Wisata ke Luar Angkasa, dari Crazy Rich, oleh Crazy Rich, untuk Crazy Rich
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dua orang superkaya atau crazy rich di dunia, Richard Branson dan Jeff Bezos berhasil datang ke luar angkasa baru-baru ini. Menggunakan pesawat luar angkasa milik masing-masing, keduanya sampai ke suatu tempat yang sangat tinggi dimana masyarakat tanpa kualifikasi khusus bisa melakukannya.
Richard Branson dengan Virgin Atlantic berhasil mencapai titik 80 kilometer di atas permukaan Bumi. Jeff Bezos dengan Blue Origin malah lebih tinggi lagi yakni 120 kilometer di atas permukaan Bumi. Dari perjalanan fantastis itu keduanya ternyata memiliki niatan yang hampir sama yakni membuka bisnis baru, berwisata di luar angkasa. "Saya rasa hal ini tidak terlalu cepat dilakukan. Saat ini semuanya justru tengah dimulai," ucap Richard Branson.
Sejatinya bisnis wisata di luar angkasa memang bukan hal yang baru. Pada tahun 1970-an Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) melihat adanya peluang komersialisasi luar angkasa. Pada pertama kalinya NASA malah membuat prototipe pesawat luar angkasa yang mampu membawa 74 orang sekaligus lengkap dengan ruangan kargo yang besar. Jelas, saat itu NASA berpikir bahwa aktivitas di luar angkasa adalah kegiatan menarik yang dilakukan bersama-sama.
Saat itu juga NASA selalu melibatkan masyarakat umum untuk berangkat ke luar angkasa. Seperti dosen dari MIT Byron Lychtenberg, peneliti Jerman Dr Ulf Merbold hingga guru SMA Christa McAuliffe. Hanya saja semua itu mengalami setback ketika pesawat luar angkasa Challenger meledak pada 1986.
NASA mulai berhati-hati membawa masyarakat umum ikut dalam misi ke luar angkasa. Berpuluh-puluh tahun kemudian tiga orang superkaya di dunia Richard Branson, Jeff Bezos dan Elon Musk justru meneruskan upaya itu.
Ketiganya melihat luar angkasa bukanlah tempat ekslusif para astronot dengan kemampuan dan kualifikasi khusus. Ketiganya bahkan adu cepat agar menjadi yang pertama mampu melakukannya. Dan seperti ditulis di atas Richard Branson dan Jeff Bezos lebih dulu melakukannya. Tapi perlu diketahui Elon Musk justru punya target yang lebih ekstrem lagi yakni membawa masyarakat ke planet Mars.
Namun tidak mudah buat semua orang untuk mendapatkan kesempatan itu. Terbang ke luar angkasa menjadi sebuah bisnis yang butu uang yang sangat besar. Richard Branson, setelah berhasil menjalankan misinya, bahkan sudah mengumumkan harga tiket pesawat ke luar angkasa berkisa USD200.000 hingga USD250.000 atau sekitar Rp2,8 miliar hingga Rp3,5 miliar.
Blue Origin, perusahaan pesawat luar angkasa milik Jeff Bezos memang belum mengumumkan harga tiket terbang ke luar angkasa. Hanya saja salah satu penumpang Blue Origin yang terbang bersamanya, Oliver Daemen, harus mengeluarkan uang sebesar USD28 juta atau setara Rp400,6 miliar agar bisa sampai 120 kilometer di atas permukaan Bumi. Memang uang itu digunakan oleh Jeff Bezos untuk kegiatan amal. Tapi setidaknya sudah menggambarkan betapa mahalnya harga yang ditebus masyarakat umum jika ingin sampai ke luar angkasa.
Hanya orang-orang superkaya saja yang mau menggelontorkan uang agar bisa sampai ke sana. Hal ini sangat jauh dari khittah yang diinginkan NASA saat mengirimkan guru dan peneliti ke luar angkasa waktu itu.
Tidak heran jika banyak orang yang mengkritik bahwa wisata ke luar angkasa hanyalah jadi pemuas rasa dahaga para orang superkaya yang semata-mata ingin eksis di hadapan masyarakat dunia.
"Selalu ada kritikan tentang dana yang dikeluarkan untuk bisnis di luar angkasa ini. Ada anggapan bahwa uang sebesar itu harusnya digunakan untuk kepentingan perbaikan lingkungan kita sendiri. Saya melihat perdebatan ini akan terus ada dan tidak akan pernah berubah karena itu faktanya," uar Alan Ladwig, penulis buku See You in Orbit? Our Dream of Spaceflight.
