Gelombang Suara Gempa Bawah Air Ungkap Perubahan Pemanasan Laut
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gelombang suara yang bergerak ribuan kilometer melalui lautan diketahui dapat membantu para ilmuwan memantau perubahan iklim . Ini adalah kabar baik. (Baca juga: Pandemi dan Perubahan Iklim Tingkatkan Ancaman Terhadap Kesehatan Manusia )
Saat emisi gas rumah kaca menghangatkan Bumi, ternyata lautan menyerap panas tersebut dalam jumlah besar. Untuk memantau perubahan tersebut, armada global yang terdiri dari sekitar 4.000 perangkat yang disebut pelampung Argo sedang mengumpulkan data suhu dari 2.000 meter bagian atas lautan. Tetapi pengumpulan data itu hanya sedikit di beberapa wilayah, termasuk wilayah laut yang lebih dalam dan wilayah di bawah es laut.
Karena itu, Wenbo Wu, seismolog di Caltech, dan rekannya memunculkan kembali ide yang sudah berusia puluhan tahun. Yakni, menggunakan kecepatan suara di air laut untuk memperkirakan suhu laut.
Dalam studi baru, laman Science menyebutkan, tim Wu mengembangkan dan menguji cara menggunakan gelombang suara yang dihasilkan gempa yang melintasi Samudera Hindia Timur untuk memperkirakan perubahan suhu di perairan tersebut dari tahun 2005-2016. Membandingkan data tersebut dengan informasi serupa dari Argo dan model komputer menunjukkan hasil baru yang cocok.
Temuan itu menunjukkan bahwa teknik tersebut, yang dijuluki termometri laut seismik, menjanjikan untuk melacak dampak perubahan iklim pada wilayah laut yang kurang dipelajari dengan baik.
Gelombang suara dibawa melalui air oleh getaran molekul air, dan pada suhu yang lebih tinggi, molekul tersebut bergetar dengan lebih mudah. Akibatnya, gelombang bergerak sedikit lebih cepat saat air lebih hangat. Namun perubahan itu sangat kecil sehingga agar dapat diukur para peneliti perlu melacak gelombang dalam jarak yang sangat jauh.
Untungnya, gelombang suara dapat menempuh jarak yang sangat jauh melalui lautan, berkat fenomena aneh yang dikenal sebagai SOFAR Channel, singkatan dari Sound Fixing and Ranging. "Dibentuk oleh lapisan salinitas dan suhu yang berbeda di dalam air, saluran SOFAR adalah lapisan horizontal yang bertindak sebagai pemandu gelombang, memandu gelombang suara dengan cara yang sama seperti serat optik memandu gelombang cahaya," kata Wu.
Gelombang memantul bolak-balik terhadap batas atas dan bawah saluran, tetapi dapat terus berlanjut, hampir tidak berubah, selama puluhan ribu kilometer. (Baca juga: Banyak yang Ingin Juventus Mati, Tapi Kami Tetap Hidup )
Pada 1979, ahli kelautan fisik Walter Munk, yang saat itu berada di Scripps Institution of Oceanography di La Jolla, California, dan Carl Wunsch -sekarang profesor emeritus di MIT dan Universitas Harvard- datang dengan rencana untuk menggunakan sifat-sifat laut ini untuk mengukur air suhu dari permukaan ke dasar laut. Teknik itu mereka sebut "tomografi akustik samudra".
Mereka akan mengirimkan sinyal suara melalui SOFAR Channel dan mengukur waktu yang dibutuhkan gelombang untuk sampai ke penerima yang terletak 10.000 kilometer jauhnya. Dengan cara ini, para peneliti berharap dapat menyusun database global suhu lautan.
Tetapi kelompok lingkungan melobi dan akhirnya menghentikan percobaan, menyatakan bahwa sinyal buatan manusia mungkin memiliki efek buruk pada mamalia laut, seperti yang dicatat Wunsch dalam komentar di terbitan Science yang sama.
40 tahun kemudian, para ilmuwan telah menentukan bahwa lautan sebenarnya adalah tempat yang sangat bising. "Sinyal buatan manusia yang diusulkan akan redup dibandingkan dengan gemuruh gempa, semburan gunung berapi di bawah laut dan erangan gunung es yang bertabrakan," kata seismolog Emile Okal dari Northwestern University di Evanston, Illinois.
Namun, Wu dan rekannya telah merancang solusi yang menghindari masalah lingkungan. Yakni, daripada menggunakan sinyal buatan manusia, mereka menggunakan gempa bumi. Saat gempa bawah laut bergemuruh, gempa melepaskan energi sebagai gelombang seismik yang dikenal sebagai gelombang P dan gelombang S yang bergetar melalui dasar laut. Sebagian dari energi itu memasuki air, dan ketika itu terjadi, gelombang seismik melambat, menjadi gelombang T.
Gelombang T tersebut juga dapat bergerak di sepanjang Selat SOFAR. Jadi, untuk melacak perubahan suhu lautan, Wu dan rekannya mengidentifikasi "pengulang" -gempa bumi yang ditentukan tim berasal dari lokasi yang sama, tetapi terjadi pada waktu yang berbeda.
