Hadapi Bom Cluster AS, Rusia Siap Gunakan Senjata Paling Berbahaya Ini
loading...
A
A
A
NEW YORK - Rencana Amerika Serikat mengirim bom cluster ke Ukraina memancing amarah Rusia. Menteri Pertahanan Rusia Sergey Shoigu akan menggunakan senjata yang lebih brutal dari milik AS.
“Jika AS memasok bom curah ke Ukraina, Angkatan Bersenjata Rusia harus menggunakan senjata yang setara sebagai tanggapan,''
“Perlu dicatat bahwa Rusia memiliki senjata berantai untuk semua situasi. Ini jauh lebih efektif daripada yang dimiliki AS dengan jangkauannya yang lebih luas dan lebih beragam," kata Shoigu Seperti dilasir dari RT.
Dia menambahkan, sama seperti AS dan Ukraina, Rusia bukan anggota Konvensi Senjata Nuklir.
"Namun, Moskow menahan diri untuk tidak menggunakan senjata semacam itu dalam konflik saat ini karena menyadari ancaman penggunaan bom semacam itu terhadap warga sipil," katanya.
Pekan lalu, AS mengumumkan akan mengirim amunisi konvensional tujuan ganda (DPICM) yang lebih baik, juga dikenal sebagai bom cluster, ke Ukraina, mengklaim bahaya yang ditimbulkan pada warga sipil akibat penggunaannya tidak signifikan.
Sementara itu, Shoigu menunjukkan bahwa AS telah memberikan berbagai alasan untuk membenarkan keputusan untuk menggunakan bom curah, termasuk menyatakan bahwa mereka hampir kehabisan peluru artileri konvensional 155 milimeter (mm).
Hal itu merujuk pada apa yang dikatakan Presiden AS Joe Biden dalam wawancara dengan stasiun penyiaran CNN yang disiarkan akhir pekan lalu.
Dia menambahkan bahwa militer Rusia telah mengambil tindakan pencegahan untuk melindungi personel dan kendaraan militer dari serangan bom berantai AS.
Menurut BBC, bom cluster adalah metode pelepasan sejumlah besar bom kecil dari roket, misil, atau peluru artileri sebelum menjatuhkannya ke area yang luas.
Itu akan meledak ketika mencapai target tetapi sebagian besar tidak meledak pada tahap awal. Keadaan itu terjadi terutama jika mendarat di tanah basah atau lunak.
Bom cluster pertama kali digunakan secara operasional oleh Jerman dengan jenis Bom Cluster SD-2 atau Sprengbombe Dickwandig 2 kg yang biasa disebut Bom Butterfly dalam Perang Dunia II.
Bom cluster diproduksi secara independen oleh Amerika Serikat, Rusia dan Italia serta memiliki beberapa jenis dan jumlah submunisinya. CBU 59 APAM Rockeye II adalah salah satu jenis bom cluster yang sering digunakan dalam peperangan.
CBU-59 APAM merupakan senjata antipersonil, antimaterial dikembangkan pada era 1970-an sebagai penyempurnaan dari Rockeye.
Menggunakan dispenser yang sama dengan Rockeye, namun memiliki 717 bomblet yang lebih kecil BLU-77.
Juga memiliki efek fragmentasi anti-personil dan efek bakar (incendiary) selain efek penembusan baja (armor-piercing). Selama perang teluk diperkirakan 186 bom CBU-59 dijatuhkan.
Sejak Februari 2005 Bom Cluster ditentang oleh banyak masyarakat dan ratusan kelompok, seperti Palang Merah dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) karena membahayakan warga sipil.
Dalam catatan sejarah saat konflik Israel dan Lebanon pada tahun 2006, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memperkirakan ada satu juta bom yang gagal meledak. Hal ini berimbas pada ancaman bahaya ratusan masyarakat sipil di Lebanon.
“Jika AS memasok bom curah ke Ukraina, Angkatan Bersenjata Rusia harus menggunakan senjata yang setara sebagai tanggapan,''
“Perlu dicatat bahwa Rusia memiliki senjata berantai untuk semua situasi. Ini jauh lebih efektif daripada yang dimiliki AS dengan jangkauannya yang lebih luas dan lebih beragam," kata Shoigu Seperti dilasir dari RT.
Dia menambahkan, sama seperti AS dan Ukraina, Rusia bukan anggota Konvensi Senjata Nuklir.
"Namun, Moskow menahan diri untuk tidak menggunakan senjata semacam itu dalam konflik saat ini karena menyadari ancaman penggunaan bom semacam itu terhadap warga sipil," katanya.
Pekan lalu, AS mengumumkan akan mengirim amunisi konvensional tujuan ganda (DPICM) yang lebih baik, juga dikenal sebagai bom cluster, ke Ukraina, mengklaim bahaya yang ditimbulkan pada warga sipil akibat penggunaannya tidak signifikan.
Sementara itu, Shoigu menunjukkan bahwa AS telah memberikan berbagai alasan untuk membenarkan keputusan untuk menggunakan bom curah, termasuk menyatakan bahwa mereka hampir kehabisan peluru artileri konvensional 155 milimeter (mm).
Hal itu merujuk pada apa yang dikatakan Presiden AS Joe Biden dalam wawancara dengan stasiun penyiaran CNN yang disiarkan akhir pekan lalu.
Dia menambahkan bahwa militer Rusia telah mengambil tindakan pencegahan untuk melindungi personel dan kendaraan militer dari serangan bom berantai AS.
Menurut BBC, bom cluster adalah metode pelepasan sejumlah besar bom kecil dari roket, misil, atau peluru artileri sebelum menjatuhkannya ke area yang luas.
Itu akan meledak ketika mencapai target tetapi sebagian besar tidak meledak pada tahap awal. Keadaan itu terjadi terutama jika mendarat di tanah basah atau lunak.
Bom cluster pertama kali digunakan secara operasional oleh Jerman dengan jenis Bom Cluster SD-2 atau Sprengbombe Dickwandig 2 kg yang biasa disebut Bom Butterfly dalam Perang Dunia II.
Bom cluster diproduksi secara independen oleh Amerika Serikat, Rusia dan Italia serta memiliki beberapa jenis dan jumlah submunisinya. CBU 59 APAM Rockeye II adalah salah satu jenis bom cluster yang sering digunakan dalam peperangan.
CBU-59 APAM merupakan senjata antipersonil, antimaterial dikembangkan pada era 1970-an sebagai penyempurnaan dari Rockeye.
Menggunakan dispenser yang sama dengan Rockeye, namun memiliki 717 bomblet yang lebih kecil BLU-77.
Juga memiliki efek fragmentasi anti-personil dan efek bakar (incendiary) selain efek penembusan baja (armor-piercing). Selama perang teluk diperkirakan 186 bom CBU-59 dijatuhkan.
Sejak Februari 2005 Bom Cluster ditentang oleh banyak masyarakat dan ratusan kelompok, seperti Palang Merah dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) karena membahayakan warga sipil.
Dalam catatan sejarah saat konflik Israel dan Lebanon pada tahun 2006, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memperkirakan ada satu juta bom yang gagal meledak. Hal ini berimbas pada ancaman bahaya ratusan masyarakat sipil di Lebanon.
(wbs)