Mengenal Bom Cluster RBK-250, Penebar Maut Massal yang Dilarang Dunia
loading...
A
A
A
Prinsip kerja Bom Cluster RBK-250 mirip dengan thermobaric, yakni peledak akan menghasilkan gelombang ledakan dengan durasi lebih lama.
Thermobaric mengandalkan oksigen dan udara untuk pengoperasiannya, sehingga sangat pas untuk menghancurkan target pasukan infantri yang bersembunyi di dalam terowongan, gua, atau bunker. Selain itu, karena mampu menebar banyak bomblet, bom ini juga sangat pas untuk misi penghancuran landasan pesawat terbang lawan.
Uni Soviet merupakan perintis bom cluster, dengan desain cukup canggih dan digunakan sejak era 1930an. Keluarga bom cluster RBK dirancang setelah Perang Dunia II dan pada awalnya digunakan terutama untuk mengirim jumlah besar submunisi Anti-Personnel (AP) berfragmentasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, bom ini telah diadaptasi untuk membawa berbagai jenis submunisi lainnya, seperti anti-material, pembentukan lubang landasan udara, dan berbagai jenis submunisi Anti-Vehicle (AV).
Selain Uni Soviet, belasan negara lain juga mengembangkan bom serupa. Terbukti dalam berbagai konflik di Perang Dunia II bom ini banyak digunakan. Amerika Serikat misalnya, menggunakan bom tandan di Vietnam dan Laos.
Di era kontemporer, meski sudah ada larangan penggunaan bom cluster, faktanya penggunaan bom RBK-250 masih terjadi di Kota Derna, Libya Timur pada tahun 2015. Kemudian ada dugaan RBK-250 masih digunakan pada Perang Suriah .
Penggunaan RBK-250 ZAB-2.5. teridentifikasi terjadi di Ghouta timur. Slogan "Assad atau kita bakar negeri ini," yang digunakan oleh pendukung Bashar al-Assad di awal konflik, menjadi kenyataan bagi penduduk Ghouta timur.
Mereka dihujani bom cluster RBK-250 ZAB-2.5 baik oleh pasukan udara Suriah maupun Rusia. Dampak serangan-serangan ini didokumentasikan dalam laporan Breaking Aleppo dari Atlantic Council.
Setidaknya 25 serangan bom cluster dilaporkan terjadi di Ghouta timur antara 1 Februari dan 8 April. Cedera yang disebabkan oleh senjata-senjata ini sangat traumatis ketika terjadi di bawah kondisi pengepungan, karena pemerintah Suriah bersikeras untuk membatasi obat-obatan darurat dan peralatan medis untuk perawatan luka bakar dari jumlah konvoi bantuan yang diperbolehkannya masuk ke daerah yang dikepung.
Breaking Aleppo juga mencatat penggunaan secara luas bom cluster dalam operasi militer pemerintah Suriah di timur Aleppo, dan berbagai laporan dari lembaga-lembaga internasional dan organisasi non-pemerintah telah menyoroti penggunaan terus-menerus mereka dalam konflik ini.
Thermobaric mengandalkan oksigen dan udara untuk pengoperasiannya, sehingga sangat pas untuk menghancurkan target pasukan infantri yang bersembunyi di dalam terowongan, gua, atau bunker. Selain itu, karena mampu menebar banyak bomblet, bom ini juga sangat pas untuk misi penghancuran landasan pesawat terbang lawan.
Uni Soviet merupakan perintis bom cluster, dengan desain cukup canggih dan digunakan sejak era 1930an. Keluarga bom cluster RBK dirancang setelah Perang Dunia II dan pada awalnya digunakan terutama untuk mengirim jumlah besar submunisi Anti-Personnel (AP) berfragmentasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, bom ini telah diadaptasi untuk membawa berbagai jenis submunisi lainnya, seperti anti-material, pembentukan lubang landasan udara, dan berbagai jenis submunisi Anti-Vehicle (AV).
Selain Uni Soviet, belasan negara lain juga mengembangkan bom serupa. Terbukti dalam berbagai konflik di Perang Dunia II bom ini banyak digunakan. Amerika Serikat misalnya, menggunakan bom tandan di Vietnam dan Laos.
Di era kontemporer, meski sudah ada larangan penggunaan bom cluster, faktanya penggunaan bom RBK-250 masih terjadi di Kota Derna, Libya Timur pada tahun 2015. Kemudian ada dugaan RBK-250 masih digunakan pada Perang Suriah .
Dampak bom cluster di Suriah
Penggunaan RBK-250 ZAB-2.5. teridentifikasi terjadi di Ghouta timur. Slogan "Assad atau kita bakar negeri ini," yang digunakan oleh pendukung Bashar al-Assad di awal konflik, menjadi kenyataan bagi penduduk Ghouta timur.
Mereka dihujani bom cluster RBK-250 ZAB-2.5 baik oleh pasukan udara Suriah maupun Rusia. Dampak serangan-serangan ini didokumentasikan dalam laporan Breaking Aleppo dari Atlantic Council.
Setidaknya 25 serangan bom cluster dilaporkan terjadi di Ghouta timur antara 1 Februari dan 8 April. Cedera yang disebabkan oleh senjata-senjata ini sangat traumatis ketika terjadi di bawah kondisi pengepungan, karena pemerintah Suriah bersikeras untuk membatasi obat-obatan darurat dan peralatan medis untuk perawatan luka bakar dari jumlah konvoi bantuan yang diperbolehkannya masuk ke daerah yang dikepung.
Breaking Aleppo juga mencatat penggunaan secara luas bom cluster dalam operasi militer pemerintah Suriah di timur Aleppo, dan berbagai laporan dari lembaga-lembaga internasional dan organisasi non-pemerintah telah menyoroti penggunaan terus-menerus mereka dalam konflik ini.