Polemik Kratom, Tanaman Herbal yang Viral Karena Masuk Kategori Narkotika
Selasa, 12 Desember 2023 - 08:05 WIB
KALIMANTAN - Mungkin banyak yang baru mendengar tanaman Kratom. Karena memang tidak terlalu populer. Tapi, tanaman dengan bahasa ilmiah Mitragyna Speciosa Korth belakangan banyak dibicarakan karena masuk ke dalam kategori narkotika.
Tanaman Kratom banyak tumbuh di kawasan Kalimantan Barat, khususnya di daerah Kapuas Hulu. Kratom dikenal sebagai tanaman obat tradisional oleh masyarakat Indonesia. Namun, belakangan tanaman tersebut digolongkan sebagai narkotika golongan I.
Menyikapi polemik tanaman kratom yang masuk narkoba jenis baru tetapi masih menjadi komoditas ekspor Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Irjen Marthinus Hukom mengatakan untuk mengikuti peraturan yang ada.
“Ya saya lihat kepada Undang-Undang saja, kalau Undang-Undang melarang ya kita larang,” kata Irjen Marthinus di Istana Negara belum lama ini, Selasa (12/12). Lebih lanjut, alasan tanaman ini masuk ke dalam narkotika golongan I karena memiliki efek samping berbahaya.
Menurut Jurnal Universitas Brawijaya efek yang ditimbulkan sama dengan narkotika golongan I, hal itu diperkuat adanya bukti uji laboratorium terhadap senyawa kimia tanaman Kratom.
Oleh karena itu, perlu pembaharuan terkait pengaturan Kratom kedepannya, dengan mempertimbangkan tanaman Kratom bisa ikut diatur dalam Undang-Undang dengan menambahkan senyawa Mitragyna.
Di sisi lain, Irjen Marthinus pun memastikan pihaknya akan melakukan koordinasi dengan Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin mengenai polemik tersebut yang terjadi di Indonesia.
“Ya saya harus pelajari dulu ya, karena saya bukan ahli kimia, bukan ahli tentang kesehatan. Kita perlu koordinasi dengan Menteri Kesehatan, dan kebijakan pemerintah apa itu yang kita ikuti. Dan ini juga akan menyangkut keselamatan manusia dan kita menggunakan kemanfaatan,” ucap Irjen Marthinus.
“Kalau memang lebih banyak manfaatnya itu pertimbangan hukumnya apa, pertimbangan etisnya apa. Tapi kalau lebih banyak mudharatnya atau daya rusaknya untuk apa kita lakukan (ekspor)? Saya kebetulan belum mengetahui pengaruhnya ini, nanti saya akan konsultasikan dengan Kementerian Kesehatan yang lebih memahami itu,” ujarnya.
Tanaman Kratom banyak tumbuh di kawasan Kalimantan Barat, khususnya di daerah Kapuas Hulu. Kratom dikenal sebagai tanaman obat tradisional oleh masyarakat Indonesia. Namun, belakangan tanaman tersebut digolongkan sebagai narkotika golongan I.
Menyikapi polemik tanaman kratom yang masuk narkoba jenis baru tetapi masih menjadi komoditas ekspor Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Irjen Marthinus Hukom mengatakan untuk mengikuti peraturan yang ada.
“Ya saya lihat kepada Undang-Undang saja, kalau Undang-Undang melarang ya kita larang,” kata Irjen Marthinus di Istana Negara belum lama ini, Selasa (12/12). Lebih lanjut, alasan tanaman ini masuk ke dalam narkotika golongan I karena memiliki efek samping berbahaya.
Menurut Jurnal Universitas Brawijaya efek yang ditimbulkan sama dengan narkotika golongan I, hal itu diperkuat adanya bukti uji laboratorium terhadap senyawa kimia tanaman Kratom.
Oleh karena itu, perlu pembaharuan terkait pengaturan Kratom kedepannya, dengan mempertimbangkan tanaman Kratom bisa ikut diatur dalam Undang-Undang dengan menambahkan senyawa Mitragyna.
Di sisi lain, Irjen Marthinus pun memastikan pihaknya akan melakukan koordinasi dengan Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin mengenai polemik tersebut yang terjadi di Indonesia.
“Ya saya harus pelajari dulu ya, karena saya bukan ahli kimia, bukan ahli tentang kesehatan. Kita perlu koordinasi dengan Menteri Kesehatan, dan kebijakan pemerintah apa itu yang kita ikuti. Dan ini juga akan menyangkut keselamatan manusia dan kita menggunakan kemanfaatan,” ucap Irjen Marthinus.
“Kalau memang lebih banyak manfaatnya itu pertimbangan hukumnya apa, pertimbangan etisnya apa. Tapi kalau lebih banyak mudharatnya atau daya rusaknya untuk apa kita lakukan (ekspor)? Saya kebetulan belum mengetahui pengaruhnya ini, nanti saya akan konsultasikan dengan Kementerian Kesehatan yang lebih memahami itu,” ujarnya.
tulis komentar anda