah pemanasan global.
Para peneliti menyebut pemanasan global sebagai penyebab bumi mengalami lebih banyak gelombang panas, curah hujan ekstrem, dan naiknya ketinggian permukaan air laut. PBB menjelaskan, target-target itu tidak mungkin dicapai hanya dengan mengurangi emisi dari pabrik atau kendaraan.
Para peneliti pun terus mencari cara baru menjaga suhu bumi lebih dingin. Beberapa peneliti juga merancang penyedot karbondioksida di udara dengan kipas raksasa. Di dekat Zurich, perusahaan Swiss, Climeworks, mulai menyedot gas rumah kaca dari udara dengan kipas dan filter raksasa pada Mei lalu.
Proyek senilai USD23 juta itu di sebut sebagai pabrik penangkap karbon dioksida komersial pertama di dunia. Di penjuru dunia, riset penangkap udara langsung oleh berbagai per usahaan seperti Climeworks telah meraih pendanaan puluhan juta dolar dalam beberapa tahun terakhir dari berbagai sumber, termasuk pemerintah di sejumlah negara, Pendiri Microsoft Bill Gates, dan Badan Antariksa Eropa (ESA).
Jika karbon dioksida dikubur di bawah tanah setelah diambil dari udara, maka dapat mem bantu mengurangi pemanasan global. Langkah radikal ini bisa memangkas emisi yang menjadi fokus utama dalam Kesepakatan Paris.
Climeworks menghitung biayanya sekarang sekitar USD600 untuk mengekstraksi satu ton karbondioksida dari udara dan pabrik dengan kapasitas penuh pada akhir 2017 hanya mampu menyerap 900 ton karbondioksida per tahun. Jumlah itu setara dengan emisi per tahun untuk 45 orang warga AS saja.
Climeworks juga berencana menjual gas karbon dioksida ke lahan pertanian terdekat sebagai pupuk untuk menanam tomat dan mentimun. Mereka juga ber mitra dengan perusahaan automotif Audi untuk menggunakan karbon sebagai bahan bakar ramah lingkungan.
Direktur dan Pendiri Climeworks Jan Wurzbacher menjelaskan, perusaha annya memiliki ambisi memangkas biaya hingga USD100 per ton karbondioksida dan menangkap 1% emisi karbon buatan manusia secara global per tahun pada 2025.
“Sejak Kesepakatan Paris, bisnis berubah drastis, dengan perubahan dalam minat investor dan pemegang saham menjauh dari industri yang menggunakan karbon untuk mencegah perubahan iklim,” kata Wurzbacher. (Syarifudin)
(nfl)