Temuan Sensor Baru yang Mampu Deteksi Kanker Lebih Cepat
Jum'at, 24 April 2020 - 00:03 WIB
Sebelumnya, laboratorium Bhatia telah mengembangkan sensor untuk kanker usus besar dan ovarium. Dalam penelitian terbaru, para peneliti juga ingin menerapkan teknologi tersebut untuk kanker paru-paru yang membunuh sekitar 150.000 orang di AS setiap tahun.
Orang yang menerima skrining CT scan dan mendapatkan hasil positif sering menjalani biopsi atau tes invasif lainnya untuk mencari kanker paru-paru. Dalam beberapa kasus, prosedur ini justru dapat menyebabkan komplikasi. "Sehingga tes tindak lanjut non-invasif dapat berguna untuk menentukan pasien mana yang benar-benar membutuhkan biopsi," tambah Bhatia.
"CT scan adalah teknologi bagus yang dapat melihat banyak hal, namun masalahnya adalah 95 persen alat itu tidak menemukan kanker dan saat ini Anda harus melakukan biopsi pada banyak pasien yang di tes positif," katanya.
Untuk menyesuaikan sensor mereka ke kanker paru-paru, para peneliti menganalisis database gen terkait kanker yang disebut Cancer Genome Atlas dan mengidentifikasi protease yang banyak terdapat pada kanker paru-paru. Mereka menciptakan 14 panel partikel nano berlapis peptida yang dapat berinteraksi dengan enzim ini.
Para peneliti kemudian menguji sensor dalam dua model kanker tikus yang berbeda. Keduanya direkayasa dengan mutasi genetik yang mengarahkan mereka secara alami mengembangkan tumor paru-paru. Untuk membantu mencegah kesalahan yang bisa berasal dari organ lain atau aliran darah, para peneliti menyuntikkan partikel langsung ke saluran napas.
Dengan menggunakan sensor buatannya, para peneliti melakukan tes diagnostik pada tiga titik waktu yakni 5 minggu, 7,5 minggu, dan 10,5 minggu setelah pertumbuhan tumor dimulai. Untuk membuat diagnosis lebih akurat, mereka menggunakan pembelajaran mesin untuk melatih suatu algoritma dan membedakan antara data dari tikus yang memiliki tumor dan tikus yang tidak.
Dengan metode ini, para peneliti menemukan bahwa mereka dapat secara akurat mendeteksi tumor pada salah satu tikus dalam 7,5 minggu ketika tumor hanya 2,8 milimeter kubik. Sedangkan pada tikus lain, tumor dapat dideteksi dalam 5 minggu. Artinya, tingkat keberhasilan sensor juga sebanding atau lebih baik daripada tingkat keberhasilan CT scan yang dilakukan pada titik waktu yang sama.
Para peneliti juga menemukan bahwa sensor memiliki kemampuan penting lainnya. Mereka dapat membedakan antara kanker tahap awal dan peradangan paru-paru yang tidak bersifat kanker.
Bhatia membayangkan bahwa sensor partikel nano dapat digunakan sebagai diagnostik non-invasif bagi orang-orang yang mendapatkan hasil positif pada tes skrining. Ini berpotensi menghilangkan kebutuhan untuk melakukan biopsi.
Orang yang menerima skrining CT scan dan mendapatkan hasil positif sering menjalani biopsi atau tes invasif lainnya untuk mencari kanker paru-paru. Dalam beberapa kasus, prosedur ini justru dapat menyebabkan komplikasi. "Sehingga tes tindak lanjut non-invasif dapat berguna untuk menentukan pasien mana yang benar-benar membutuhkan biopsi," tambah Bhatia.
"CT scan adalah teknologi bagus yang dapat melihat banyak hal, namun masalahnya adalah 95 persen alat itu tidak menemukan kanker dan saat ini Anda harus melakukan biopsi pada banyak pasien yang di tes positif," katanya.
Untuk menyesuaikan sensor mereka ke kanker paru-paru, para peneliti menganalisis database gen terkait kanker yang disebut Cancer Genome Atlas dan mengidentifikasi protease yang banyak terdapat pada kanker paru-paru. Mereka menciptakan 14 panel partikel nano berlapis peptida yang dapat berinteraksi dengan enzim ini.
Para peneliti kemudian menguji sensor dalam dua model kanker tikus yang berbeda. Keduanya direkayasa dengan mutasi genetik yang mengarahkan mereka secara alami mengembangkan tumor paru-paru. Untuk membantu mencegah kesalahan yang bisa berasal dari organ lain atau aliran darah, para peneliti menyuntikkan partikel langsung ke saluran napas.
Dengan menggunakan sensor buatannya, para peneliti melakukan tes diagnostik pada tiga titik waktu yakni 5 minggu, 7,5 minggu, dan 10,5 minggu setelah pertumbuhan tumor dimulai. Untuk membuat diagnosis lebih akurat, mereka menggunakan pembelajaran mesin untuk melatih suatu algoritma dan membedakan antara data dari tikus yang memiliki tumor dan tikus yang tidak.
Dengan metode ini, para peneliti menemukan bahwa mereka dapat secara akurat mendeteksi tumor pada salah satu tikus dalam 7,5 minggu ketika tumor hanya 2,8 milimeter kubik. Sedangkan pada tikus lain, tumor dapat dideteksi dalam 5 minggu. Artinya, tingkat keberhasilan sensor juga sebanding atau lebih baik daripada tingkat keberhasilan CT scan yang dilakukan pada titik waktu yang sama.
Para peneliti juga menemukan bahwa sensor memiliki kemampuan penting lainnya. Mereka dapat membedakan antara kanker tahap awal dan peradangan paru-paru yang tidak bersifat kanker.
Bhatia membayangkan bahwa sensor partikel nano dapat digunakan sebagai diagnostik non-invasif bagi orang-orang yang mendapatkan hasil positif pada tes skrining. Ini berpotensi menghilangkan kebutuhan untuk melakukan biopsi.
(wbs)
tulis komentar anda