Peneliti Bencana Sarankan Negara Rawan Tsunami Bangun Seawalls
A
A
A
TOKYO - Indonesia harus belajar dari Jepang, pasalnya gempa bumi besar Jepang Timur yang melanda sekitar 40 mil di lepas pantai timur laut negara itu pada 11 Maret 2011 dengan kekuatan 9,0. Ini menghasilkan gelombang tsunami setinggi lebih dari 30 meter yang merenggut hampir 16.000 jiwa dan menghancurkan 122.000 bangunan.
Seperti dilansir dari Japan Today, Rabu (26/12/2018) Sejak itu, para peneliti telah mencari cara untuk mengomunikasikan pentingnya evakuasi, peringatan tsunami, dan kesiapsiagaan dengan lebih baik dan membangun Seawalls (tembok di pesisir pantai).
"Seawalls telah menjadi penanggulangan tsunami utama di Jepang," kata Giancarlos Troncoso Parady dari Universitas Tokyo kepada Reuters.
"Namun, perlunya tembok laut mungkin menunda gelombang ke kota dan pantai dan idealnya bisa menyediakan waktu berharga bagi penduduk untuk mengungsi, dabn jika telat tembok itu bisa menghadang hantaman gelombang tsunami"
Troncoso Parady dan rekannya menganalisis data dari survei terhadap 6.600 penduduk dari 23 kota yang paling parah terkena dampak di Prefektur Iwate dan Miyagi.
Prakiraan ketinggian tsunami dikeluarkan 3, 28, 44, dan 90 menit setelah gempa bumi, dengan perkiraan sebelumnya meremehkan ketinggian gelombang, tim peneliti menulis dalam jurnal Injury Prevention.
Gelombang tsunami pertama menghantam Bandara Sendai di Prefektur Miyagi lebih dari satu jam setelah gempa.
Tim peneliti menemukan bahwa di mana pun peserta survei di mana ketika gempa terjadi, rata-rata, 68 persen dievakuasi segera. Di antara mereka yang tinggal dalam jarak satu kilometer dari pantai, 78 persen dievakuasi segera.
Namun, jika pemerintah kota memiliki dinding laut lebih tinggi dari perkiraan ketinggian gelombang terbaru, kemungkinan evakuasi cepat turun hingga 30 persen,.
Para kritikus telah memperdebatkan rekonstruksi tembok laut, yang seringkali membuat dinding lebih besar dari yang sebelumnya tanpa penilaian dampak lingkungan. Dinding laut juga dikaitkan dengan gangguan lingkungan ekosistem pesisir dan perusakan pemandangan, kata Troncoso Parady.
" Tentu saja, ini adalah masalah yang sangat rumit secara politis, tapi saya percaya ada diskusi yang bisa dilakukan tentang seberapa tinggi untuk tembok laut," katanya.
“Membangun seawall yang lebih bukanlah solusi yang paling memadai. Kita harus memikirkan masalah ini dari perspektif yang lebih holistik. ”
“Lebih banyak pekerjaan diperlukan dalam pendidikan kesiapsiagaan bencana dan cara peringatan tsunami diberikan, dengan mempertimbangkan risiko kesalahan perkiraan,” timnya menyimpulkan.
Seperti dilansir dari Japan Today, Rabu (26/12/2018) Sejak itu, para peneliti telah mencari cara untuk mengomunikasikan pentingnya evakuasi, peringatan tsunami, dan kesiapsiagaan dengan lebih baik dan membangun Seawalls (tembok di pesisir pantai).
"Seawalls telah menjadi penanggulangan tsunami utama di Jepang," kata Giancarlos Troncoso Parady dari Universitas Tokyo kepada Reuters.
"Namun, perlunya tembok laut mungkin menunda gelombang ke kota dan pantai dan idealnya bisa menyediakan waktu berharga bagi penduduk untuk mengungsi, dabn jika telat tembok itu bisa menghadang hantaman gelombang tsunami"
Troncoso Parady dan rekannya menganalisis data dari survei terhadap 6.600 penduduk dari 23 kota yang paling parah terkena dampak di Prefektur Iwate dan Miyagi.
Prakiraan ketinggian tsunami dikeluarkan 3, 28, 44, dan 90 menit setelah gempa bumi, dengan perkiraan sebelumnya meremehkan ketinggian gelombang, tim peneliti menulis dalam jurnal Injury Prevention.
Gelombang tsunami pertama menghantam Bandara Sendai di Prefektur Miyagi lebih dari satu jam setelah gempa.
Tim peneliti menemukan bahwa di mana pun peserta survei di mana ketika gempa terjadi, rata-rata, 68 persen dievakuasi segera. Di antara mereka yang tinggal dalam jarak satu kilometer dari pantai, 78 persen dievakuasi segera.
Namun, jika pemerintah kota memiliki dinding laut lebih tinggi dari perkiraan ketinggian gelombang terbaru, kemungkinan evakuasi cepat turun hingga 30 persen,.
Para kritikus telah memperdebatkan rekonstruksi tembok laut, yang seringkali membuat dinding lebih besar dari yang sebelumnya tanpa penilaian dampak lingkungan. Dinding laut juga dikaitkan dengan gangguan lingkungan ekosistem pesisir dan perusakan pemandangan, kata Troncoso Parady.
" Tentu saja, ini adalah masalah yang sangat rumit secara politis, tapi saya percaya ada diskusi yang bisa dilakukan tentang seberapa tinggi untuk tembok laut," katanya.
“Membangun seawall yang lebih bukanlah solusi yang paling memadai. Kita harus memikirkan masalah ini dari perspektif yang lebih holistik. ”
“Lebih banyak pekerjaan diperlukan dalam pendidikan kesiapsiagaan bencana dan cara peringatan tsunami diberikan, dengan mempertimbangkan risiko kesalahan perkiraan,” timnya menyimpulkan.
(wbs)