Temuan Sensor Baru yang Mampu Deteksi Kanker Lebih Cepat
loading...
A
A
A
NEW YORK - Biasanya, orang yang memiliki risiko tinggi terkena kanker adalah perokok berat dan secara rutin mereka diskrining menggunakan Computed Tomography atau yang lebih dikenal dengan CT Scan. Namun, tes ini memiliki tingkat kesalahan yang cukup tinggi karena mengambil nodul jinak di paru-paru.
Para peneliti di Institut Teknologi Massachusetts (MIT) telah mengembangkan metode baru untuk diagnosis dini kanker paru-paru. Tes urin dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan penyakit yang terkait dengan kanker paru-paru.
Para peneliti menggunakan jenis tes non-invasif yang dapat mengurangi tingkat kesalahan data. Tes ini juga membantu mendeteksi lebih banyak tumor pada tahap awal penyakit.
Deteksi dini sangat penting dilakukan karena terkait erat dengan tingkat kelangsungan hidup pasien. Setidaknya, dengan deteksi lebih dini, pasien dapat menjaga pola hidup sehat sebelum penyakit penyebar ke lokasi yang lebih jauh di dalam tubuh.
"Jika Anda melihat diagnosa dan terapi kanker, ada anggapan baru tentang pentingnya deteksi dan pencegahan kanker sejak dini. Kami benar-benar membutuhkan teknologi baru yang akan memberi kami kemampuan untuk melihat kanker sehingga dapat mencegah dan melakukan penanganan sejak dini," Kata seorang insinyur biologi Amerika Serikat (AS), Sangeeta Bhatia, dikutip dari kanal MIT.
Bhatia dan rekan-rekannya menemukan metode baru untuk mendeteksi kanker paru-paru yang didasari pada partikel nano. Mereka melakukan uji coba pada tikus dengan disuntikkan atau dihirup, partikel nano dapat mendeteksi tumor sekecil 1,8 milimeter kubik pada tikus.
Bhatia merupakan peneliti senior dalam penelitian ini yang muncul di Science Translational. Mengembangkan hal baru merupakan hobby yang sekaligus pekerjaannya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.
Selama beberapa tahun, laboratorium Bhatia telah mengembangkan partikel nano yang dapat mendeteksi kanker dengan berinteraksi pada enzim yang disebut protease. Enzim ini membantu sel-sel tumor untuk keluar dari lokasi aslinya dengan memotong protein dari matriks ekstraseluler.
Untuk menemukan protein tersebut, Bhatia menciptakan partikel nano yang dilapisi dengan peptida (fragmen protein pendek) yang ditargetkan oleh protease terkait kanker. Partikel akan berkumpul di pusat tumor, di mana peptida dibelah dan melepaskan biomarker yang kemudian dapat dideteksi dalam sampel urin.
Sebelumnya, laboratorium Bhatia telah mengembangkan sensor untuk kanker usus besar dan ovarium. Dalam penelitian terbaru, para peneliti juga ingin menerapkan teknologi tersebut untuk kanker paru-paru yang membunuh sekitar 150.000 orang di AS setiap tahun.
Orang yang menerima skrining CT scan dan mendapatkan hasil positif sering menjalani biopsi atau tes invasif lainnya untuk mencari kanker paru-paru. Dalam beberapa kasus, prosedur ini justru dapat menyebabkan komplikasi. "Sehingga tes tindak lanjut non-invasif dapat berguna untuk menentukan pasien mana yang benar-benar membutuhkan biopsi," tambah Bhatia.
"CT scan adalah teknologi bagus yang dapat melihat banyak hal, namun masalahnya adalah 95 persen alat itu tidak menemukan kanker dan saat ini Anda harus melakukan biopsi pada banyak pasien yang di tes positif," katanya.
Untuk menyesuaikan sensor mereka ke kanker paru-paru, para peneliti menganalisis database gen terkait kanker yang disebut Cancer Genome Atlas dan mengidentifikasi protease yang banyak terdapat pada kanker paru-paru. Mereka menciptakan 14 panel partikel nano berlapis peptida yang dapat berinteraksi dengan enzim ini.
Para peneliti kemudian menguji sensor dalam dua model kanker tikus yang berbeda. Keduanya direkayasa dengan mutasi genetik yang mengarahkan mereka secara alami mengembangkan tumor paru-paru. Untuk membantu mencegah kesalahan yang bisa berasal dari organ lain atau aliran darah, para peneliti menyuntikkan partikel langsung ke saluran napas.
Dengan menggunakan sensor buatannya, para peneliti melakukan tes diagnostik pada tiga titik waktu yakni 5 minggu, 7,5 minggu, dan 10,5 minggu setelah pertumbuhan tumor dimulai. Untuk membuat diagnosis lebih akurat, mereka menggunakan pembelajaran mesin untuk melatih suatu algoritma dan membedakan antara data dari tikus yang memiliki tumor dan tikus yang tidak.
Dengan metode ini, para peneliti menemukan bahwa mereka dapat secara akurat mendeteksi tumor pada salah satu tikus dalam 7,5 minggu ketika tumor hanya 2,8 milimeter kubik. Sedangkan pada tikus lain, tumor dapat dideteksi dalam 5 minggu. Artinya, tingkat keberhasilan sensor juga sebanding atau lebih baik daripada tingkat keberhasilan CT scan yang dilakukan pada titik waktu yang sama.
Para peneliti juga menemukan bahwa sensor memiliki kemampuan penting lainnya. Mereka dapat membedakan antara kanker tahap awal dan peradangan paru-paru yang tidak bersifat kanker.
