Gelapkan Eropa, Letusan Dahsyat Gunung Samalas di Lombok Ubah Dunia
loading...
A
A
A
LOMBOK - Gunung Samalas merupakan salah satu gunung yang meletus dahsyat selain letusan Gunung Tambora dan Gunung Krakatau. Hal ini dibuktikan oleh peneliti bernama Franck Lavigne dari Universite Paris Pantheon-Sorbonne bersama 14 peneliti gunung api lainnya.
Pada abad ke-13, Eropa Barat mengalami apa yang disebut sebagai tahun “tahun yang gelap” atau “tahun yang berkabut”.
Mengutip dari berbagai makalah Source of the great A.D, para ilmuwan menduga bahwa periode gelap tersebut ada kaitannya dengan letusan gunung api yang menghasilkan aerosol sulfat, yang dapat menyebabkan perubahan iklim, kerusakan ozon, dan mengganggu keseimbangan radiasi atmosfer.
Tidak ada yang tahu sumber letusan dari mana hingga pada 2013, ahli gunung berapi dari Prancis Franck Lavigne dan tim akhirnya mengungkap bahwa letusan berasal dari Gunung Samalas yang ada di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Mereka tahu itu setelah mencocokkan sisa kandungan geokimia material vulkanis yang ditemukan dengan kandungan yang ada di Lombok.
Ia dengan yang lain menerbitkan makalah berjudul “Source of the great A.D. 1257 mystery eruption unveiled, Samalas volcano, Rinjani Volcanic Complex, Indonesia” dalam Proceedings of the National Academy of Sciences (no. 42, vol. 110, 2013).
Selain itu, tim Lavigne pada kala itu juga melibatkan geolog-geolog Indonesia, yaitu Indyo Pratomo (Geolog Museum Geologi), Danang Sri Hadmoko (Faklutas Geografi, Universitas Gadjah Mada), dan Surono (mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi).
Salah satu temuan mereka adalah ‘erupsi misterius’ yang berdasarkan penanggalanradiocarbonterjadi antara kurun 1257-1259. Timnya memperkirakan erupsi misterius itu lebih kolosal daripada erupsi Krakatau 1881 dan Tambora 1815.
Letusan tersebut melepaskan 40 kilometer kubik abu ke angkasa hingga setinggi 43 kilometer, yang terus mengelilingi bumi beberapa lama. Total magma yang dilepaskannya sebesar 40,2 ± 3 km3 DRE (Dense Rock Equivalentatau kesetaraan volume batuan yang dierupsikan).
Dengan volume tersebut itulah diperkirakan letusannya bermagnitudo 7. Perbandingan geokimia pecahan gelas yang ditemukan di inti es dengan material hasil letusan tahun 1257 menunjukkan kemiripan, sehingga menjadi rujukan yang memperkuat hubungan letusan tahun 1257. Dengan demikian, letusan ini menjadi salah satu letusan terbesar selama holosen hingga menyebabkan anomali iklim pada 1258, utamanya di belahan utara bumi.
Menurut perhitungan tim Lavigne, Gunung Samalas -lah yang menjadi kandidat terkuat dari ‘erupsi misterius’ tersebut. Hal ini dikarenakan ada catatan erupsinya dalam historiografi tradisionalBabad Lombok. Di bait ke-274 dan ke-275 dari Babad Lombok ini adalah gambaran paling jelas tentang letusan Gunung Samalas pada 1257.
Gunung Rinjani longsor, dan Gunung Samalas runtuh, banjir batu gemuruh, menghancurkan Desa Pamatan, rumah-rumah rubuh dan hanyut terbawa lumpur, terapung-apung di lautan, penduduknya banyak yang mati.
Tujuh hari lamanya, gempa dahsyat meruyak bumi, terdampar di Leneng, diseret oleh batu gunung yang hanyut, manusia berlari semua, sebahagian lagi naik ke bukit.
Babad tersebut juga telah dikonfirmasi pula oleh dua sumber kronik sezaman dari Perancis dan Inggris. Dari kronik-kronik Eropa diketahui terjadinya anomali cuaca di Eropa bagian utara dan barat. Anomali itu berupa suhu kala musim panas dan menghangatkan cuaca di musim dingin sekitar tahun 1257 – 1258.
“Menghangatnya musim dingin di wilayah kontinen belahan utara jadi dikenali sebagai respon dinamis atmosfer tersebab lontaran sulfur pekat di daerah tropis, itu bukti atas perkiraan letusan pada 1257. Persebaran deposit tephra (lontaran material vulkanik saat erupsi) Gunung Samalas yang mengarah ke barat kompatibel dengan waktu berhembusnya angin timur yang biasa dimanfaatkan untuk pelayaran dagang yang terjadi selama musim kemarau. Data ini memberi perkiraan bahwa erupsi terjadi antara Mei hingga Oktober 1257,” tulis Tim Lavigne di bagian akhir makalahnya.
Sayangnya pada saat itu, data-data, dokumentasi, atau penelitian sejarah dan arkeologi di lingkungan kompleks Gunung Samalas atau Rinjadi sangat minim. Maka dari itu, temuan ini membuka kembali ide-ide penelitian tentang karakteristik letusan besar di kawasan tersebut.
Sehingga paling tidak dalam 1.000 tahun ke belakang harus diteliti lebih lanjut pola migrasi kerajaan, kebudayaan, dan populasi penduduk di kawasan tersebut di masa lalu.
