Perlindungan dan Sensor Jadi Isu Panas Dunia Teknologi di 2019

Rabu, 09 Januari 2019 - 14:12 WIB
Perlindungan dan Sensor Jadi Isu Panas Dunia Teknologi di 2019
Perlindungan dan Sensor Jadi Isu Panas Dunia Teknologi di 2019
A A A
JAKARTA - Para pengguna teknologi butuh undang-undang privasi dan sensor yang sangat dibutuhkan di 2019. Hal ini mewakili prediksi sekitar 34 juta pengguna teknologi dan akan menjadi isu panas di 2019.

President and CLO at Microsoft Corporation, Brad Smith memaparka edisi terbaru dari laporan tahunan ini melakukan evaluasi terhadap pemikiran dan prediksi konsumen tentang teknologi masa depan seperti AI, VR, 5G, dan otomasi.

Laporan ini mengungkapkan bahwa teknologi otonom dan teknologi yang dapat memprediksi suasana hati pengguna bisa segera memainkan peran lebih besar dalam kehidupan sehari-hari pengguna, lalu apa saja yang menjadi perhatian para pengguna teknologi.

1. PRIVASI: Undang-undang Perlindungan privasi

Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR) akan dibuat di Uni Eropa.

Undang-undang sangat dibutuhkan di 2019, langkah ini pun mengikut implementasi dari peningkatan aturan perlindungan data yang diberlakukan oleh Uni Eropa dan Undang-undang Privasi yang diberlakukan di California, AS.

Kedua langkah tersebut akan memengaruhi perusahaan internet yang situs webnya dapat diakses di seluruh dunia.

Privasi dan perlindungan data telah menjadi fokus penting dalam regulasi. Salah satunya karena meningkatnya kekhawatiran tentang bagaimana data pribadi ditangani setelah pengungkapan tentang pembajakan jutaan profil pengguna Facebook oleh konsultasi politik menjelang pemilihan 2016.

Pada akhirnya, privasi adalah prioritas dimana teknologi dapat berbuat lebih banyak untuk membantu kemajuan juga. Dengan masalah itu sendiri yang terus menyebar di seluruh dunia, cari lebih banyak perusahaan teknologi untuk berinvestasi dalam inovasi terkait privasi. Di Microsoft, ini sekarang mencakup rentang yang luas dari kontrol pengguna privasi tambahan hingga teknik AI generasi baru untuk melatih algoritma sementara data tetap dienkripsi.

2. DISINFORMASI: Kontroversi mengguncang media sosial

Kekuatan media sosial tak jarang digunakan sebagai senjata menyebarkan berita bohong atau hoaks dengan tujuan tertentu. Di beberapa negara, hoaks bahkan berhasil menjadi jembatan perubahan dengan ekses negatif.

Penelitian yang dilakukan Institut Teknologi Massachusetts pada Maret lalu menyebut berita bohong memiliki kemungkinan di-retweet sebesar 70 persen dibandingkan berita benar. Hoaks juga mampu menjangkau sedikitnya 1.500 orang dan enam kali lebih cepat penyebarannya ketimbang berita ben

Contoh paling nyata berdampak sistemik akibat hoaks yang berasal dari disinformasi pernah terjadi di Mesir. Pada 2011, Mesir diguncang gelombang demonstrasi yang dilakukan massa properubahan berhadapan dengan kelompok pro-Hosni Mubarak, Presiden Mesir yang saat itu berkuasa. Berita bohong terkait Hosni yang disebarkan melalui dua platform media sosial terbesar, Facebook dan Twitter, saat itu ampuh menggulingkan Hosni dari kursi kekuasaan. Media sosial yang seharusnya menjadi sarana informasi dan komunikasi berubah menjadi medium perubahan yang sangat kuat.

Amerika Serikat juga mengalami hal serupa saat Pemilu Presiden Amerika Serikat 2016. Pilpres di Negeri Paman Sam itu disebut-sebut sarat intervensi Rusia untuk memenangkan Donald Trump.

Rusia melakukan serangan siber berupa hoaks hingga dituduh meretas surel pribadi Hillary Clinton yang menjadi rival Trump. Rusia bahkan dituding ikut andil dalam kemenangan Trump.

Berdasarkan penyelidikan Biro Investigasi Federal (FBI) Amerika Serikat, sedikitnya ditemukan 470 akun Facebook palsu yang berada di bawah koordinasi Rusia. Dari media sosial Twitter juga ditemukan 22 akun yang merupakan bagian dari 470 akun tersebut. Dugaan lainnya, ada lebih dari 179 akun Twitter palsu yang dikendalikan Rusia untuk memengaruhi pemilih yang akan memberikan suaranya dalam Pilpres Amerika Serikat.
(wbs)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8299 seconds (0.1#10.140)