Ilmuwan China Buat Saklar Otak agar Manusia Mampu Menjelajah Angkasa Luas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sekelompok ilmuwan dari Shenzhen Institute of Advanced Technology (SIAT) melakukan percobaan yang luar biasa guna membantu manusia menjelajah luar angkasa dengan lebih jauh. Mereka berinovasi membuat sebuah saklar otak yang bisa diaktifkan agar manusia bisa hibernasi selama petualangan luar angkasa dilakukan.
Petualangan luar angkasa, disebutkan Science Alert, memang butuh waktu yang sangat panjang. Luar angkasa sangat besar sedangkan teknologi yang dimiliki manusia sangat terbatas. Hal itu membuat manusia butuh waktu yang sangat lama untuk sampai ke ujung luar angkasa.
Contohnya pesawat luar angkasa Voyager 1 butuh waktu 73.000 tahun untuk mencapai Proxima Centauri atau bintang terdekat dengan matahari. Voyager 1 diketahui diterbangkan ke luar angkasa pada 40 tahun lalu.
Hingga kini Voyager 1 merupakan satu-satunya pesawat luar angkasa buatan manusia yang terjauh dalam menjelajah luar angkasa. Diperkirakan Voyager 1 sudah melewati Pluto.
Jadi memang untuk menjelajah luar angkasa butuh perjuangan yang sangat besar buat manusia. Salah satunya kemampuan manusia dalam bertahan hidup ketika menjalani petualangan tersebut. Hal itulah yang membuat para ilmuwan di SIAT tertarik untuk mencari solusi agar penjelajahan luar angkasa bisa dilakukan sejauh mungkin.
Salah satu caranya adalah dengan hibernasi. Proses hibernasi, yang juga dikenal sebagai mati suri, adalah keadaan fisiologis yang memungkinkan hewan bertahan dari kondisi buruk. Misalnya cuaca dingin yang ekstrem dan oksigen yang rendah.
Selama hibernasi, temperatur di badan akan sangat rendah. Begitu juga dengan metabolisme tubuh yang berjalan pelan. Hal itu membuat tubuh berada dalam mode pemeliharaan. Minimal untuk tetap hidup sambil mencegah terjadinya atrofi.
Hibernasi hanya bisa ditemukan di beberapa hewan-hewan berdarah panas dan sebagian mamalia. Namun tidak ada pada primata. Apalagi pada manusia.
Proses itulah yang coba diterapkan ilmuwan di SIAT kepada manusia saat ingin menjelajah luar angkasa. Hanya saja manusia sangat berbeda dengan hewan yang mampu hibernasi.
Mereka kemudian mencoba memasang sebuah saklar di bagian preoptik hipotalamus yang bisa mengaktifkan kondisi hibernasi. Saat ini metode itu mereka sudah coba kepada tiga ekor monyet penelitian.
"Di sini, kami menunjukkan bahwa mengaktifkan subpopulasi neuron area preoptik (POA) dengan strategi chemogenetic secara andal menginduksi hipotermia pada kera yang dibius. Dalam keadaan itu mereka masih bisa bergerak bebas," tulis para peneliti dalam makalah mereka.
Dalam keadaan dibius dan tidak dibius, para peneliti menerapkan obat yang dirancang untuk mengaktifkan reseptor spesifik yang dimodifikasi di otak. Obat tersebut dinamakan Designer Receptors Exclusively Activated by Designer Drugs atau DREADDs.
Obat itu kemudian mengaktifkan kondisi hibernasi pada ketiga kera baik dalam kondisi terbius maupun terjaga. Pada monyet yang dibius, hipotermia yang diinduksi mengakibatkan penurunan suhu inti tubuh dan mencegah pemanasan eksternal. Para peneliti mengatakan bahwa itu menunjukkan peran penting neuron preoptik area dalam termoregulasi primata.
Para peneliti mencatat perubahan perilaku pada monyet yang terjaga dan membandingkannya dengan tikus yang dinduksi hipotermia. Biasanya, tikus mengurangi aktivitas, dan detak jantungnya menurun dalam upaya menghemat panas.
Monyet, sebaliknya, menunjukkan detak jantung dan tingkat aktivitas yang meningkat dan, sebagai tambahan, mulai menggigil. Ini menunjukkan bahwa termoregulasi pada primata lebih kompleks daripada pada tikus.
Para ilmuwan kemudian mempelajari hasilnya menggunakan pencitraan resonansi magnetik fungsional, perubahan perilaku, serta perubahan fisiologis dan biokimia. Hasilnya upaya itu bisa memberikan efek hipotermia pada primata berdasarka manipulasi saraf.
