Terlalu Banyak Waktu Habis di Medsos? Mungkin Anda Harus Puasa Dopamin
loading...
A
A
A
JAKARTA - Puasa dopamin atau dopamine detox belakangan menjadi istilah baru yang penting dan relevan bagi masyarakat urban yang merasa terlalu banyak membuang waktu untuk scrolling linimasa media sosial.
Selama beberapa bulan terakhir, Dini (37) merasa dirinya semakin tidak produktif. Banyak tugasnya yang menumpuk. Praktisi humas itu mengaku banyak sekali waktunya terbuang dalam sehari untuk hal yang sebenarnya tidak terlalu penting: melihat sosial media. ”Saya merasa dalam sehari menghabiskan sangat banyak waktu untuk screen time,” ungkapnya.
Apa yang dialami Dini sebenarnya bukan hal baru. Bahkan, sudah banyak dialami oleh masyarakat. Ketika internet semakin cepat, sosial media kian beragam, dan hiburan di ponsel begitu variatif, sangat mudah untuk menghabiskan banyak sekali waktu di layar ponsel.
Dampaknya, tidak hanya produktivitas berkurang. Tapi, keinginan untuk belajar, membaca buku, berolah raga, serta aktivitas-aktivitas berat lain juga jauh berkurang.
Jika itu sudah terjadi, maka sudah saatnya melakukan 'puasa dopamin atau dopamine detox. Apa itu?
Dopamin adalah neurotransmiter yang penting buat tubuh, karena fungsinya yang menyampaikan pesan ke otak agar bisa mengatur gerakan badan, memantik motivasi, menyampaikan untuk mencari kesenangan, perhatian, dan lainnya.
Singkatnya, hormon dopamin akan aktif ketika kita sedang melakukan aktivitas-aktivitas menyenangkan atau yang menghibur.
Ketika dopamin aktif, kita akan merasa senang dan bahagia. Ini terjadi saat sedang bermain game hingga berselancar internet. Mulai melihat linimasa sosial media, menonton film, mendengarkan musik, bahkan makan makanan favorit. Semua aktivitas itu merilis hormon dopamin.
Yang jadi masalah, ketika kita membiasakan diri dengan kegiatan yang merilis dopamin dalam jumlah banyak, maka menjadi malas atau susah untuk berlama-lama melakukan aktivitas dengan dopamin rendah. Misalnya membaca buku, berolahraga, mengerjakan tugas kantor/kuliah, dan lainnya.
Nah, bagaimana caranya agar tidak terlalu banyak dopamin di otak? Dr. Cameron Sepah, psikolog asal San Fransisco, pertama mengeluarkan istilah puasa dopamin. Ia berpendapat bahwa terlalu banyak melakukan aktivitas yang merilis dopamin dalam jumlah besar seperti media sosial, bisa menyebabkan ketergantungan.
Tujuan puasa dopamin adalahs mengurangi level dopamin di otak. Dan membiasakan otak untuk tetap aktif di level dopamin rendah.
Andai setiap hari Anda terbiasa makan di restoran mewah dengan banyak pilihan, maka akan malas untuk makan nasi bungkus berisi telur dan tempe. Tapi, jika Anda berada di hutan dan tidak ada makanan, maka nasi telur dan tempe menjadi mewah.
Puasa dopamin dilakukan dengan cara mengurangi aktivitas yang memiliki dopamin tinggi. Yang rata-rata di dapat lewat screen time. Ini termasuk scrolling media sosial, menonton YouTube, menonton streaming di Netflix, dan lainnya.
Harapannya dengan menurunkan kadar dopamin, kita jadi lebih tahan lama untuk bisa mengerjakan aktivitas berat atau membosankan (memiliki dopamin rendah), juga, memungkinkan proses pemulihan otak dan tubuh.
Selama beberapa bulan terakhir, Dini (37) merasa dirinya semakin tidak produktif. Banyak tugasnya yang menumpuk. Praktisi humas itu mengaku banyak sekali waktunya terbuang dalam sehari untuk hal yang sebenarnya tidak terlalu penting: melihat sosial media. ”Saya merasa dalam sehari menghabiskan sangat banyak waktu untuk screen time,” ungkapnya.
Apa yang dialami Dini sebenarnya bukan hal baru. Bahkan, sudah banyak dialami oleh masyarakat. Ketika internet semakin cepat, sosial media kian beragam, dan hiburan di ponsel begitu variatif, sangat mudah untuk menghabiskan banyak sekali waktu di layar ponsel.
Dampaknya, tidak hanya produktivitas berkurang. Tapi, keinginan untuk belajar, membaca buku, berolah raga, serta aktivitas-aktivitas berat lain juga jauh berkurang.
Jika itu sudah terjadi, maka sudah saatnya melakukan 'puasa dopamin atau dopamine detox. Apa itu?
Dopamin adalah neurotransmiter yang penting buat tubuh, karena fungsinya yang menyampaikan pesan ke otak agar bisa mengatur gerakan badan, memantik motivasi, menyampaikan untuk mencari kesenangan, perhatian, dan lainnya.
Singkatnya, hormon dopamin akan aktif ketika kita sedang melakukan aktivitas-aktivitas menyenangkan atau yang menghibur.
Ketika dopamin aktif, kita akan merasa senang dan bahagia. Ini terjadi saat sedang bermain game hingga berselancar internet. Mulai melihat linimasa sosial media, menonton film, mendengarkan musik, bahkan makan makanan favorit. Semua aktivitas itu merilis hormon dopamin.
Yang jadi masalah, ketika kita membiasakan diri dengan kegiatan yang merilis dopamin dalam jumlah banyak, maka menjadi malas atau susah untuk berlama-lama melakukan aktivitas dengan dopamin rendah. Misalnya membaca buku, berolahraga, mengerjakan tugas kantor/kuliah, dan lainnya.
Nah, bagaimana caranya agar tidak terlalu banyak dopamin di otak? Dr. Cameron Sepah, psikolog asal San Fransisco, pertama mengeluarkan istilah puasa dopamin. Ia berpendapat bahwa terlalu banyak melakukan aktivitas yang merilis dopamin dalam jumlah besar seperti media sosial, bisa menyebabkan ketergantungan.
Tujuan puasa dopamin adalahs mengurangi level dopamin di otak. Dan membiasakan otak untuk tetap aktif di level dopamin rendah.
Andai setiap hari Anda terbiasa makan di restoran mewah dengan banyak pilihan, maka akan malas untuk makan nasi bungkus berisi telur dan tempe. Tapi, jika Anda berada di hutan dan tidak ada makanan, maka nasi telur dan tempe menjadi mewah.
Puasa dopamin dilakukan dengan cara mengurangi aktivitas yang memiliki dopamin tinggi. Yang rata-rata di dapat lewat screen time. Ini termasuk scrolling media sosial, menonton YouTube, menonton streaming di Netflix, dan lainnya.
Harapannya dengan menurunkan kadar dopamin, kita jadi lebih tahan lama untuk bisa mengerjakan aktivitas berat atau membosankan (memiliki dopamin rendah), juga, memungkinkan proses pemulihan otak dan tubuh.
(dan)