Keren, ITS Kembangkan Sensor untuk Mendeteksi Makanan Halal atau Tidak
A
A
A
JAKARTA - Dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Dr Fredy Kurniawan, SSi, Msi, bersama dengan timnya berhasil mengembangkan alat pendeteksi gelatin babi dalam berbagai produk makanan. Inovasi ini merupakan salah satu upaya untuk mengenali dan mengendalikan beredarnya produk halal di tengah masyarakat.
Gelatin merupakan protein yang diperoleh dengancara mengekstraksikolagen hewan dan mengeringkannya. Gelatin bisa dihasilkan dari kulit, tulang, maupun jaringan ikan hewan. Inovasi ini dilatarbelakangi dari banyaknya produsen makanan yang tidak mencantumkan informasi dengan jelas pada label kemasannya. Bahan-bahan yang dicantumkan hanya bahan utama dan jarang sekali disertakan bahan tambahan.
Sebagian masyarakat selaku konsumen memiliki kekhawatiran dengan kurangnya informasi yang diberikan oleh para produsen makanan, khususnya masyarakat muslim. Sebagian dari mereka ada yang cemas dengan kandungan gelatin babi pada produk makanan.
“Nah, gelatin ini bisa dari babi, bisa dari sapi, bisa dari kambing tapi yang banyak dijual itu babi, kalau impor cenderung babi kalau lokal itu sapi, karena produk ini kan pasarnya beda, kalau luar negeri itu gelatin babi lebih murah,” kata Fredy.
Selain tidak ada informasi bahanbaku yang lengkap dalam pembuatan makanan, teknik lama pengujian glukotin menggunakan Polimerase Chain Reaction (PCR). Kekurangan dari penggunaan PCR ini adalah harganya sangat mahal sehingga kurang cocok digunakan oleh setiap orang.
“Satu sampel itu harganya sekitar Rp1 juta sampai Rp1,5 juta, itu untuk sekali analisis. Nah, sebenarnya tidak harus, tapi kalau PCR juga sering terjadi kesalahan karena gelatin yang digunakan sangat sedikit,” katanya.
Fredy menuturkan, alat ini sudah dirancang sejak lama karena harga PCR yang begitu mahal. Selain itu, juga agar setiap orang bisa mencoba untuk menguji kandungan gelatin pada produk makanan.
“PCR sendiri harganya Rp1,5 juta, terus produknya mau dijual berapa, itu prinsip utamanya. Prinsip keduanya adalah bagaimana bisa diminiaturisasi seperti alat tes gula darah yang ada di pasaran, biar semua orang bisa nyoba, tinggal kita kasihtahu cara penggunaannya saja,” katanya.
Cara kerja alat ini cukup mudah layaknya penggunaan alat tes glukosa darah. Penguji hanya perlu mengambil sampel dari salah satu produk makanan yang akan diuji dan dilarutkan ke dalam air.
“Karena sifatnya (glukotin) larut ke air, jadi kita larutkan ke air kemudian kita celupkan alat itu ke air, kalau sinyalnya itu naik, maka itu gelatin babi, kalau sinyalnya turun berarti gelatin sapi,” kata dosen ITS ini.
Sinyal yang digunakan pada alat ini berbentuk frekuensi. Sebelum ada makanan yang akan diuji, alat ini menunjukkan sinyal datar saat dimasukkan ke air, yang artinya menunjukkan tanda netral. Alat pendeteksi gelatin babi buatan dosen ITS ini memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan alat pendeteksi gelat di pasaran. Alat ini mampu membedakan gelatin babi, sapi dan kambing yang digunakanuntuk makanan.“Alat yang kita buat ini beda prinsip lagi, yang penting bisa bedakan gelatin babi dan gelatin sapi. Ya, gelatin yang diperoleh dari asal yang berbeda. Sebenarnya dicoba juga di kambing dan sapi, namun yang banyak di pasaran adalah sapi dan babi,” katanya.
