Cara Bernapas Pengaruhi Memori Otak, Potensi untuk Terapi Stres
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penemuan terbaru mengungkap cara bernapas seseorang dapat memperkuat atau memperlemah memori otak. Studi ini punya masa depan untuk memanfaatkan pernafasan sebagai terapi stres.
Secara medis, pola pernapasan tubuh tersimpan dalam bagian otak yang disebut medulla oblongata. Di dalamnya terdapat jaringan saraf Pre-Bötzinger Complex (PreBötC).
"Bernapas adalah tindakan fundamental untuk menopang kehidupan," ujar ilmuwan saraf Nozomu Nakamura dari Hyogo Medical University Jepang dikutip dari Science Alert, Senin (14/8/2023).
Meski detail pengaruh pernapasan terhadap otak masih belum jelas, namun studi terbaru menyatakan pernapasan memainkan fungsi penting selama aktivitas otak. Penemuan ini bermanfaat dalam pengobatan masalah otak dan kesehatan jiwa.
Para ilmuwan menguji coba tikus yang sudah dimodifikasi struktur PreBötC di otaknya. Para peneliti menemukan fakta ketika aliran napas tikus dihentikan sementara, maka kemampuannya dalam mengenali dan mengingat obyek menurun.
Kondisi ini ternyata memengaruhi aktivitas hippocampus otak, yaitu kemampuan menyimpan memori jangka pendek dan jangka panjang.
Uji coba lebih lanjut juga menemukan fakta bahwa tindakan memaksa tikus bernapas secara tidak beraturan malah meningkatkan fungsi memori. Sebaliknya, ketika bernapas perlahan, memori tikus semakin memudar.
Dalam penelitian sebelumnya oleh tim yang sama ditemukan fakta bahwa mengubah posisi menghela napas dan mengeluarkan napas membuat manusia kesulitan mengingat memorinya.
Studi lanjutan menemukan keterkaitan antara kinerja memori yang melemah dengan deaktivasi koneksi dengan bagian memori sementara (TPJ). Fungsi TPJ di antaranya memproses informasi dari dalam dan luar tubuh serta mengenali berbagai respons tubuh.
Tes pada tikus dengan napas yang tidak teratur memerlihatkan peran besar TPJ. Efek ini kemungkinan juga terjadi pada manusia dan menjadi tonggak studi selanjutnya.
"Peran pola pernapasan dan mekanisme molekul tubuh dalam otak menjadi subyek penelitian masa depan untuk mengetahui efek toleransi stres," kata Nakamura.
Harapannya, cara bernapas yang baik dapat dilatih dan diberikan sebagai bentuk terapi depresi dan gangguan saraf yang berpengaruh terhadap kondisi kejiwaan.
Secara medis, pola pernapasan tubuh tersimpan dalam bagian otak yang disebut medulla oblongata. Di dalamnya terdapat jaringan saraf Pre-Bötzinger Complex (PreBötC).
"Bernapas adalah tindakan fundamental untuk menopang kehidupan," ujar ilmuwan saraf Nozomu Nakamura dari Hyogo Medical University Jepang dikutip dari Science Alert, Senin (14/8/2023).
Meski detail pengaruh pernapasan terhadap otak masih belum jelas, namun studi terbaru menyatakan pernapasan memainkan fungsi penting selama aktivitas otak. Penemuan ini bermanfaat dalam pengobatan masalah otak dan kesehatan jiwa.
Para ilmuwan menguji coba tikus yang sudah dimodifikasi struktur PreBötC di otaknya. Para peneliti menemukan fakta ketika aliran napas tikus dihentikan sementara, maka kemampuannya dalam mengenali dan mengingat obyek menurun.
Kondisi ini ternyata memengaruhi aktivitas hippocampus otak, yaitu kemampuan menyimpan memori jangka pendek dan jangka panjang.
Uji coba lebih lanjut juga menemukan fakta bahwa tindakan memaksa tikus bernapas secara tidak beraturan malah meningkatkan fungsi memori. Sebaliknya, ketika bernapas perlahan, memori tikus semakin memudar.
Dalam penelitian sebelumnya oleh tim yang sama ditemukan fakta bahwa mengubah posisi menghela napas dan mengeluarkan napas membuat manusia kesulitan mengingat memorinya.
Studi lanjutan menemukan keterkaitan antara kinerja memori yang melemah dengan deaktivasi koneksi dengan bagian memori sementara (TPJ). Fungsi TPJ di antaranya memproses informasi dari dalam dan luar tubuh serta mengenali berbagai respons tubuh.
Tes pada tikus dengan napas yang tidak teratur memerlihatkan peran besar TPJ. Efek ini kemungkinan juga terjadi pada manusia dan menjadi tonggak studi selanjutnya.
"Peran pola pernapasan dan mekanisme molekul tubuh dalam otak menjadi subyek penelitian masa depan untuk mengetahui efek toleransi stres," kata Nakamura.
Harapannya, cara bernapas yang baik dapat dilatih dan diberikan sebagai bentuk terapi depresi dan gangguan saraf yang berpengaruh terhadap kondisi kejiwaan.
(msf)