Samudera Hindia Timur, kata Wu, dipilih untuk studi bukti konsep ini terutama karena sangat aktif secara seismik, menawarkan banyak gempa bumi semacam itu. Setelah mengidentifikasi lebih dari 2.000 repeater dari 2005 hingga 2016, tim tersebut kemudian mengukur perbedaan waktu tempuh gelombang suara melintasi Samudra Hindia Timur, rentang sekitar 3.000 kilometer. (Baca juga: Jelas Ya! Bandara Kertajati Tak Mau Saingi Soekarno-Hatta )
Saat emisi gas rumah kaca menghangatkan Bumi, ternyata lautan menyerap panas tersebut dalam jumlah besar. Untuk memantau perubahan tersebut, armada global yang terdiri dari sekitar 4.000 perangkat yang disebut pelampung Argo sedang mengumpulkan data suhu dari 2.000 meter bagian atas lautan. Tetapi pengumpulan data itu hanya sedikit di beberapa wilayah, termasuk wilayah laut yang lebih dalam dan wilayah di bawah es laut.
Karena itu, Wenbo Wu, seismolog di Caltech, dan rekannya memunculkan kembali ide yang sudah berusia puluhan tahun. Yakni, menggunakan kecepatan suara di air laut untuk memperkirakan suhu laut.
Dalam studi baru, laman Science menyebutkan, tim Wu mengembangkan dan menguji cara menggunakan gelombang suara yang dihasilkan gempa yang melintasi Samudera Hindia Timur untuk memperkirakan perubahan suhu di perairan tersebut dari tahun 2005-2016. Membandingkan data tersebut dengan informasi serupa dari Argo dan model komputer menunjukkan hasil baru yang cocok.
Temuan itu menunjukkan bahwa teknik tersebut, yang dijuluki termometri laut seismik, menjanjikan untuk melacak dampak perubahan iklim pada wilayah laut yang kurang dipelajari dengan baik.
Gelombang suara dibawa melalui air oleh getaran molekul air, dan pada suhu yang lebih tinggi, molekul tersebut bergetar dengan lebih mudah. Akibatnya, gelombang bergerak sedikit lebih cepat saat air lebih hangat. Namun perubahan itu sangat kecil sehingga agar dapat diukur para peneliti perlu melacak gelombang dalam jarak yang sangat jauh.
Untungnya, gelombang suara dapat menempuh jarak yang sangat jauh melalui lautan, berkat fenomena aneh yang dikenal sebagai SOFAR Channel, singkatan dari Sound Fixing and Ranging. "Dibentuk oleh lapisan salinitas dan suhu yang berbeda di dalam air, saluran SOFAR adalah lapisan horizontal yang bertindak sebagai pemandu gelombang, memandu gelombang suara dengan cara yang sama seperti serat optik memandu gelombang cahaya," kata Wu.
Gelombang memantul bolak-balik terhadap batas atas dan bawah saluran, tetapi dapat terus berlanjut, hampir tidak berubah, selama puluhan ribu kilometer. (Baca juga: Banyak yang Ingin Juventus Mati, Tapi Kami Tetap Hidup )
Pada 1979, ahli kelautan fisik Walter Munk, yang saat itu berada di Scripps Institution of Oceanography di La Jolla, California, dan Carl Wunsch -sekarang profesor emeritus di MIT dan Universitas Harvard- datang dengan rencana untuk menggunakan sifat-sifat laut ini untuk mengukur air suhu dari permukaan ke dasar laut. Teknik itu mereka sebut "tomografi akustik samudra".
Mereka akan mengirimkan sinyal suara melalui SOFAR Channel dan mengukur waktu yang dibutuhkan gelombang untuk sampai ke penerima yang terletak 10.000 kilometer jauhnya. Dengan cara ini, para peneliti berharap dapat menyusun database global suhu lautan.
Tetapi kelompok lingkungan melobi dan akhirnya menghentikan percobaan, menyatakan bahwa sinyal buatan manusia mungkin memiliki efek buruk pada mamalia laut, seperti yang dicatat Wunsch dalam komentar di terbitan Science yang sama.
40 tahun kemudian, para ilmuwan telah menentukan bahwa lautan sebenarnya adalah tempat yang sangat bising. "Sinyal buatan manusia yang diusulkan akan redup dibandingkan dengan gemuruh gempa, semburan gunung berapi di bawah laut dan erangan gunung es yang bertabrakan," kata seismolog Emile Okal dari Northwestern University di Evanston, Illinois.
Namun, Wu dan rekannya telah merancang solusi yang menghindari masalah lingkungan. Yakni, daripada menggunakan sinyal buatan manusia, mereka menggunakan gempa bumi. Saat gempa bawah laut bergemuruh, gempa melepaskan energi sebagai gelombang seismik yang dikenal sebagai gelombang P dan gelombang S yang bergetar melalui dasar laut. Sebagian dari energi itu memasuki air, dan ketika itu terjadi, gelombang seismik melambat, menjadi gelombang T.
Gelombang T tersebut juga dapat bergerak di sepanjang Selat SOFAR. Jadi, untuk melacak perubahan suhu lautan, Wu dan rekannya mengidentifikasi "pengulang" -gempa bumi yang ditentukan tim berasal dari lokasi yang sama, tetapi terjadi pada waktu yang berbeda.
Samudera Hindia Timur, kata Wu, dipilih untuk studi bukti konsep ini terutama karena sangat aktif secara seismik, menawarkan banyak gempa bumi semacam itu. Setelah mengidentifikasi lebih dari 2.000 repeater dari 2005 hingga 2016, tim tersebut kemudian mengukur perbedaan waktu tempuh gelombang suara melintasi Samudra Hindia Timur, rentang sekitar 3.000 kilometer. (Baca juga: Jelas Ya! Bandara Kertajati Tak Mau Saingi Soekarno-Hatta )
(iqb)