Tantangan Astronot Muslim di Luar Angkasa, Mulai Waktu Salat hingga Arah Kiblat

Kamis, 04 Februari 2021 - 21:26 WIB
loading...
Tantangan Astronot Muslim di Luar Angkasa, Mulai Waktu Salat hingga Arah Kiblat
Hazza Almansoori, astronot asal Uni Emirat Arab yang terbang ke luar angkasa menumpang Soyuz MS-15 pada 25 September 2019. Foto/Arabian Business
A A A
JAKARTA - Dalam satu abad terakhir, kemajuan ilmu pengetahuan, teknik, dan teknologi telah memungkinkan manusia melakukan perjalanan ke luar angkasa .

Lebih dari 500 orang telah pergi ke luar angkasa sejak tahun 1961. Setidaknya ada 11 orang dari mereka adalah Muslim. Meskipun Muslim membentuk sekitar seperempat dari populasi global, mereka membuat kurang dari 2% astronot hingga saat ini, sebagian karena praktik perekrutan program luar angkasa Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet yang secara historis dominan.

AS awalnya hanya merekrut pria kulit putih dan Uni Soviet awalnya hanya mempekerjakan etnis Rusia dan Slavia. Namun karena program luar angkasa ini telah terdiversifikasi untuk mencerminkan populasi mereka, dan ketika negara lain telah mengembangkan program luar angkasa mereka sendiri, astronot Muslim menjadi lebih umum.

Dilansir dari laman hds.harvard.edu, perjalanan luar angkasa dapat menciptakan beberapa tantangan menarik bagi umat Islam. Sebab beberapa praktik Islam yang umum terkait dengan geografi di Bumi atau orbit benda-benda langit. Misalnya, banyak umat Islam yang berdoa dengan menghadap ke Kakbah di Mekkah, tapi ketika mengorbit Bumi dengan kecepatan 17.400 mil per jam, Mekkah bergerak cepat di bawah pesawat luar angkasa.

Selain itu, umat Islam salat lima kali sehari, tapi astronot mengalami Matahari terbit dan terbenam setiap 90 menit saat mereka mengorbit Bumi. Matahari terbit dan terbenam yang cepat ini dapat menyebabkan kebingungan tentang kapan harus salat, serta kapan harus berpuasa selama Bulan Suci Ramadan ketika umat Islam berpuasa di siang hari.

Banyak Muslim juga bersujud selama salat, tetapi ini hampir tidak mungkin di luar angkasa. Ini dikarenakan kurangnya gravitasi selama berada di ruang angkasa.

Muslim pertama yang menghadapi tantangan ini di luar angkasa adalah Sultan bin Salman bin Abdulaziz Al-Saud, seorang pilot pesawat tempur dan Pangeran Kerajaan Arab Saudi. Pada 1985, dia adalah Spesialis Muatan untuk misi Badan Antariksa dan Penerbangan Nasional (NASA) AS STS-51G, menggunakan pesawat ulang-alik Discovery untuk meluncurkan tiga satelit.

Sultan memilih untuk tidak berpuasa Ramadan saat dia berlatih dan di luar angkasa, tapi dia membawa Alquran kecil ke luar angkasa bersamanya. Bersama dengan doa dari ibunya yang memohon kepada Allah SWT untuk melindunginya. Dia juga mengatakan kepada wartawan bahwa dia mengikat kakinya ke lantai pesawat ulang-alik untuk memungkinkan dirinya melakukan gerakan sujud dengan kemampuan terbaiknya.

Kemudian Muslim kedua di luar angkasa adalah kosmonot dari Uni Soviet, dan tidak ada bukti bahwa praktik keagamaannya memengaruhi perjalanan mereka di luar angkasa. Sepertinya para Muslim ini mendapati misi ilmiah mereka lebih mendesak daripada praktik keagamaannya, terutama di Uni Soviet yang secara resmi ateis.

Demikian pula, Anousheh Ansari, wanita Muslim pertama di luar angkasa, membuat sedikit pernyataan publik tentang apakah tradisi agamanya memengaruhi penerbangannya dengan roket Soyuz Rusia ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) pada 2006. Ansari, seorang multijutawan, membayar sejumlah uang yang tidak diungkapkan —beberapa sumber mengatakan USD20 juta— untuk pergi ke ISS.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2661 seconds (0.1#10.140)