Ilmuwan Cari Mekanisme Penginderaan Suhu Tanaman untuk Menaklukan Iklim
A
A
A
JAKARTA - Sebuah protein yang disebut phytochrome B dapat merasakan cahaya dan suhu untuk memicu pertumbuhan tanaman dan mengendalikan waktu berbunga. Namun, cara ini masih belum dipahami sepenuhnya.
Sekelompok ahli biologi sel yang dipimpin oleh Meng Chen, seorang profesor ilmu botani dan tanaman di Universitas California, Riverside, AS, mengungkapkan, molekul phytochrome B memiliki dinamika tak terduga yang diaktifkan oleh suhu. Molekul phytochrome B dapat berperilaku berbeda tergantung pada suhu dan jenis cahaya.
Saat terjadi kenaikan suhu di dunia, pola perkembangan tanaman dan waktu berbunga akan berubah. Pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana phytochrome mengatur ritme musiman tanaman akan membantu para ilmuwan mengembangkan tanaman untuk pertumbuhan optimal di bawah iklim dan bahkan mungkin menjelaskan kanker pada hewan.
Phytochrome beralih antara bentuk aktif dan tidak aktif seperti saklar biner yang dikendalikan oleh cahaya dan suhu. Di bawah sinar matahari langsung, seperti di bidang terbuka, phytochromes menjadi “aktif” menyerap cahaya merah. Bentuk aktif ini justru menghambat pertumbuhan batang sehingga membatasi seberapa tinggi tanaman di bawah sinar matahari langsung dapat tumbuh.
Pada naungan phytochrome yang kurang aktif dalam menyerap cahaya matahari merah, tanaman dapat tumbuh lebih tinggi. Tanaman dapat bersaing dengan tanaman lain yang mendapat lebih banyak sinar matahari meskipun berada di tempat yang teduh.
Di dalam sel, cahaya menyebabkan phytochrome aktif bergabung menjadi unit-unit yang disebut photobody di dalam inti sel. Ketika phytochrome B mati, ia berada di luar inti sel. Bergerak di dalam inti ketika “aktif” dan mengubah ekspresi gen dan pola pertumbuhan.
Kelompoknya Chen meneliti perilaku sel yang terpapar pada suhu dan kondisi cahaya berbeda dari daun dan batang Arabidopsis thaliana, tanaman yang digunakan sebagai model standar dalam ilmu botani. Tujuannya adalah untuk memahami bagaimana perubahan photobody sebagai respons terhadap suhu.
Pemahaman saat ini adalah bahwa phytochrome membentuk photobody hanya dalam keadaan aktif. Chen dan rekan-rekannya memperkirakan peningkatan suhu akan memiliki efek yang mirip dengan naungan yang akan mematikan phytochrome.
Tim menemukan peningkatan suhu tidak menyebabkan semua photobody menghilang sekaligus. Sebaliknya, photobody spesifik menghilang dalam kisaran suhu tertentu.
"Kami menemukan bahwa sebagian photobody termostabil dapat bertahan bahkan dalam suhu hangat. Sisa fokus akan menghilang pada setiap tahap suhu yang lebih rendah. Sebelumnya kita berpikir semua fokus adalah sama, tetapi sekarang kita tahu mereka semua berbeda," kata Chen, dikutip dari Sciencedaily.
Mekanisme yang membuat mereka menghilang secara selektif harus berbeda dari mekanisme yang membuat mereka menghilang di tempat teduh. Ini menunjukkan bahwa masing-masing photobody dapat menjadi sensor dalam kisaran suhu tertentu.
Penelitian juga menunjukkan phytochrome B bereaksi terhadap suhu pada molekul di dua lokasi berbeda. Bagian pertama adalah merasakan suhu dan bagian kedua membentuk fokus. Fokus yang dibentuk oleh lokasi kedua ini tidak sensitif terhadap suhu. Ini menunjukkan cahaya dan suhu dirasakan oleh bagian molekul yang sama tetapi menghasilkan perilaku yang berbeda.
"Photobody adalah kompleks protein yang besar dan dinamis. Hasil kami menunjukkan bahwa masing-masing dari mereka dapat memiliki komposisi yang berbeda," tambah Chen.
Ia berpikir bahwa komposisi unik dari masing-masing photobody membuat mereka bereaksi terhadap suhu secara berbeda. Studi di masa depan, pemahaman fitur unik dari masing-masing photobody kemungkinan akan mengungkap mekanisme yang mendasari penginderaan suhu dan regulasi ekspresi gen yang responsif pada tanaman.
Selain membantu mengembangkan tanaman di dunia yang semakin panas, pekerjaan ini dapat membantu para ilmuwan mempelajari lebih lanjut tentang kanker pada hewan. Protein dalam sel hewan juga membentuk fokus yang terkait dengan beberapa cara untuk kanker, tetapi peran mereka dalam ekspresi dan regulasi gen belum diketahui sejauh ini.
