Bahan Pengawet Mumi Mesir Kuno yang Dipakai di Mayat Firaun
loading...
A
A
A
KAIRO - Bahan pengawet mumi Mesir Kuno telah mengakar kuat dalam masyarakat Mesir sejak zaman Kerajaan Lama atau Zaman Piramida (2686 – 2181 SM).
Mumifikasi atau pembalseman di Mesir kuno biasanya diperuntukkan bagi masyarakat elite, seperti Firaun (Raja), bangsawan, keluarga bangsawan, pejabat pemerintah, dan orang kaya.
Orang biasa jarang diawetkan untuk menjadi mumi karena prosesnya yang membutuhkan biaya mahal. Mumifikasi di Mesir kuno sangat terkait dengan kepercayaan agama masyarakat. Orang Mesir kuno percaya ketika seseorang meninggal, esensi spiritual (jiwa) mereka masih bertahan.
Jadi mumifikasi atau mengawetkan raga orang yang sudah meninggal dilakukan sepenuh hati oleh orang yang terampil dengan makna religius mendalam. Jadi bukan untuk membangkitkan kengerian atau dijadikan objek menakutkan yang sering ditayangkan dalam film horor atau mistis.
Sayangnya, hanya ada sedikit sekali catatan dalam teks-teks Mesir kuno tentang proses mumifikasi yang sebenarnya. Sebagian besar melalui sumber-sumber non-Mesir, seperti penulis Yunani abad ke-5 Herodotus (hidup antara tahun 484 – 425 SM).
Dalam karyanya yang terkenal "The Histories," dia menggambarkan tiga tingkat mumifikasi, masing-masing dibedakan berdasarkan cara dan kerumitan prosesnya. Metode yang paling rumit melibatkan pengangkatan otak dan banyak organ dalam terlebih dahulu, terutama isi perut.
Rita Lucarelli, seorang Egyptologist dan ahli papirus Mesir (teks kuno) di University of California, Berkeley, menjelaskan bahwa biasanya otak diangkat menggunakan alat logam melengkung yang dimasukkan melalui lubang hidung. Sementara organ lainnya dikeluarkan dengan membuat sayatan di sepanjang perut.
Rongga kosong itu diisi dengan berbagai rempah-rempah aromatik, seperti cassia (terbuat dari kulit pohon cemara), sebelum tubuh ditutup kembali dengan dijahit. "Jantung selalu tertinggal di dalam karena orang Mesir percaya jantung adalah aspek terpenting dari setiap tubuh manusia," kata Rita Lucarelli dikutip SINDOnews dari laman livescience.
Jenazah kemudian ditutup dengan garam selama 70 hari untuk menghilangkan semua kelembaban. Setelah 70 hari, mayat itu dimandikan dan dibungkus dengan kain linen yang telah diberi resin yang lengket untuk memastikan melekat pada tubuh. ir
)
"Mayat itu kemudian diserahkan kepada kerabatnya yang memasukkan ke dalam peti kayu berlubang yang dibuat menyerupai manusia. Begitu peti mati ditutup, mereka menyimpannya di ruang pemakaman," tulis Herodotus dalam bukunya The Histories yang diterjemahkan oleh GC Macaulay, 2008.
Beberapa ratus tahun kemudian, sejarawan Yunani Diodorus Siculus (hidup 30 – 90 SM) yang melakukan perjalanan dan menulis tentang Mesir, menjelaskan informasi tambahan tentang proses mumifikasi. Dalam bukunya, "Library of History," Siculus mencatat bahwa orang-orang yang melakukan mumifikasi yang disebut pembalseman adalah perajin terampil yang kemampuan ini dijadikan sebagai bisnis keluarga.
Dia menggambarkan pekerjaan para pembalsem ini sangat teliti sehingga rambut di kelopak mata dan alis tetap ada. Bahkan, seluruh penampilan tubuh tidak berubah dan bentuk tubuhnya tetap dapat dikenali.
Mumifikasi Mesir berangsur-angsur memudar pada abad keempat, ketika Roma memerintah Mesir. "Kemudian dengan munculnya agama Kristen, proses mumifikasi berhenti," kata Lucarelli.