Selain biaya besar yang "terbakar" hanya untuk kegiatan wisata, kritikan lain juga datang dari dampak lingkungan yang ditimbulkan dari bisnis luar angkas atersebut. Semakin banyak aktivitas pesawat luar angkasa maka semakin besar dampak polusinya pada Bumi. Karbon hitam yang dihasilkan oleh pesawat luar angkasa mempunyai dampak yang mengerikan pada Bumi. Di saat orang-orang superkaya menikmati aktivitas mereka di luar angkasa, masyarakat di Bumi, yang tidak pernah sampai kesana, justru terkena getahnya.
Richard Branson beralasan mahalnya harga ke luar angkasa karena saat ini pelaku bisnisnya sangat terbatas. Apalagi jumlah orang yang akan dibawa juga tidak banyak. Dia mengatakan jika memang ingin harganya turun maka pihak swasta lain juga harus mau terjun ke bisnis yang sama.
Semakin banyak pesawat luar angkasa yang dibuat maka akan semakin mudah dan banyak masyarakat yang di bawa ke luar angkasa. Otomatis persaingan akan semakin terbuka dan harga pun akan turun. "Saya lihat ada sekitar 20 perusahaan yang bisa ikut bisnis membawa masyarakat ke luar angkasa. Ini akan membuat harga ke luar angkasa jadi lebih murah dan semua orang akan bisa kesana," jelasnya.
Masalahnya adalah buat apa masyarakat umum terbang ke luar angkasa, apalagi hanya untuk sekadar berwisata. Bayangkan saja Jeff Bezos dan kru Blue Origin hanya menghabiskan waktu selama 11 menit di luar angkasa. Richard Branson dan kru Virgin Atlantic juga menghabiskan waktu yang kurang lebih sama.
Alan Ladwig mengatakan waktu sesingkat itu tidak akan memberikan banyak hal. Tidak ada kontribusi positif yang diberikan dengan perjalanan singkat itu. "Seharusnya kita bisa berharap mereka yang pergi ke luar angkasa akan mendapatkan pengalaman transformatif yang akan mengubah pola pikir kita pada planet Bumi," jelas Alan Ladwig.
Jangan sampai perjalanan keluar angkasa justru hanya jadi pemuas dahaga para crazy rich yang sekadar ingin memuaskan kepentingan pribadi atau malah kebutuhan sosial media seperti yang terjadi belakangan ini. Perjalanan wisata keluar angkasa ini jadi tak ubahnya seperti slogan pemilu, dari crazy rich, oleh crazy rich, untuk crazy rich.
Richard Branson dengan Virgin Atlantic berhasil mencapai titik 80 kilometer di atas permukaan Bumi. Jeff Bezos dengan Blue Origin malah lebih tinggi lagi yakni 120 kilometer di atas permukaan Bumi. Dari perjalanan fantastis itu keduanya ternyata memiliki niatan yang hampir sama yakni membuka bisnis baru, berwisata di luar angkasa. "Saya rasa hal ini tidak terlalu cepat dilakukan. Saat ini semuanya justru tengah dimulai," ucap Richard Branson.
Sejatinya bisnis wisata di luar angkasa memang bukan hal yang baru. Pada tahun 1970-an Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) melihat adanya peluang komersialisasi luar angkasa. Pada pertama kalinya NASA malah membuat prototipe pesawat luar angkasa yang mampu membawa 74 orang sekaligus lengkap dengan ruangan kargo yang besar. Jelas, saat itu NASA berpikir bahwa aktivitas di luar angkasa adalah kegiatan menarik yang dilakukan bersama-sama.
Saat itu juga NASA selalu melibatkan masyarakat umum untuk berangkat ke luar angkasa. Seperti dosen dari MIT Byron Lychtenberg, peneliti Jerman Dr Ulf Merbold hingga guru SMA Christa McAuliffe. Hanya saja semua itu mengalami setback ketika pesawat luar angkasa Challenger meledak pada 1986.
NASA mulai berhati-hati membawa masyarakat umum ikut dalam misi ke luar angkasa. Berpuluh-puluh tahun kemudian tiga orang superkaya di dunia Richard Branson, Jeff Bezos dan Elon Musk justru meneruskan upaya itu.
Ketiganya melihat luar angkasa bukanlah tempat ekslusif para astronot dengan kemampuan dan kualifikasi khusus. Ketiganya bahkan adu cepat agar menjadi yang pertama mampu melakukannya. Dan seperti ditulis di atas Richard Branson dan Jeff Bezos lebih dulu melakukannya. Tapi perlu diketahui Elon Musk justru punya target yang lebih ekstrem lagi yakni membawa masyarakat ke planet Mars.
