Sangmong Harimau Bali yang Mempunyai Tempat Khusus di Pulau Dewata

Senin, 01 April 2024 - 10:06 WIB
loading...
Sangmong Harimau Bali yang Mempunyai Tempat Khusus di Pulau Dewata
Sangmong Harimau Bali . FOTO/ NG
A A A
BALI - Senasib dengan Harimau Jawa, Panthera tigris balica atau Harimau Bali tak kalah tragisnya keberadaanya di Indonesia. Meskipun demikian masyarakat Bali hingga saat ini masih menaruh rasa hormat yang tinggi pada binatang buas ini.

BACA JUGA - Di Hutan-hutan Angker Ini Harimau Jawa Pernah Terlihat

Dalam banyak literatur Bali, dikenal sebagai ‘Sangmong’ yang berasal dari kata “Sang Maung” atau dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai ” Beliau Sang Harimau” atau “Si Harimau”, maka Harimau Bali.

Harimau Bali adalah yang terkecil dari sembilan subspesies harimau, sebanding dengan ukuran macan tutul atau cougar. Berat jantan biasanya 90–100 kg (198).

Betina 65–80 kg (142–175 lb), dengan panjang jantan sekitar 220 cm (7,2 kaki atau 86,6 in) panjangnya (dengan ekor), dan betina 195–200 cm (6,4 –6.6 kaki atau 76,8–78,6 inci).

Ukurannya ini adalah sebuah anomali, umumnya semakin menjauh dari katulistiwa semakin besar pula ukuran seekor harimau. Mungkin evolusi ini disebabkan ukuran pulau Bali yang kecil dan memiliki hewan buruan yang lebih terbatas.

Ia memiliki bulu yang pendek, dengan warna oranye gelap. Lorengnya lebih sedikit dari harimau Jawa dan Sumatra, namun diantara loreng-lorengnya terkadang ada tutul tutul kecil hitam. Kekhasan ini menyebabkan terkadang harimau Bali digambarkan memiliki loreng-loreng yang lebih rapat.

Seperti saudaranya harimau Jawa, kepunahan harimau Bali sebagian disebabkan oleh perburuan yang massif semasa zaman kolonial. Konon cara yang paling poluler untuk memburu harimau Bali adalah dengan menggunakan perangkap kaki begerigi dari besi dengan umpan seekor kambing atau menjangan.

Dalam budaya Bali, harimau memiliki tempat khusus dalam cerita rakyat dan seni tradisional, seperti dalam lukisan Kamasan kerajaan Klungkung. Namun, mereka dianggap sebagai kekuatan destruktif dan upaya pemusnahan didorong sampai punah.

Dan tidak hanya dilakukan oleh penduduk setempat, dimana Bali sebagai pulau yang tidak begitu luas, maka perkembangan hidup manusia Bali yang tumbuh dan memerlukan banyak ruang tentu mengantar banyak spesies binatang asli Bali menuju kepunahan bahkan benar-benar hilang dari peradaban.

Namun kolonialisme era kolonial Belanda kala itu juga mendorong banyaknya perubahan secara massive dalam ekologi Bali, dimana jalan-jalan untuk kendaraan mulai dibangun, lapangan terbang hingga area perkebunan dan juga yang paling jahat adalah berdatangannya para pemuja hobi berburu yang menjadikan hewan-hewan eksotis sebuah wilayah jajahan sebagai binatang buruan untuk pemenuhan hobi. Tak hanya di Sumatra dan Jawa namun juga terjadi di Bali.

Tentu perburuan secara massive baik oleh kepentingan orang Bali yang memerlukan ruang lebih luas hingga mendesak Sang Mong dalam kepunahan, lalu ditambah kolonialisme Belanda dengan segala dampak negatifnya selain perang saudara. Yaitu budaya baru berburu dengan senapan, telah ikut merusak habitat Sang Mong serta membuatnya punah.

Selain diambil untuk dipelhara dan digunakan dalam atraksi-atraksi binatang eksotis yang menjadi trend kala itu di Eropa dengan pertunjukan sirkus, maka kulit hingga kuku dna tulang belulangnya pun diambil dan dijadikan komoditi.

Sangat sedikit catatan pertemuan yang dapat diandalkan dan bahkan lebih sedikit dokumentasi visual yang tersisa. Salah satu catatan terlengkap ditinggalkan oleh baron Hungaria Oszkár Vojnich, yang menjebak, memburu, dan memotret harimau Bali.

Pada 3 November 1911, ia menembak mati seekor spesimen dewasa di wilayah barat laut, antara Gunung Gondol dan Sungai Banyupoh, yang mendokumentasikannya dalam bukunya In The East Indian Archipelago. (Wikipedia) ( Dari catatan Facebook Adimelali/Dee Gorra 13 September 2014)
(wbs)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1238 seconds (0.1#10.140)