"Dengan meningkatnya upaya untuk penerbangan luar angkasa yang lebih jauh lagi, model monyet hipotermia ini merupakan tonggak sejarah dalam perjalanan panjang menuju hibernasi buatan," ujar Wang Hong dari SIAT.
Petualangan luar angkasa, disebutkan Science Alert, memang butuh waktu yang sangat panjang. Luar angkasa sangat besar sedangkan teknologi yang dimiliki manusia sangat terbatas. Hal itu membuat manusia butuh waktu yang sangat lama untuk sampai ke ujung luar angkasa.
Contohnya pesawat luar angkasa Voyager 1 butuh waktu 73.000 tahun untuk mencapai Proxima Centauri atau bintang terdekat dengan matahari. Voyager 1 diketahui diterbangkan ke luar angkasa pada 40 tahun lalu.
Hingga kini Voyager 1 merupakan satu-satunya pesawat luar angkasa buatan manusia yang terjauh dalam menjelajah luar angkasa. Diperkirakan Voyager 1 sudah melewati Pluto.
Jadi memang untuk menjelajah luar angkasa butuh perjuangan yang sangat besar buat manusia. Salah satunya kemampuan manusia dalam bertahan hidup ketika menjalani petualangan tersebut. Hal itulah yang membuat para ilmuwan di SIAT tertarik untuk mencari solusi agar penjelajahan luar angkasa bisa dilakukan sejauh mungkin.
Salah satu caranya adalah dengan hibernasi. Proses hibernasi, yang juga dikenal sebagai mati suri, adalah keadaan fisiologis yang memungkinkan hewan bertahan dari kondisi buruk. Misalnya cuaca dingin yang ekstrem dan oksigen yang rendah.
Selama hibernasi, temperatur di badan akan sangat rendah. Begitu juga dengan metabolisme tubuh yang berjalan pelan. Hal itu membuat tubuh berada dalam mode pemeliharaan. Minimal untuk tetap hidup sambil mencegah terjadinya atrofi.
Hibernasi hanya bisa ditemukan di beberapa hewan-hewan berdarah panas dan sebagian mamalia. Namun tidak ada pada primata. Apalagi pada manusia.
Proses itulah yang coba diterapkan ilmuwan di SIAT kepada manusia saat ingin menjelajah luar angkasa. Hanya saja manusia sangat berbeda dengan hewan yang mampu hibernasi.
Mereka kemudian mencoba memasang sebuah saklar di bagian preoptik hipotalamus yang bisa mengaktifkan kondisi hibernasi. Saat ini metode itu mereka sudah coba kepada tiga ekor monyet penelitian.
"Di sini, kami menunjukkan bahwa mengaktifkan subpopulasi neuron area preoptik (POA) dengan strategi chemogenetic secara andal menginduksi hipotermia pada kera yang dibius. Dalam keadaan itu mereka masih bisa bergerak bebas," tulis para peneliti dalam makalah mereka.
Dalam keadaan dibius dan tidak dibius, para peneliti menerapkan obat yang dirancang untuk mengaktifkan reseptor spesifik yang dimodifikasi di otak. Obat tersebut dinamakan Designer Receptors Exclusively Activated by Designer Drugs atau DREADDs.
Obat itu kemudian mengaktifkan kondisi hibernasi pada ketiga kera baik dalam kondisi terbius maupun terjaga. Pada monyet yang dibius, hipotermia yang diinduksi mengakibatkan penurunan suhu inti tubuh dan mencegah pemanasan eksternal. Para peneliti mengatakan bahwa itu menunjukkan peran penting neuron preoptik area dalam termoregulasi primata.
Para peneliti mencatat perubahan perilaku pada monyet yang terjaga dan membandingkannya dengan tikus yang dinduksi hipotermia. Biasanya, tikus mengurangi aktivitas, dan detak jantungnya menurun dalam upaya menghemat panas.
Monyet, sebaliknya, menunjukkan detak jantung dan tingkat aktivitas yang meningkat dan, sebagai tambahan, mulai menggigil. Ini menunjukkan bahwa termoregulasi pada primata lebih kompleks daripada pada tikus.
Para ilmuwan kemudian mempelajari hasilnya menggunakan pencitraan resonansi magnetik fungsional, perubahan perilaku, serta perubahan fisiologis dan biokimia. Hasilnya upaya itu bisa memberikan efek hipotermia pada primata berdasarka manipulasi saraf.
"Dengan meningkatnya upaya untuk penerbangan luar angkasa yang lebih jauh lagi, model monyet hipotermia ini merupakan tonggak sejarah dalam perjalanan panjang menuju hibernasi buatan," ujar Wang Hong dari SIAT.
(wsb)