Dalam kasus Gunung Samalas , kita bisa melihat bagaimana letusan yang terjadi mengakibatkan bencana hingga ke benua Eropa. Tidak hanya Eropa, belahan bumi lain juga mungkin mengalami hal serupa. Namun belum ada penelitian yang membuktikannya
Pada abad ke-13, Eropa Barat mengalami apa yang disebut sebagai tahun “tahun yang gelap” atau “tahun yang berkabut”.
Mengutip dari berbagai makalah Source of the great A.D, para ilmuwan menduga bahwa periode gelap tersebut ada kaitannya dengan letusan gunung api yang menghasilkan aerosol sulfat, yang dapat menyebabkan perubahan iklim, kerusakan ozon, dan mengganggu keseimbangan radiasi atmosfer.
Tidak ada yang tahu sumber letusan dari mana hingga pada 2013, ahli gunung berapi dari Prancis Franck Lavigne dan tim akhirnya mengungkap bahwa letusan berasal dari Gunung Samalas yang ada di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Mereka tahu itu setelah mencocokkan sisa kandungan geokimia material vulkanis yang ditemukan dengan kandungan yang ada di Lombok.
Ia dengan yang lain menerbitkan makalah berjudul “Source of the great A.D. 1257 mystery eruption unveiled, Samalas volcano, Rinjani Volcanic Complex, Indonesia” dalam Proceedings of the National Academy of Sciences (no. 42, vol. 110, 2013).
Selain itu, tim Lavigne pada kala itu juga melibatkan geolog-geolog Indonesia, yaitu Indyo Pratomo (Geolog Museum Geologi), Danang Sri Hadmoko (Faklutas Geografi, Universitas Gadjah Mada), dan Surono (mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi).
Salah satu temuan mereka adalah ‘erupsi misterius’ yang berdasarkan penanggalanradiocarbonterjadi antara kurun 1257-1259. Timnya memperkirakan erupsi misterius itu lebih kolosal daripada erupsi Krakatau 1881 dan Tambora 1815.
Letusan tersebut melepaskan 40 kilometer kubik abu ke angkasa hingga setinggi 43 kilometer, yang terus mengelilingi bumi beberapa lama. Total magma yang dilepaskannya sebesar 40,2 ± 3 km3 DRE (Dense Rock Equivalentatau kesetaraan volume batuan yang dierupsikan).
Dengan volume tersebut itulah diperkirakan letusannya bermagnitudo 7. Perbandingan geokimia pecahan gelas yang ditemukan di inti es dengan material hasil letusan tahun 1257 menunjukkan kemiripan, sehingga menjadi rujukan yang memperkuat hubungan letusan tahun 1257. Dengan demikian, letusan ini menjadi salah satu letusan terbesar selama holosen hingga menyebabkan anomali iklim pada 1258, utamanya di belahan utara bumi.
Menurut perhitungan tim Lavigne, Gunung Samalas -lah yang menjadi kandidat terkuat dari ‘erupsi misterius’ tersebut. Hal ini dikarenakan ada catatan erupsinya dalam historiografi tradisionalBabad Lombok. Di bait ke-274 dan ke-275 dari Babad Lombok ini adalah gambaran paling jelas tentang letusan Gunung Samalas pada 1257.
Gunung Rinjani longsor, dan Gunung Samalas runtuh, banjir batu gemuruh, menghancurkan Desa Pamatan, rumah-rumah rubuh dan hanyut terbawa lumpur, terapung-apung di lautan, penduduknya banyak yang mati.
Tujuh hari lamanya, gempa dahsyat meruyak bumi, terdampar di Leneng, diseret oleh batu gunung yang hanyut, manusia berlari semua, sebahagian lagi naik ke bukit.
Babad tersebut juga telah dikonfirmasi pula oleh dua sumber kronik sezaman dari Perancis dan Inggris. Dari kronik-kronik Eropa diketahui terjadinya anomali cuaca di Eropa bagian utara dan barat. Anomali itu berupa suhu kala musim panas dan menghangatkan cuaca di musim dingin sekitar tahun 1257 – 1258.
“Menghangatnya musim dingin di wilayah kontinen belahan utara jadi dikenali sebagai respon dinamis atmosfer tersebab lontaran sulfur pekat di daerah tropis, itu bukti atas perkiraan letusan pada 1257. Persebaran deposit tephra (lontaran material vulkanik saat erupsi) Gunung Samalas yang mengarah ke barat kompatibel dengan waktu berhembusnya angin timur yang biasa dimanfaatkan untuk pelayaran dagang yang terjadi selama musim kemarau. Data ini memberi perkiraan bahwa erupsi terjadi antara Mei hingga Oktober 1257,” tulis Tim Lavigne di bagian akhir makalahnya.
Sayangnya pada saat itu, data-data, dokumentasi, atau penelitian sejarah dan arkeologi di lingkungan kompleks Gunung Samalas atau Rinjadi sangat minim. Maka dari itu, temuan ini membuka kembali ide-ide penelitian tentang karakteristik letusan besar di kawasan tersebut.
Sehingga paling tidak dalam 1.000 tahun ke belakang harus diteliti lebih lanjut pola migrasi kerajaan, kebudayaan, dan populasi penduduk di kawasan tersebut di masa lalu.
Dalam kasus Gunung Samalas , kita bisa melihat bagaimana letusan yang terjadi mengakibatkan bencana hingga ke benua Eropa. Tidak hanya Eropa, belahan bumi lain juga mungkin mengalami hal serupa. Namun belum ada penelitian yang membuktikannya
(wbs)