Sekelompok ahli biologi sel yang dipimpin oleh Meng Chen, seorang profesor ilmu botani dan tanaman di Universitas California, Riverside, AS, mengungkapkan, molekul phytochrome B memiliki dinamika tak terduga yang diaktifkan oleh suhu. Molekul phytochrome B dapat berperilaku berbeda tergantung pada suhu dan jenis cahaya.
Saat terjadi kenaikan suhu di dunia, pola perkembangan tanaman dan waktu berbunga akan berubah. Pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana phytochrome mengatur ritme musiman tanaman akan membantu para ilmuwan mengembangkan tanaman untuk pertumbuhan optimal di bawah iklim dan bahkan mungkin menjelaskan kanker pada hewan.
Phytochrome beralih antara bentuk aktif dan tidak aktif seperti saklar biner yang dikendalikan oleh cahaya dan suhu. Di bawah sinar matahari langsung, seperti di bidang terbuka, phytochromes menjadi “aktif” menyerap cahaya merah. Bentuk aktif ini justru menghambat pertumbuhan batang sehingga membatasi seberapa tinggi tanaman di bawah sinar matahari langsung dapat tumbuh.
Pada naungan phytochrome yang kurang aktif dalam menyerap cahaya matahari merah, tanaman dapat tumbuh lebih tinggi. Tanaman dapat bersaing dengan tanaman lain yang mendapat lebih banyak sinar matahari meskipun berada di tempat yang teduh.
Di dalam sel, cahaya menyebabkan phytochrome aktif bergabung menjadi unit-unit yang disebut photobody di dalam inti sel. Ketika phytochrome B mati, ia berada di luar inti sel. Bergerak di dalam inti ketika “aktif” dan mengubah ekspresi gen dan pola pertumbuhan.
Kelompoknya Chen meneliti perilaku sel yang terpapar pada suhu dan kondisi cahaya berbeda dari daun dan batang Arabidopsis thaliana, tanaman yang digunakan sebagai model standar dalam ilmu botani. Tujuannya adalah untuk memahami bagaimana perubahan photobody sebagai respons terhadap suhu.
Pemahaman saat ini adalah bahwa phytochrome membentuk photobody hanya dalam keadaan aktif. Chen dan rekan-rekannya memperkirakan peningkatan suhu akan memiliki efek yang mirip dengan naungan yang akan mematikan phytochrome.
Tim menemukan peningkatan suhu tidak menyebabkan semua photobody menghilang sekaligus. Sebaliknya, photobody spesifik menghilang dalam kisaran suhu tertentu.
"Kami menemukan bahwa sebagian photobody termostabil dapat bertahan bahkan dalam suhu hangat. Sisa fokus akan menghilang pada setiap tahap suhu yang lebih rendah. Sebelumnya kita berpikir semua fokus adalah sama, tetapi sekarang kita tahu mereka semua berbeda," kata Chen, dikutip dari Sciencedaily.
Mekanisme yang membuat mereka menghilang secara selektif harus berbeda dari mekanisme yang membuat mereka menghilang di tempat teduh. Ini menunjukkan bahwa masing-masing photobody dapat menjadi sensor dalam kisaran suhu tertentu.
Penelitian juga menunjukkan phytochrome B bereaksi terhadap suhu pada molekul di dua lokasi berbeda. Bagian pertama adalah merasakan suhu dan bagian kedua membentuk fokus. Fokus yang dibentuk oleh lokasi kedua ini tidak sensitif terhadap suhu. Ini menunjukkan cahaya dan suhu dirasakan oleh bagian molekul yang sama tetapi menghasilkan perilaku yang berbeda.
"Photobody adalah kompleks protein yang besar dan dinamis. Hasil kami menunjukkan bahwa masing-masing dari mereka dapat memiliki komposisi yang berbeda," tambah Chen.
Ia berpikir bahwa komposisi unik dari masing-masing photobody membuat mereka bereaksi terhadap suhu secara berbeda. Studi di masa depan, pemahaman fitur unik dari masing-masing photobody kemungkinan akan mengungkap mekanisme yang mendasari penginderaan suhu dan regulasi ekspresi gen yang responsif pada tanaman.
Selain membantu mengembangkan tanaman di dunia yang semakin panas, pekerjaan ini dapat membantu para ilmuwan mempelajari lebih lanjut tentang kanker pada hewan. Protein dalam sel hewan juga membentuk fokus yang terkait dengan beberapa cara untuk kanker, tetapi peran mereka dalam ekspresi dan regulasi gen belum diketahui sejauh ini.
(mim)