Gelatin sendiri banyak digunakan dalam industri makanan, obat-obatan, dan juga kosmetik. Gelatin pada umumnya digunakan untuk penstabil, penebal, dan pengenyal pada roti, tapi tidak jarang digunakan sebagai bahan tambahan untuk permen, es krim, dan lainnya.
“Sumber gelatin terbesar berasal dari kulit babi, yaitu sebesar 45,8 persen. Sumber lainnya adalah dari kulit sapi 28,4 persen, tulang 24,2 persen, dan 1,6 persen sisanya berasal dari bahan baku selain kulit dan tulang. Secara fisik, gelatin babi dan sapi sangat mirip sehingga susah dibedakan,” katanya.
Fredy mengungkapkan, metode yang digunakan untuk membuat alat pendeteksi gelatin babi ini adalah sensor Quartz Crystal Microbalance(QCM) yang dimodifikasi. QCM adalah salah satu metode elektro kimia yang tergolong sederhana dalam peralatan dan operasionalnya.
Fredy dan tim mendapat dukungan dana penelitian dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) serta sudah mencapai tahap akhir. Saat ini mereka fokus pada tahap menyempurnakan kekurangan dan menguji interferensi yang timbul pada matriks yang berbeda .
“Kami juga berusaha untuk membuat alat ini lebih kecil atau portabel sehingga bisa dibawa ke mana-mana dan langsung bisa dipakai di lapangan, tak perlu lagi sampel dibawa ke laboratorium,” kata Fredy.
Fredy menuturkan, alat pendeteksi gelatin babi ini akan dikenalkan kepada masyarakat luas setelah siap 100%. Untuk tahap pertama, target mereka adalah laboratorium terkait pengujian halal dan jika seluruh bagian bagiannya sudah bisa diproduksi oleh lokal, maka bisa dipakai langsung oleh masyarakat luas.
Dalam penelitian ini, Fredy dibantu beberapa mahasiswa dan dosen dari dalam dan luar ITS sesuai dengan keahlian masing-masing yang dibutuhkan untuk melengkapi proyek ini. Bersama timnya, Freddy berharap inovasi telah dikembangkan bisa digunakan sebagai metode standar.
Gelatin merupakan protein yang diperoleh dengancara mengekstraksikolagen hewan dan mengeringkannya. Gelatin bisa dihasilkan dari kulit, tulang, maupun jaringan ikan hewan. Inovasi ini dilatarbelakangi dari banyaknya produsen makanan yang tidak mencantumkan informasi dengan jelas pada label kemasannya. Bahan-bahan yang dicantumkan hanya bahan utama dan jarang sekali disertakan bahan tambahan.
Sebagian masyarakat selaku konsumen memiliki kekhawatiran dengan kurangnya informasi yang diberikan oleh para produsen makanan, khususnya masyarakat muslim. Sebagian dari mereka ada yang cemas dengan kandungan gelatin babi pada produk makanan.
“Nah, gelatin ini bisa dari babi, bisa dari sapi, bisa dari kambing tapi yang banyak dijual itu babi, kalau impor cenderung babi kalau lokal itu sapi, karena produk ini kan pasarnya beda, kalau luar negeri itu gelatin babi lebih murah,” kata Fredy.
Selain tidak ada informasi bahanbaku yang lengkap dalam pembuatan makanan, teknik lama pengujian glukotin menggunakan Polimerase Chain Reaction (PCR). Kekurangan dari penggunaan PCR ini adalah harganya sangat mahal sehingga kurang cocok digunakan oleh setiap orang.
“Satu sampel itu harganya sekitar Rp1 juta sampai Rp1,5 juta, itu untuk sekali analisis. Nah, sebenarnya tidak harus, tapi kalau PCR juga sering terjadi kesalahan karena gelatin yang digunakan sangat sedikit,” katanya.