Namun tidak mudah buat semua orang untuk mendapatkan kesempatan itu. Terbang ke luar angkasa menjadi sebuah bisnis yang butu uang yang sangat besar. Richard Branson, setelah berhasil menjalankan misinya, bahkan sudah mengumumkan harga tiket pesawat ke luar angkasa berkisa USD200.000 hingga USD250.000 atau sekitar Rp2,8 miliar hingga Rp3,5 miliar.
Blue Origin, perusahaan pesawat luar angkasa milik Jeff Bezos memang belum mengumumkan harga tiket terbang ke luar angkasa. Hanya saja salah satu penumpang Blue Origin yang terbang bersamanya, Oliver Daemen, harus mengeluarkan uang sebesar USD28 juta atau setara Rp400,6 miliar agar bisa sampai 120 kilometer di atas permukaan Bumi. Memang uang itu digunakan oleh Jeff Bezos untuk kegiatan amal. Tapi setidaknya sudah menggambarkan betapa mahalnya harga yang ditebus masyarakat umum jika ingin sampai ke luar angkasa.
Hanya orang-orang superkaya saja yang mau menggelontorkan uang agar bisa sampai ke sana. Hal ini sangat jauh dari khittah yang diinginkan NASA saat mengirimkan guru dan peneliti ke luar angkasa waktu itu.
Tidak heran jika banyak orang yang mengkritik bahwa wisata ke luar angkasa hanyalah jadi pemuas rasa dahaga para orang superkaya yang semata-mata ingin eksis di hadapan masyarakat dunia.
"Selalu ada kritikan tentang dana yang dikeluarkan untuk bisnis di luar angkasa ini. Ada anggapan bahwa uang sebesar itu harusnya digunakan untuk kepentingan perbaikan lingkungan kita sendiri. Saya melihat perdebatan ini akan terus ada dan tidak akan pernah berubah karena itu faktanya," uar Alan Ladwig, penulis buku See You in Orbit? Our Dream of Spaceflight.
Selain biaya besar yang "terbakar" hanya untuk kegiatan wisata, kritikan lain juga datang dari dampak lingkungan yang ditimbulkan dari bisnis luar angkas atersebut. Semakin banyak aktivitas pesawat luar angkasa maka semakin besar dampak polusinya pada Bumi. Karbon hitam yang dihasilkan oleh pesawat luar angkasa mempunyai dampak yang mengerikan pada Bumi. Di saat orang-orang superkaya menikmati aktivitas mereka di luar angkasa, masyarakat di Bumi, yang tidak pernah sampai kesana, justru terkena getahnya.
Richard Branson beralasan mahalnya harga ke luar angkasa karena saat ini pelaku bisnisnya sangat terbatas. Apalagi jumlah orang yang akan dibawa juga tidak banyak. Dia mengatakan jika memang ingin harganya turun maka pihak swasta lain juga harus mau terjun ke bisnis yang sama.
Semakin banyak pesawat luar angkasa yang dibuat maka akan semakin mudah dan banyak masyarakat yang di bawa ke luar angkasa. Otomatis persaingan akan semakin terbuka dan harga pun akan turun. "Saya lihat ada sekitar 20 perusahaan yang bisa ikut bisnis membawa masyarakat ke luar angkasa. Ini akan membuat harga ke luar angkasa jadi lebih murah dan semua orang akan bisa kesana," jelasnya.
Masalahnya adalah buat apa masyarakat umum terbang ke luar angkasa, apalagi hanya untuk sekadar berwisata. Bayangkan saja Jeff Bezos dan kru Blue Origin hanya menghabiskan waktu selama 11 menit di luar angkasa. Richard Branson dan kru Virgin Atlantic juga menghabiskan waktu yang kurang lebih sama.
Alan Ladwig mengatakan waktu sesingkat itu tidak akan memberikan banyak hal. Tidak ada kontribusi positif yang diberikan dengan perjalanan singkat itu. "Seharusnya kita bisa berharap mereka yang pergi ke luar angkasa akan mendapatkan pengalaman transformatif yang akan mengubah pola pikir kita pada planet Bumi," jelas Alan Ladwig.
Jangan sampai perjalanan keluar angkasa justru hanya jadi pemuas dahaga para crazy rich yang sekadar ingin memuaskan kepentingan pribadi atau malah kebutuhan sosial media seperti yang terjadi belakangan ini. Perjalanan wisata keluar angkasa ini jadi tak ubahnya seperti slogan pemilu, dari crazy rich, oleh crazy rich, untuk crazy rich.
(wsb)