Bhatia membayangkan bahwa sensor partikel nano dapat digunakan sebagai diagnostik non-invasif bagi orang-orang yang mendapatkan hasil positif pada tes skrining. Ini berpotensi menghilangkan kebutuhan untuk melakukan biopsi.
Para peneliti di Institut Teknologi Massachusetts (MIT) telah mengembangkan metode baru untuk diagnosis dini kanker paru-paru. Tes urin dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan penyakit yang terkait dengan kanker paru-paru.
Para peneliti menggunakan jenis tes non-invasif yang dapat mengurangi tingkat kesalahan data. Tes ini juga membantu mendeteksi lebih banyak tumor pada tahap awal penyakit.
Deteksi dini sangat penting dilakukan karena terkait erat dengan tingkat kelangsungan hidup pasien. Setidaknya, dengan deteksi lebih dini, pasien dapat menjaga pola hidup sehat sebelum penyakit penyebar ke lokasi yang lebih jauh di dalam tubuh.
"Jika Anda melihat diagnosa dan terapi kanker, ada anggapan baru tentang pentingnya deteksi dan pencegahan kanker sejak dini. Kami benar-benar membutuhkan teknologi baru yang akan memberi kami kemampuan untuk melihat kanker sehingga dapat mencegah dan melakukan penanganan sejak dini," Kata seorang insinyur biologi Amerika Serikat (AS), Sangeeta Bhatia, dikutip dari kanal MIT.
Bhatia dan rekan-rekannya menemukan metode baru untuk mendeteksi kanker paru-paru yang didasari pada partikel nano. Mereka melakukan uji coba pada tikus dengan disuntikkan atau dihirup, partikel nano dapat mendeteksi tumor sekecil 1,8 milimeter kubik pada tikus.
Bhatia merupakan peneliti senior dalam penelitian ini yang muncul di Science Translational. Mengembangkan hal baru merupakan hobby yang sekaligus pekerjaannya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.
Selama beberapa tahun, laboratorium Bhatia telah mengembangkan partikel nano yang dapat mendeteksi kanker dengan berinteraksi pada enzim yang disebut protease. Enzim ini membantu sel-sel tumor untuk keluar dari lokasi aslinya dengan memotong protein dari matriks ekstraseluler.
Untuk menemukan protein tersebut, Bhatia menciptakan partikel nano yang dilapisi dengan peptida (fragmen protein pendek) yang ditargetkan oleh protease terkait kanker. Partikel akan berkumpul di pusat tumor, di mana peptida dibelah dan melepaskan biomarker yang kemudian dapat dideteksi dalam sampel urin.
Sebelumnya, laboratorium Bhatia telah mengembangkan sensor untuk kanker usus besar dan ovarium. Dalam penelitian terbaru, para peneliti juga ingin menerapkan teknologi tersebut untuk kanker paru-paru yang membunuh sekitar 150.000 orang di AS setiap tahun.
Orang yang menerima skrining CT scan dan mendapatkan hasil positif sering menjalani biopsi atau tes invasif lainnya untuk mencari kanker paru-paru. Dalam beberapa kasus, prosedur ini justru dapat menyebabkan komplikasi. "Sehingga tes tindak lanjut non-invasif dapat berguna untuk menentukan pasien mana yang benar-benar membutuhkan biopsi," tambah Bhatia.
"CT scan adalah teknologi bagus yang dapat melihat banyak hal, namun masalahnya adalah 95 persen alat itu tidak menemukan kanker dan saat ini Anda harus melakukan biopsi pada banyak pasien yang di tes positif," katanya.
Untuk menyesuaikan sensor mereka ke kanker paru-paru, para peneliti menganalisis database gen terkait kanker yang disebut Cancer Genome Atlas dan mengidentifikasi protease yang banyak terdapat pada kanker paru-paru. Mereka menciptakan 14 panel partikel nano berlapis peptida yang dapat berinteraksi dengan enzim ini.
Para peneliti kemudian menguji sensor dalam dua model kanker tikus yang berbeda. Keduanya direkayasa dengan mutasi genetik yang mengarahkan mereka secara alami mengembangkan tumor paru-paru. Untuk membantu mencegah kesalahan yang bisa berasal dari organ lain atau aliran darah, para peneliti menyuntikkan partikel langsung ke saluran napas.
Dengan menggunakan sensor buatannya, para peneliti melakukan tes diagnostik pada tiga titik waktu yakni 5 minggu, 7,5 minggu, dan 10,5 minggu setelah pertumbuhan tumor dimulai. Untuk membuat diagnosis lebih akurat, mereka menggunakan pembelajaran mesin untuk melatih suatu algoritma dan membedakan antara data dari tikus yang memiliki tumor dan tikus yang tidak.
Dengan metode ini, para peneliti menemukan bahwa mereka dapat secara akurat mendeteksi tumor pada salah satu tikus dalam 7,5 minggu ketika tumor hanya 2,8 milimeter kubik. Sedangkan pada tikus lain, tumor dapat dideteksi dalam 5 minggu. Artinya, tingkat keberhasilan sensor juga sebanding atau lebih baik daripada tingkat keberhasilan CT scan yang dilakukan pada titik waktu yang sama.
Para peneliti juga menemukan bahwa sensor memiliki kemampuan penting lainnya. Mereka dapat membedakan antara kanker tahap awal dan peradangan paru-paru yang tidak bersifat kanker.
Bhatia membayangkan bahwa sensor partikel nano dapat digunakan sebagai diagnostik non-invasif bagi orang-orang yang mendapatkan hasil positif pada tes skrining. Ini berpotensi menghilangkan kebutuhan untuk melakukan biopsi.
(wbs)