Biaya Perawatan Mahal, Harga Buoy Rp5 Miliar Sekali Pasang
A
A
A
JAKARTA - Bencana tsunami pada Sabtu (22/12/2018) yang melanda di wilayah Selat Sunda merupakan satu fenomena baru, lantaran tsunami tersebut dipicu oleh aktivitas vulkanis Gunung Anak Krakatau, bukan gempa bumi.
Oleh karenananya Deputi Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Hammam Riza mengatakan sudah seharusnya menggunakan alat yang lebih cocok untuk mendeteksi gelombang atau permukaan laut yaitu Buoy.
"Karena kalau berdasarkan kondisi saat ini kita hanya menggunakan tide gauge istilahnya indikator untuk mengukur pasar surut air laut, ya tidak bisa membaca adanya tsunami," jelasnya kepada SINDOnews melalui sambungan telepon, Rabu (26/12/2018).
Hammam mengisahkan pada tahun 2006 dan 2008 mereka pernah memasang alat yang mengapung dipermukaan laut tersebut di Selat Sunda, namun keduanya raib dan rusak, sehingga saat ini sudah tidak ada lagi alat tersebut di Selat Sunda.
"Kita harus membangun kembali Buoy untuk tsunami warning system, karena kita saat ini sudah tidak memiliki lagi Buoy itu," tuturnya.
Ia menjelaskan bahwa alat ini efektif mendeteksi apapun sumbernya. "Baik tektonik maupun non tektonik ya seperti erupsi gunung berapi itu bisa menambah akurasi kita mengukur adanya tsunami atau tidak," tambahnya.
Rupanya selain banyak perilaku vandalisme, salah satu yang menjadi hilangnya alat ini sejak tahun 2012 karena faktor biaya perawatan yang cukup mahal. Meski tak menyebutkan nominal pasti berapa biaya perawatannya,
Hammam menyebutkan untuk pengadaan satu Buoy setidaknya diperlukan biaya Rp 5 miliar. Biaya tersebut hanya untuk satu kali pengadaan alat saja, belum termasuk biaya peralatan dan perawatan yang meliputi banyak aspek, salah satunya langganan satelit.
" Kita harus juga langganan satelit kan untuk menangkap sinyal dari Buoy yang mengambang di laut, belum lagi termasuk biaya kapal untuk perawatan dan lain lain," pungkasnya.
Oleh karenananya Deputi Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Hammam Riza mengatakan sudah seharusnya menggunakan alat yang lebih cocok untuk mendeteksi gelombang atau permukaan laut yaitu Buoy.
"Karena kalau berdasarkan kondisi saat ini kita hanya menggunakan tide gauge istilahnya indikator untuk mengukur pasar surut air laut, ya tidak bisa membaca adanya tsunami," jelasnya kepada SINDOnews melalui sambungan telepon, Rabu (26/12/2018).
Hammam mengisahkan pada tahun 2006 dan 2008 mereka pernah memasang alat yang mengapung dipermukaan laut tersebut di Selat Sunda, namun keduanya raib dan rusak, sehingga saat ini sudah tidak ada lagi alat tersebut di Selat Sunda.
"Kita harus membangun kembali Buoy untuk tsunami warning system, karena kita saat ini sudah tidak memiliki lagi Buoy itu," tuturnya.
Ia menjelaskan bahwa alat ini efektif mendeteksi apapun sumbernya. "Baik tektonik maupun non tektonik ya seperti erupsi gunung berapi itu bisa menambah akurasi kita mengukur adanya tsunami atau tidak," tambahnya.
Rupanya selain banyak perilaku vandalisme, salah satu yang menjadi hilangnya alat ini sejak tahun 2012 karena faktor biaya perawatan yang cukup mahal. Meski tak menyebutkan nominal pasti berapa biaya perawatannya,
Hammam menyebutkan untuk pengadaan satu Buoy setidaknya diperlukan biaya Rp 5 miliar. Biaya tersebut hanya untuk satu kali pengadaan alat saja, belum termasuk biaya peralatan dan perawatan yang meliputi banyak aspek, salah satunya langganan satelit.
" Kita harus juga langganan satelit kan untuk menangkap sinyal dari Buoy yang mengambang di laut, belum lagi termasuk biaya kapal untuk perawatan dan lain lain," pungkasnya.
(wbs)