Fredy menuturkan, alat ini sudah dirancang sejak lama karena harga PCR yang begitu mahal. Selain itu, juga agar setiap orang bisa mencoba untuk menguji kandungan gelatin pada produk makanan.
“PCR sendiri harganya Rp1,5 juta, terus produknya mau dijual berapa, itu prinsip utamanya. Prinsip keduanya adalah bagaimana bisa diminiaturisasi seperti alat tes gula darah yang ada di pasaran, biar semua orang bisa nyoba, tinggal kita kasihtahu cara penggunaannya saja,” katanya.
Cara kerja alat ini cukup mudah layaknya penggunaan alat tes glukosa darah. Penguji hanya perlu mengambil sampel dari salah satu produk makanan yang akan diuji dan dilarutkan ke dalam air.
“Karena sifatnya (glukotin) larut ke air, jadi kita larutkan ke air kemudian kita celupkan alat itu ke air, kalau sinyalnya itu naik, maka itu gelatin babi, kalau sinyalnya turun berarti gelatin sapi,” kata dosen ITS ini.
Sinyal yang digunakan pada alat ini berbentuk frekuensi. Sebelum ada makanan yang akan diuji, alat ini menunjukkan sinyal datar saat dimasukkan ke air, yang artinya menunjukkan tanda netral. Alat pendeteksi gelatin babi buatan dosen ITS ini memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan alat pendeteksi gelat di pasaran. Alat ini mampu membedakan gelatin babi, sapi dan kambing yang digunakanuntuk makanan.“Alat yang kita buat ini beda prinsip lagi, yang penting bisa bedakan gelatin babi dan gelatin sapi. Ya, gelatin yang diperoleh dari asal yang berbeda. Sebenarnya dicoba juga di kambing dan sapi, namun yang banyak di pasaran adalah sapi dan babi,” katanya.
Gelatin sendiri banyak digunakan dalam industri makanan, obat-obatan, dan juga kosmetik. Gelatin pada umumnya digunakan untuk penstabil, penebal, dan pengenyal pada roti, tapi tidak jarang digunakan sebagai bahan tambahan untuk permen, es krim, dan lainnya.
“Sumber gelatin terbesar berasal dari kulit babi, yaitu sebesar 45,8 persen. Sumber lainnya adalah dari kulit sapi 28,4 persen, tulang 24,2 persen, dan 1,6 persen sisanya berasal dari bahan baku selain kulit dan tulang. Secara fisik, gelatin babi dan sapi sangat mirip sehingga susah dibedakan,” katanya.
Fredy mengungkapkan, metode yang digunakan untuk membuat alat pendeteksi gelatin babi ini adalah sensor Quartz Crystal Microbalance(QCM) yang dimodifikasi. QCM adalah salah satu metode elektro kimia yang tergolong sederhana dalam peralatan dan operasionalnya.
Fredy dan tim mendapat dukungan dana penelitian dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) serta sudah mencapai tahap akhir. Saat ini mereka fokus pada tahap menyempurnakan kekurangan dan menguji interferensi yang timbul pada matriks yang berbeda .
“Kami juga berusaha untuk membuat alat ini lebih kecil atau portabel sehingga bisa dibawa ke mana-mana dan langsung bisa dipakai di lapangan, tak perlu lagi sampel dibawa ke laboratorium,” kata Fredy.
Fredy menuturkan, alat pendeteksi gelatin babi ini akan dikenalkan kepada masyarakat luas setelah siap 100%. Untuk tahap pertama, target mereka adalah laboratorium terkait pengujian halal dan jika seluruh bagian bagiannya sudah bisa diproduksi oleh lokal, maka bisa dipakai langsung oleh masyarakat luas.
Dalam penelitian ini, Fredy dibantu beberapa mahasiswa dan dosen dari dalam dan luar ITS sesuai dengan keahlian masing-masing yang dibutuhkan untuk melengkapi proyek ini. Bersama timnya, Freddy berharap inovasi telah dikembangkan bisa digunakan sebagai metode standar.
(ysw)