Jejak Lautan Magma Purba Ditemukan Tersebar di Greenland
Minggu, 14 Maret 2021 - 15:59 WIB
JAKARTA - Studi terbaru mengungkap, bebatuan di Greenland kemungkinan menyimpan jejak lautan magma kuno yang menggelegar di sebagian besar permukaan Bumi setelah planet ini lahir.
Para ilmuwan mengumpulkan bebatuan dari sabuk Supracrustal Isua, sebuah wilayah di barat daya Greenland di mana bebatuan yang terpapar berusia antara 3,7 miliar dan 3,8 miliar tahun. Sabuk tersebut berisi batuan tertua di Bumi, yang relatif tidak terganggu oleh lempeng tektonik, panas dan perubahan kimiawi, menurut Science Magazine.
Jejak kimia dari samudera magma awal bahkan lebih tua dari bebatuan itu sendiri, diperkirakan sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu, ketika sebuah benda seukuran Mars menghantam Bumi, menjatuhkan bongkahan besar batu yang kemudian menjadi Bulan, menurut laporan studi baru tersebut.
"Ketika benda langit seukuran Bumi dan Mars bertabrakan, pencairan hampir skala besar dari seluruh planet adalah konsekuensi yang tak terhindarkan dari itu," kata penulis utama, Helen Williams, Profesor Geokimia di Universitas Cambridge, kepada Live Science.
Dan saat batuan cair itu mendingin dan mengkristal, Bumi secara bertahap menjadi menyerupai marmer biru yang kita kenal sekarang, klaimnya.
"Tetapi meskipun sebagian besar ilmuwan menerima teori Bumi yang meleleh, tantangan besar adalah sangat sulit untuk menemukan... bukti geologis untuk sesuatu yang terjadi pada awal sejarah kita," kata Williams.
Studi baru, yang diterbitkan 12 Maret di jurnal Science Advances, menunjukkan batuan sabuk Isua masih memiliki "sidik jari" kimiawi yang ditinggalkan oleh proses pendinginan purba ini.
Williams mulai mencari "sidik jari" ini setelah dia dan rekan penulisnya, Hanika Rizo, profesor di Carleton University di Kanada, bertemu pada pertemuan musim gugur American Geophysical Union (AGU), sebuah acara tahunan yang pada masa pra-pandemi, menarik puluhan ribuan ilmuwan dari seluruh dunia.
Rizo sebelumnya telah mengekstraksi sampel batuan dari sabuk supracrustal Isua dan menulis tentangnya dalam sebuah penelitian tahun 2011. Penelitiannya telah diterbitkan dalam jurnal Earth and Planetary Science Letters.
Para ilmuwan mengumpulkan bebatuan dari sabuk Supracrustal Isua, sebuah wilayah di barat daya Greenland di mana bebatuan yang terpapar berusia antara 3,7 miliar dan 3,8 miliar tahun. Sabuk tersebut berisi batuan tertua di Bumi, yang relatif tidak terganggu oleh lempeng tektonik, panas dan perubahan kimiawi, menurut Science Magazine.
Jejak kimia dari samudera magma awal bahkan lebih tua dari bebatuan itu sendiri, diperkirakan sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu, ketika sebuah benda seukuran Mars menghantam Bumi, menjatuhkan bongkahan besar batu yang kemudian menjadi Bulan, menurut laporan studi baru tersebut.
"Ketika benda langit seukuran Bumi dan Mars bertabrakan, pencairan hampir skala besar dari seluruh planet adalah konsekuensi yang tak terhindarkan dari itu," kata penulis utama, Helen Williams, Profesor Geokimia di Universitas Cambridge, kepada Live Science.
Dan saat batuan cair itu mendingin dan mengkristal, Bumi secara bertahap menjadi menyerupai marmer biru yang kita kenal sekarang, klaimnya.
"Tetapi meskipun sebagian besar ilmuwan menerima teori Bumi yang meleleh, tantangan besar adalah sangat sulit untuk menemukan... bukti geologis untuk sesuatu yang terjadi pada awal sejarah kita," kata Williams.
Studi baru, yang diterbitkan 12 Maret di jurnal Science Advances, menunjukkan batuan sabuk Isua masih memiliki "sidik jari" kimiawi yang ditinggalkan oleh proses pendinginan purba ini.
Williams mulai mencari "sidik jari" ini setelah dia dan rekan penulisnya, Hanika Rizo, profesor di Carleton University di Kanada, bertemu pada pertemuan musim gugur American Geophysical Union (AGU), sebuah acara tahunan yang pada masa pra-pandemi, menarik puluhan ribuan ilmuwan dari seluruh dunia.
Rizo sebelumnya telah mengekstraksi sampel batuan dari sabuk supracrustal Isua dan menulis tentangnya dalam sebuah penelitian tahun 2011. Penelitiannya telah diterbitkan dalam jurnal Earth and Planetary Science Letters.
tulis komentar anda