Terus Bermutasi, Butuh 10 Tahun untuk Sempurnakan Vaksin COVID-19

Sabtu, 13 Maret 2021 - 11:18 WIB
loading...
Terus Bermutasi, Butuh 10 Tahun untuk Sempurnakan Vaksin COVID-19
Ilustrasi Penanganan virus Covid-19 oleh tim ahli. FOTO/ IST
A A A
LONDON - Sebuah mutasi spontan dalam material genetik virus itu membuat obat itu tidak bekerja, sehingga virus-virus mutan dapat berkembang biak sangat cepat walau pasien sudah diberi obat. Akibatnya pasien sakit kembali.

Butuh 10 tahun hingga para ilmuwan menemukan perawatan yang mampu mengatasi evolusi virus.

Akankah hal yang sama terjadi pada vaksin COVID-19 ? Apakah vaksin yang aman dan efektif dalam uji coba bisa gagal karena virus telah berevolusi?

Seperti dilansir dari UNILAD, ahli microbiologi evolusi telah menemukan adanya virus ayam yang resisten terhadap dua vaksin yang berbeda, kita tahu kemungkinan ini bisa terjadi.

Namun, kita juga tahu apa yang kira-kira dapat mencegah kegagalan ini. Vaksin COVID-19 bisa gagal kalau mereka tidak memiliki kemampuan-kemampuan tertentu.

Sepanjang sejarah, manusia cukup beruntung: sebagian besar vaksin manusia tidak gagal akibat evolusi organisme mikro.

Contohnya, virus cacar mampu dibasmi karena virus itu tidak dapat berevolusi melawan vaksin cacar, dan tidak ada galur virus campak yang mampu mengalahkan kemampuan imun yang dihasilkan lewat vaksin campak.

Tapi ada satu pengecualian. Sebuah bakteri yang menyebabkan pneumonia berhasil berevolusi dan menjadi resisten terhadap suatu vaksin. Mengembangkan dan mengganti vaksin tersebut memakan banyak biaya dan waktu. Butuh waktu tujuh tahun dari munculnya galur yang resisten hingga penerbitan vaksin baru.

Belum ada kegagalan lain dalam vaksin manusia, tapi ada beberapa petunjuk bahwa virus, bakteri, dan parasit berevolusi merespons vaksin.

Mutan yang berhasil menghindar dari imunitas yang dihasilkan vaksin sering diamati dalam mikroba yang menyebabkan hepatitis B dan pertussis (batuk rejan).

Untuk penyakit seperti malaria, trypanosomiasis (penyakit tidur), influensa dan AIDS, vaksin sangat sulit dikembangkan karena mikroba-mikroba penyebab penyakit itu berevolusi sangat cepat.

Dalam dunia pertanian, vaksin-vaksin hewan sering kali gagal akibat evolusi virus.
Tergantung bagaimana virus COVID-19 berevolusi, vaksin bisa berkurang keampuhannya.

Jika SARS-CoV-2 berevolusi terhadap vaksin COVID, ada beberapa hal yang mungkin terjadi. Yang paling mudah adalah seperti yang terjadi pada virus flu.

Imunitas bekerja saat sel-sel antibodi atau imun menempel pada molekul di permukaan virus. Jika mutasi pada molekul-molekul permukaan virus itu berubah, maka antibodi tidak bisa menempel dengan baik dan virus bisa lepas.

Proses inilah penyebab mengapa vaksin flu musiman perlu diperbaharui setiap tahun. Jika ini terjadi pada vaksin COVID, maka vaksin itu akan perlu update berulang juga.

Namun evolusi juga bisa terjadi secara berbeda. Akan lebih baik untuk kesehatan manusia, misalnya, jika virus berevolusi menjadi senyap, mungkin dengan bereproduksi secara perlahan atau bersembunyi di organ-organ yang sistem imunnya kurang aktif.

Banyak patogen yang menyebabkan berbagai macam infeksi kronis yang nyaris tidak terasa oleh manusia telah mengambil jalur evolusi ini. Mereka tidak terdeteksi karena tidak menyebabkan penyakit akut.

Jalur evolusi yang lebih berbahaya adalah jika virus menemukan cara untuk mereplikasi diri lebih cepat daripada imunitas yang dihasilkan vaksin. Cara lain adalah jika virus mampu menyasar sistem imun dan melemahkan imunitas yang dihasilkan vaksin.

Jika SARS-CoV-2 memiliki cara untuk sedikit saja melemahkan imunitas manusia, maka vaksin COVID akan menguntungkan virus mutan yang mampu lebih banyak melemahkan sistem imun.
Vaksin kebal evolusi

Sebelum COVID muncul, kami berdua membandingkan vaksin-vaksin yang berhasil terus bekerja dengan vaksin-vaksin yang digagalkan oleh evolusi patogen.

Sebelumnya SINDOnews memberitakan, pasien yang sembuh dari varian virus COVID-19 yang bermutasi di Afrika Selatan memberikan imunitas kuat untuk melawan virus Corona dari berbagai varian di dunia. Para peneliti yakin temuan di laboratorium tersebut memberi harapan untuk vaksin yang lebih baik di masa depan.
(wbs)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1333 seconds (0.1#10.140)