Pemujaan Cermin Darah Menjadi Dasar Kekuatan Kekaisaran Pra-Aztec
loading...
A
A
A
LIMA - Negara kota terbesar yang pernah ada di Mesoamerika ini mungkin mendapatkan kekuatannya dari benda berkilau dan darah manusia.
Kedua hal ini dapat dipenuhi oleh obsidian, kaca vulkanik setajam silet yang memantulkan cahaya. Menurut analisis terbaru terhadap kuil pengorbanan di kota Teotihuacan pra-Columbus, ketertarikan masyarakat terhadap bahan reflektif ini melahirkan obsesi seperti pemujaan terhadap cermin dan pertumpahan darah. Kedua hal ini kemudian erat kaitannya dengan perluasan kerajaan.
Lebih dari 1.000 tahun sebelum peradaban Aztec, kota metropolitan kuno Teotihuacan berkembang pesat di Meksiko tengah dari tahun 100 SM hingga 800 M.
Sama seperti di banyak budaya Mesoamerika lainnya, para elit di Teotihuacan terobsesi dengan apa yang oleh para sarjana disebut sebagai "kompleks permukaan reflektif".
Mereka secara rutin menggunakan cermin pirit dan obsidian sebagai alat ramalan untuk melihat masa depan dan berkomunikasi dengan para dewa.
Namun, menurut penelitian baru yang dilakukan oleh Dr. Trenton D. Barnes dari Williams College, ketertarikan mereka terhadap permukaan berkilau ini lebih dari sekadar ramalan. Hal ini melahirkan beberapa praktik mengerikan. Bukti dari pemujaan cermin berdarah ini, kata Barnes, dapat ditemukan di Piramida Ular Berbulu, bangunan terbesar ketiga di kota kuno yang ikonik ini.
Menurut Barnes, kuil itu dihiasi dengan ratusan "patung monumental yang menggambarkan cermin". Dari cermin-cermin ini muncullah dewa Ular Berbulu, yang kemudian dikenal sebagai Quetzalcoatl di kalangan suku Aztec Mexica yang berbahasa Nahuatl.
Sayangnya, situs tersebut telah berulang kali digeledah sejak dibangun sekitar tahun 200 M. Namun, salah satu patung masih mempertahankan cakram obsidian reflektif yang awalnya tertanam di rongga matanya.
"Kemungkinan ratusan cermin seperti ini awalnya dimasukkan ke dalam fasad Piramida Ular Berbulu," tulis Barnes.
Kedua hal ini dapat dipenuhi oleh obsidian, kaca vulkanik setajam silet yang memantulkan cahaya. Menurut analisis terbaru terhadap kuil pengorbanan di kota Teotihuacan pra-Columbus, ketertarikan masyarakat terhadap bahan reflektif ini melahirkan obsesi seperti pemujaan terhadap cermin dan pertumpahan darah. Kedua hal ini kemudian erat kaitannya dengan perluasan kerajaan.
Lebih dari 1.000 tahun sebelum peradaban Aztec, kota metropolitan kuno Teotihuacan berkembang pesat di Meksiko tengah dari tahun 100 SM hingga 800 M.
Sama seperti di banyak budaya Mesoamerika lainnya, para elit di Teotihuacan terobsesi dengan apa yang oleh para sarjana disebut sebagai "kompleks permukaan reflektif".
Mereka secara rutin menggunakan cermin pirit dan obsidian sebagai alat ramalan untuk melihat masa depan dan berkomunikasi dengan para dewa.
Namun, menurut penelitian baru yang dilakukan oleh Dr. Trenton D. Barnes dari Williams College, ketertarikan mereka terhadap permukaan berkilau ini lebih dari sekadar ramalan. Hal ini melahirkan beberapa praktik mengerikan. Bukti dari pemujaan cermin berdarah ini, kata Barnes, dapat ditemukan di Piramida Ular Berbulu, bangunan terbesar ketiga di kota kuno yang ikonik ini.
Menurut Barnes, kuil itu dihiasi dengan ratusan "patung monumental yang menggambarkan cermin". Dari cermin-cermin ini muncullah dewa Ular Berbulu, yang kemudian dikenal sebagai Quetzalcoatl di kalangan suku Aztec Mexica yang berbahasa Nahuatl.
Sayangnya, situs tersebut telah berulang kali digeledah sejak dibangun sekitar tahun 200 M. Namun, salah satu patung masih mempertahankan cakram obsidian reflektif yang awalnya tertanam di rongga matanya.
"Kemungkinan ratusan cermin seperti ini awalnya dimasukkan ke dalam fasad Piramida Ular Berbulu," tulis Barnes.