WMO Prediksi Cuaca Panas Ekstrem Akan Melanda Indonesia Bulan Depan
loading...
A
A
A
JENEWA - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hari ini memperingatkan kemungkinan besar fenomena cuaca El Nino, sehingga akan membuat rekor panas baru salah satu di Indonesia.
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) memperkirakan sekitar 60 persen kemungkinan terjadinya El Nino pada akhir Juli, sementara 80 persen kemungkinan fenomena tersebut terjadi pada akhir September.
El Nino adalah pola iklim alami yang biasanya dikaitkan dengan peningkatan panas di seluruh dunia dengan kekeringan di beberapa tempat sementara hujan lebat di tempat lain.
Fenomena tersebut terakhir tercatat pada 2018 hingga 2019.
PBB mengatakan delapan tahun terakhir telah menjadi rekor terpanas, meskipun efek pendinginan La Nina mereda hampir setengah dari periode itu.
Tanpa fenomena cuaca itu, situasi pemanasan bisa memburuk.
"La Nina bertindak sebagai rem sementara atas kenaikan suhu global. Perkembangan El Nino kemungkinan besar akan mengarah pada peningkatan baru dalam pemanasan global dan meningkatkan peluang untuk memecahkan rekor suhu", kata Kepala WMO Petteri Taalas dalam sebuah pernyataan seperti dilansir AFP, Jumat (5/5/2023)
Sampai sekarang, tidak ada indikasi kekuatan atau durasi El Nino yang sebenarnya. Empat tahun lalu, fenomena itu dianggap lemah, namun antara 2014 dan 2016, dianggap kuat dengan konsekuensi yang parah.
WMO menunjukkan bahwa 2016 adalah tahun terpanas karena peristiwa El Nino yang sangat kuat dan pemanasan akibat gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia.
“Karena efek El Nino terhadap suhu global biasanya terjadi pada tahun setelah kemunculannya, efeknya mungkin paling signifikan pada tahun 2024. Dunia harus bersiap menghadapi perkembangan El Nino.
"Fenomena ini mungkin membawa kelegaan pada kekeringan dan efek lain yang terkait dengan La Nina di Tanduk Afrika, tetapi bisa memicu peristiwa cuaca dan iklim yang lebih ekstrem. Oleh karena itu, kami perlu menekankan perlunya sistem peringatan dini yang efektif untuk memastikan warga aman," kata Taalas.
Dia menjelaskan, tidak ada dua kejadian El Nino yang sama dan pengaruhnya tergantung waktu dalam setahun, namun BMKG akan selalu memantau perkembangannya dengan cermat.
Pola iklim terjadi rata-rata setiap dua hingga tujuh tahun dan biasanya berlangsung selama sembilan hingga 12 bulan.
Hal ini biasanya dikaitkan dengan pemanasan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik tropis tengah dan timur.
Menurut Taalas, peningkatan curah hujan biasanya terlihat di bagian selatan Amerika Selatan, Amerika Serikat bagian selatan (AS), Afrika, dan Asia Tengah, sedangkan kekeringan parah dapat terjadi di Australia, Indonesia, dan sebagian Asia Selatan pada bulan Juni ini.
Ia mengatakan, saat musim panas di belahan bumi utara, El Nino juga bisa memicu angin topan di tengah dan timur Samudera Pasifik, sekaligus mencegah terbentuknya cuaca serupa di Atlantik.
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) memperkirakan sekitar 60 persen kemungkinan terjadinya El Nino pada akhir Juli, sementara 80 persen kemungkinan fenomena tersebut terjadi pada akhir September.
El Nino adalah pola iklim alami yang biasanya dikaitkan dengan peningkatan panas di seluruh dunia dengan kekeringan di beberapa tempat sementara hujan lebat di tempat lain.
Fenomena tersebut terakhir tercatat pada 2018 hingga 2019.
PBB mengatakan delapan tahun terakhir telah menjadi rekor terpanas, meskipun efek pendinginan La Nina mereda hampir setengah dari periode itu.
Tanpa fenomena cuaca itu, situasi pemanasan bisa memburuk.
"La Nina bertindak sebagai rem sementara atas kenaikan suhu global. Perkembangan El Nino kemungkinan besar akan mengarah pada peningkatan baru dalam pemanasan global dan meningkatkan peluang untuk memecahkan rekor suhu", kata Kepala WMO Petteri Taalas dalam sebuah pernyataan seperti dilansir AFP, Jumat (5/5/2023)
Sampai sekarang, tidak ada indikasi kekuatan atau durasi El Nino yang sebenarnya. Empat tahun lalu, fenomena itu dianggap lemah, namun antara 2014 dan 2016, dianggap kuat dengan konsekuensi yang parah.
WMO menunjukkan bahwa 2016 adalah tahun terpanas karena peristiwa El Nino yang sangat kuat dan pemanasan akibat gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia.
“Karena efek El Nino terhadap suhu global biasanya terjadi pada tahun setelah kemunculannya, efeknya mungkin paling signifikan pada tahun 2024. Dunia harus bersiap menghadapi perkembangan El Nino.
"Fenomena ini mungkin membawa kelegaan pada kekeringan dan efek lain yang terkait dengan La Nina di Tanduk Afrika, tetapi bisa memicu peristiwa cuaca dan iklim yang lebih ekstrem. Oleh karena itu, kami perlu menekankan perlunya sistem peringatan dini yang efektif untuk memastikan warga aman," kata Taalas.
Dia menjelaskan, tidak ada dua kejadian El Nino yang sama dan pengaruhnya tergantung waktu dalam setahun, namun BMKG akan selalu memantau perkembangannya dengan cermat.
Pola iklim terjadi rata-rata setiap dua hingga tujuh tahun dan biasanya berlangsung selama sembilan hingga 12 bulan.
Hal ini biasanya dikaitkan dengan pemanasan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik tropis tengah dan timur.
Menurut Taalas, peningkatan curah hujan biasanya terlihat di bagian selatan Amerika Selatan, Amerika Serikat bagian selatan (AS), Afrika, dan Asia Tengah, sedangkan kekeringan parah dapat terjadi di Australia, Indonesia, dan sebagian Asia Selatan pada bulan Juni ini.
Ia mengatakan, saat musim panas di belahan bumi utara, El Nino juga bisa memicu angin topan di tengah dan timur Samudera Pasifik, sekaligus mencegah terbentuknya cuaca serupa di Atlantik.
(wbs)