Kemunculan Harimau Jawa di Mata Orang Jatim, Jateng, dan Sunda
Jum'at, 29 Maret 2024 - 17:09 WIB
JAKARTA - Spesies harimau Jawa bernama latin Panthera tigris sundaica dinyatakan telah punah sekitar 1970-an. Namun kepastian hewan tersebut menyisakan misteri, pasalnya hewan buas ini diklaim warga masih sering terlihat.
Satwa yang hidup di Pulau Jawa ini punah lantaran diburu manusia dan menyempitnya lahan menyusul eksploitasi untuk pertanian. Namun, berdasarkan sejumlah informasi, binatang ini kemungkinan belum punah.
Kawanan harimau Jawa yang tinggal di hutan konon memiliki pemimpin gaib. Simbah pimpinan inilah yang kemudian 'mbahu reksa' atau melindungi serta memimpin kawanannya di alam liar. Manakala warga hendak membuka hutan (mbabat alas), maka sesepuh harus terlebih dahulu membakar kemenyan dan membaca mantra.
Lalu simbah pemimpin harimau akan muncul untuk berdialog dengan warga, kemudian penguasa hutan ini akan memberikan ijin untuk membuka lahan pemukiman. Secara tradisional diyakini harimau cenderung menghindari manusia. Namun, interaksi antara harimau dan manusia sudah ada sejak zaman dulu.
Robert Wessing dalam tulisannya menjelaskan pada awal abad ke-19, masih banyak harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) yang berkeliaran. Terkadang tempat hidup harimau tumpang-tindih dengan tempat hidup manusia di tepi hutan. Pada masyarakat Jawa kala itu, ada kepercayaan bahwa harimau adalah jelmaan roh leluhur yang menjaga dan memantau perilaku penduduk desa.
Orang Keraton (orang kota Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta) memandang harimau sebagai simbol sifat liar, tak bisa diatur, dan bertentangan dengan budaya adiluhung.
Terlepas dari keragaman itu, masyarakat Jawa pada dasarnya menaruh hormat pada harimau.
Satwa yang hidup di Pulau Jawa ini punah lantaran diburu manusia dan menyempitnya lahan menyusul eksploitasi untuk pertanian. Namun, berdasarkan sejumlah informasi, binatang ini kemungkinan belum punah.
Kawanan harimau Jawa yang tinggal di hutan konon memiliki pemimpin gaib. Simbah pimpinan inilah yang kemudian 'mbahu reksa' atau melindungi serta memimpin kawanannya di alam liar. Manakala warga hendak membuka hutan (mbabat alas), maka sesepuh harus terlebih dahulu membakar kemenyan dan membaca mantra.
Lalu simbah pemimpin harimau akan muncul untuk berdialog dengan warga, kemudian penguasa hutan ini akan memberikan ijin untuk membuka lahan pemukiman. Secara tradisional diyakini harimau cenderung menghindari manusia. Namun, interaksi antara harimau dan manusia sudah ada sejak zaman dulu.
Robert Wessing dalam tulisannya menjelaskan pada awal abad ke-19, masih banyak harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) yang berkeliaran. Terkadang tempat hidup harimau tumpang-tindih dengan tempat hidup manusia di tepi hutan. Pada masyarakat Jawa kala itu, ada kepercayaan bahwa harimau adalah jelmaan roh leluhur yang menjaga dan memantau perilaku penduduk desa.
Orang Keraton (orang kota Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta) memandang harimau sebagai simbol sifat liar, tak bisa diatur, dan bertentangan dengan budaya adiluhung.
Terlepas dari keragaman itu, masyarakat Jawa pada dasarnya menaruh hormat pada harimau.
tulis komentar anda