Hari ini, mumifikasi adalah seni yang hilang, kecuali untuk kasus yang sangat langka. Sebagian besar masyarakat menganggapnya aneh atau kuno.
Mumifikasi atau pembalseman di Mesir kuno biasanya diperuntukkan bagi masyarakat elite, seperti Firaun (Raja), bangsawan, keluarga bangsawan, pejabat pemerintah, dan orang kaya.
Orang biasa jarang diawetkan untuk menjadi mumi karena prosesnya yang membutuhkan biaya mahal. Mumifikasi di Mesir kuno sangat terkait dengan kepercayaan agama masyarakat. Orang Mesir kuno percaya ketika seseorang meninggal, esensi spiritual (jiwa) mereka masih bertahan.
Jadi mumifikasi atau mengawetkan raga orang yang sudah meninggal dilakukan sepenuh hati oleh orang yang terampil dengan makna religius mendalam. Jadi bukan untuk membangkitkan kengerian atau dijadikan objek menakutkan yang sering ditayangkan dalam film horor atau mistis.
Sayangnya, hanya ada sedikit sekali catatan dalam teks-teks Mesir kuno tentang proses mumifikasi yang sebenarnya. Sebagian besar melalui sumber-sumber non-Mesir, seperti penulis Yunani abad ke-5 Herodotus (hidup antara tahun 484 – 425 SM).
Dalam karyanya yang terkenal "The Histories," dia menggambarkan tiga tingkat mumifikasi, masing-masing dibedakan berdasarkan cara dan kerumitan prosesnya. Metode yang paling rumit melibatkan pengangkatan otak dan banyak organ dalam terlebih dahulu, terutama isi perut.
Rita Lucarelli, seorang Egyptologist dan ahli papirus Mesir (teks kuno) di University of California, Berkeley, menjelaskan bahwa biasanya otak diangkat menggunakan alat logam melengkung yang dimasukkan melalui lubang hidung. Sementara organ lainnya dikeluarkan dengan membuat sayatan di sepanjang perut.
Rongga kosong itu diisi dengan berbagai rempah-rempah aromatik, seperti cassia (terbuat dari kulit pohon cemara), sebelum tubuh ditutup kembali dengan dijahit. "Jantung selalu tertinggal di dalam karena orang Mesir percaya jantung adalah aspek terpenting dari setiap tubuh manusia," kata Rita Lucarelli dikutip SINDOnews dari laman livescience.
Jenazah kemudian ditutup dengan garam selama 70 hari untuk menghilangkan semua kelembaban. Setelah 70 hari, mayat itu dimandikan dan dibungkus dengan kain linen yang telah diberi resin yang lengket untuk memastikan melekat pada tubuh. ir
)
"Mayat itu kemudian diserahkan kepada kerabatnya yang memasukkan ke dalam peti kayu berlubang yang dibuat menyerupai manusia. Begitu peti mati ditutup, mereka menyimpannya di ruang pemakaman," tulis Herodotus dalam bukunya The Histories yang diterjemahkan oleh GC Macaulay, 2008.
Beberapa ratus tahun kemudian, sejarawan Yunani Diodorus Siculus (hidup 30 – 90 SM) yang melakukan perjalanan dan menulis tentang Mesir, menjelaskan informasi tambahan tentang proses mumifikasi. Dalam bukunya, "Library of History," Siculus mencatat bahwa orang-orang yang melakukan mumifikasi yang disebut pembalseman adalah perajin terampil yang kemampuan ini dijadikan sebagai bisnis keluarga.
Dia menggambarkan pekerjaan para pembalsem ini sangat teliti sehingga rambut di kelopak mata dan alis tetap ada. Bahkan, seluruh penampilan tubuh tidak berubah dan bentuk tubuhnya tetap dapat dikenali.
Mumifikasi Mesir berangsur-angsur memudar pada abad keempat, ketika Roma memerintah Mesir. "Kemudian dengan munculnya agama Kristen, proses mumifikasi berhenti," kata Lucarelli.
Hari ini, mumifikasi adalah seni yang hilang, kecuali untuk kasus yang sangat langka. Sebagian besar masyarakat menganggapnya aneh atau kuno.
(wbs)