Indonesia Bergabung Bangun Observatorium di Bulan
A
A
A
BANDUNG - Indonesia diajak bergabung membangun observatorium di bulan oleh International Lunar Observatory Association (ILOA). Pembangunan observatorium di bulan itu, untuk memberikan gambaran lebih lengkap tentang galaksi. Selain itu, mendorong publik lebih banyak melakukan penelitian galaksi.
Steve Durst, dari International Lunar Observatory Association mengatakan penelitian terhadap antariksa kian berkembang. Awalnya penelitian lebih banyak tentang tata surya. "Namun penelitian terus berkembang. Setelah tata surya, bintang-bintang menjadi objek. Kini galaksi menjadi objek utama," ujarnya dalam kegiatan Galaxy Forum 2015 di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung, baru-baru ini.
Menurut Durst, sejumlah negara yang dikunjunginya, menyatakan ketertarikan untuk ikut terlibat dalam projek pembangunan observatorium di bulan tersebut. Durst mengatakan telah berkunjung ke Afrika, Tiongkok, Chili, Brazil. Hal itu pun menggugah kepedulian publik terhadap penelitian keantariksaan.
Thomas Djamaluddin dari LAPAN menyebutkan berdasarkan Undang-undang Keantariksaan, harus dibuatkan rencana induk keantariksaan hingga 25 tahun mendatang. Dikatakan Djamaluddin, rencana terkini adalah membangun observatorium lain di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Akan tetapi, Djamaluddin menyebutkan tidak menutup kemungkinan Indonesia akan berpartisipasi dalam pembangunan observatorium di bulan. Menurut dia, membangun observatorium di bulan itu memungkinkan untuk mendapatkan gambaran lengkap dari galaksi.
"Pasalnya, di bulan tidak terdapat gangguan atmosfer. Selain itu, dari kutub selatan bulan, mengarah langsung ke pusat galaksi," ujarnya.
Selain gambaran galaksi, diharapkan didapat juga informasi lebih lengkap tentang asal usul tata surya, bumi, serta kehidupan lain seperti di bumi. Selama ini, kata Djamaluddin, pengiriman pesawat ke ruang angkasa untuk mencari kehidupan lain di luar bumi belum terlalu memuaskan.
Djamaluddin mengatakan hal lain yang tak kalah penting adalah mendeteksi kemungkinan asteroid yang menubruk bumi. Dikatakan Djamaluddin, selama ini pemantauan dari bumi hanya mampu mendeteksi objek yang besar.
"Namun, bila di bulan, objek kecil yang mengarah ke bumi dapat terdeteksi," ujarnya.
Sebagai informasi, bumi mengalami beberapa tumbukan besar sejak 65 juta tahun lalu. Pada 1908, benda berdiameter 30 meter jatuh di Rusia. Kemudian, pada 2013 benda berdiameter 17 meter juga jatuh di Rusia. Terakhir di Sudan dengan diameter 6 meter. "Yang terakhir ini, baru terdeteksi 19 jam sebelum jatuh," ucapnya.
Djamaluddin menyebutkan pembangunan observatorium di bulan juga memungkinkan pengembangan penelitian lainnya. Saat pembangunan, akan ada awak yang menyediakan sarana dan prasarana. Cadangan air es di kutub selatan bulan juga dapat dimanfaatkan oleh astronot. Bahkan ke depan, akan ada pengembangan bahan bakar dari roket.
Galaxi Forum 2015 ini diadakan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) bekerjasama dengan Pusat Sains Antariksa LAPAN. Selain Durst dan Djamaluddin hadir jug sebagai pemateri, Sabirin bin Abdullah, dari Angkasa (Malaysia) dan Mahasena Putra, dari Bosscha Observatory ITB (Indonesia).
Steve Durst, dari International Lunar Observatory Association mengatakan penelitian terhadap antariksa kian berkembang. Awalnya penelitian lebih banyak tentang tata surya. "Namun penelitian terus berkembang. Setelah tata surya, bintang-bintang menjadi objek. Kini galaksi menjadi objek utama," ujarnya dalam kegiatan Galaxy Forum 2015 di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung, baru-baru ini.
Menurut Durst, sejumlah negara yang dikunjunginya, menyatakan ketertarikan untuk ikut terlibat dalam projek pembangunan observatorium di bulan tersebut. Durst mengatakan telah berkunjung ke Afrika, Tiongkok, Chili, Brazil. Hal itu pun menggugah kepedulian publik terhadap penelitian keantariksaan.
Thomas Djamaluddin dari LAPAN menyebutkan berdasarkan Undang-undang Keantariksaan, harus dibuatkan rencana induk keantariksaan hingga 25 tahun mendatang. Dikatakan Djamaluddin, rencana terkini adalah membangun observatorium lain di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Akan tetapi, Djamaluddin menyebutkan tidak menutup kemungkinan Indonesia akan berpartisipasi dalam pembangunan observatorium di bulan. Menurut dia, membangun observatorium di bulan itu memungkinkan untuk mendapatkan gambaran lengkap dari galaksi.
"Pasalnya, di bulan tidak terdapat gangguan atmosfer. Selain itu, dari kutub selatan bulan, mengarah langsung ke pusat galaksi," ujarnya.
Selain gambaran galaksi, diharapkan didapat juga informasi lebih lengkap tentang asal usul tata surya, bumi, serta kehidupan lain seperti di bumi. Selama ini, kata Djamaluddin, pengiriman pesawat ke ruang angkasa untuk mencari kehidupan lain di luar bumi belum terlalu memuaskan.
Djamaluddin mengatakan hal lain yang tak kalah penting adalah mendeteksi kemungkinan asteroid yang menubruk bumi. Dikatakan Djamaluddin, selama ini pemantauan dari bumi hanya mampu mendeteksi objek yang besar.
"Namun, bila di bulan, objek kecil yang mengarah ke bumi dapat terdeteksi," ujarnya.
Sebagai informasi, bumi mengalami beberapa tumbukan besar sejak 65 juta tahun lalu. Pada 1908, benda berdiameter 30 meter jatuh di Rusia. Kemudian, pada 2013 benda berdiameter 17 meter juga jatuh di Rusia. Terakhir di Sudan dengan diameter 6 meter. "Yang terakhir ini, baru terdeteksi 19 jam sebelum jatuh," ucapnya.
Djamaluddin menyebutkan pembangunan observatorium di bulan juga memungkinkan pengembangan penelitian lainnya. Saat pembangunan, akan ada awak yang menyediakan sarana dan prasarana. Cadangan air es di kutub selatan bulan juga dapat dimanfaatkan oleh astronot. Bahkan ke depan, akan ada pengembangan bahan bakar dari roket.
Galaxi Forum 2015 ini diadakan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) bekerjasama dengan Pusat Sains Antariksa LAPAN. Selain Durst dan Djamaluddin hadir jug sebagai pemateri, Sabirin bin Abdullah, dari Angkasa (Malaysia) dan Mahasena Putra, dari Bosscha Observatory ITB (Indonesia).
(dol)