Ini Penjelasan Ilmiah Mukjizat Tongkat Nabi Musa Membelah Laut Merah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mukjizat tongkat Nabi Musa membelah Laut Merah dan menenggelamkan Firaun merupakan peristiwa yang sangat monumental. Peristiwa tersebut bahkan diabadikan dalam sejumlah kitab suci dan bukti-bukti keberadaannya sangat nyata.
Para ilmuwan pun berusaha memecahkan mukjizat Nabi Musa membelah lautan dari kacamata ilmu pengetahuan. Dikutip WION, Jumat (19/1/2023), ilmuwan dari University of Leicester, Inggris, Rebekah Garratt dan Rikesh Kunverji mencoba memahami keajaiban tersebut dengan cara berbeda. Mereka berupaya mendudukkan peristiwa tersebut dari kacamata ilmiah dan kondisi alam yang terjadi saat itu.
Dalam laporan berjudul "How did God part the Red Sea?" keduanya mengungkap ada empat kejadian alam yang memungkinkan terbelahnya laut merah.
Yaitu gelombang negatif, angin timur, gelombang pasang surut, dan gelombang Rossby. Kombinasi keempat faktor tersebut berjalan dengan sempurna sehingga laut pun terbelah yang memungkinkan Nabi Musa dan pengikutnya menyeberangi lautan tanpa basah terkena air laut.
Dalam analisa mereka, fenomena meteorologi justru menjadi pemicu terjadinya keempat kondisi tersebut. Kondisi itu meyebabkan rangkaian kejadian kacau yang berujung pada fenomena ekstrem.
Angin memang jadi pemicu utama laut terbelah. Fenomena yang mereka namakan wind setdown itu merupakan momen di mana angin yang sangat kuat bertiup terus-menerus sehingga bisa menurunkan permukaan air di suatu area sekaligus. Tiupan itu juga membua air menumpuk melawan angin. "Kondisi itu telah banyak didokumentasikan, termasuk di delta Sungai Nil pada abad ke-19 ketika angin kencang mendorong air setinggi sekitar lima kaki dan membuka sebuah lahan kering," kata mereka.
Untuk kejadian di Laut Merah, para peneliti mengatakan, kecepatan angin harus cukup kuat agar air tetap terpisah dalam waktu yang lama.
Kemungkinan kedua adalah gelombang air pasang yang lebih kuat dari biasanya ditambah dengan kondisi berangin, dapat menyebabkan permukaan air turun sedemikian rupa sehingga terbentuklah daerah kering, dan memungkinkan orang Israel untuk menyeberang.
Kondisi ini bahkan menurut mereka pernah terjadi saat Badai Irma menerpa Semenanjung Florida, Amerika Serikat pada 2017. Saat itu angin yang sangat besar menyebabkan sebagian perairan Semenanjung Florida terdorong mundur sehingga memperlihatkan dasar laut.
Kondisi angin tersebut justru menurut kedua ilmuwan itu tidak akan terjadi di Laut Merah. Dari situ mereka menganalisa kejadian terbelahnya laut itu bukanlah di Laut Merah.
Mereka yakin ada tempat lain yang lebih ideal sehingga fenomena terbelahnya laut itu jadi lebih mungkin. Mereka meyakini ada sedikit misinterpretasi dari lokasi keajaiban itu terjadi. "Laut Merah hanyalah terjemahan tradisional yang diperkenalkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Alkitab Versi King James," kata Rebekah Garratt dan Rikesh Kunverji.
Para ilmuwan pun berusaha memecahkan mukjizat Nabi Musa membelah lautan dari kacamata ilmu pengetahuan. Dikutip WION, Jumat (19/1/2023), ilmuwan dari University of Leicester, Inggris, Rebekah Garratt dan Rikesh Kunverji mencoba memahami keajaiban tersebut dengan cara berbeda. Mereka berupaya mendudukkan peristiwa tersebut dari kacamata ilmiah dan kondisi alam yang terjadi saat itu.
Dalam laporan berjudul "How did God part the Red Sea?" keduanya mengungkap ada empat kejadian alam yang memungkinkan terbelahnya laut merah.
Yaitu gelombang negatif, angin timur, gelombang pasang surut, dan gelombang Rossby. Kombinasi keempat faktor tersebut berjalan dengan sempurna sehingga laut pun terbelah yang memungkinkan Nabi Musa dan pengikutnya menyeberangi lautan tanpa basah terkena air laut.
Dalam analisa mereka, fenomena meteorologi justru menjadi pemicu terjadinya keempat kondisi tersebut. Kondisi itu meyebabkan rangkaian kejadian kacau yang berujung pada fenomena ekstrem.
Angin memang jadi pemicu utama laut terbelah. Fenomena yang mereka namakan wind setdown itu merupakan momen di mana angin yang sangat kuat bertiup terus-menerus sehingga bisa menurunkan permukaan air di suatu area sekaligus. Tiupan itu juga membua air menumpuk melawan angin. "Kondisi itu telah banyak didokumentasikan, termasuk di delta Sungai Nil pada abad ke-19 ketika angin kencang mendorong air setinggi sekitar lima kaki dan membuka sebuah lahan kering," kata mereka.
Untuk kejadian di Laut Merah, para peneliti mengatakan, kecepatan angin harus cukup kuat agar air tetap terpisah dalam waktu yang lama.
Kemungkinan kedua adalah gelombang air pasang yang lebih kuat dari biasanya ditambah dengan kondisi berangin, dapat menyebabkan permukaan air turun sedemikian rupa sehingga terbentuklah daerah kering, dan memungkinkan orang Israel untuk menyeberang.
Kondisi ini bahkan menurut mereka pernah terjadi saat Badai Irma menerpa Semenanjung Florida, Amerika Serikat pada 2017. Saat itu angin yang sangat besar menyebabkan sebagian perairan Semenanjung Florida terdorong mundur sehingga memperlihatkan dasar laut.
Kondisi angin tersebut justru menurut kedua ilmuwan itu tidak akan terjadi di Laut Merah. Dari situ mereka menganalisa kejadian terbelahnya laut itu bukanlah di Laut Merah.
Mereka yakin ada tempat lain yang lebih ideal sehingga fenomena terbelahnya laut itu jadi lebih mungkin. Mereka meyakini ada sedikit misinterpretasi dari lokasi keajaiban itu terjadi. "Laut Merah hanyalah terjemahan tradisional yang diperkenalkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Alkitab Versi King James," kata Rebekah Garratt dan Rikesh Kunverji.
(msf)