Begini Tata Cara Salat Astronot Muslim saat Berada di Luar Angkasa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perjalanan astronot Muslim ke luar angkasa pertama kali diawali oleh Sultan bin Salman Al Saud dari Arab Saudi pada 17 Juni 1985. Kini tercatat ada 11 astronot beragama Islam yang pernah melalang buana di luar angkasa.
Keberadaan mereka di luar angkasa membawa tantangan di luar misi sainsnya. Ya, para astronot Muslim dihadapkan pada praktik keagamaan yang tetap mesti mereka lakukan dengan kondisi "geografi" yang berbeda.
Misalnya, umat Islam yang salat menghadap ke Kakbah di Mekkah, tapi ketika mengorbit Bumi dengan kecepatan 17.400 mil per jam, Mekkah bergerak cepat di bawah pesawat luar angkasa.
Selain itu, umat Islam salat lima kali sehari, tapi astronot mengalami Matahari terbit dan terbenam setiap 90 menit saat mereka mengorbit Bumi. Matahari terbit dan terbenam yang cepat ini dapat menyebabkan kebingungan tentang kapan harus salat, serta kapan harus berpuasa selama Bulan Suci Ramadan ketika umat Islam berpuasa di siang hari.
Muslim juga bersujud selama salat. Tetapi ini sulit dilakukan di luar angkasa karena kurangnya gravitasi.
Muslim pertama yang menghadapi tantangan ini di luar angkasa adalah Sultan bin Salman bin Abdulaziz Al-Saud, seorang pilot pesawat tempur dan Pangeran Kerajaan Arab Saudi. Pada 1985, dia adalah Spesialis Muatan untuk misi Badan Antariksa dan Penerbangan Nasional (NASA) AS STS-51G, menggunakan pesawat ulang-alik Discovery untuk meluncurkan tiga satelit.
Sultan memilih untuk tidak berpuasa Ramadan saat dia berlatih dan di luar angkasa, tapi dia membawa Alquran kecil ke luar angkasa bersamanya. Bersama dengan doa dari ibunya yang memohon kepada Allah SWT untuk melindunginya. Dia juga mengatakan kepada wartawan bahwa dia mengikat kakinya ke lantai pesawat ulang-alik untuk memungkinkan dirinya melakukan gerakan sujud dengan kemampuan terbaiknya.
Astronot Muslim lainnya lebih blak-blakan tentang kewajiban agamanya. Pada 2007, Malaysia mengirimkan astronot pertamanya ke ISS. Astronot itu adalah Sheikh Muszaphar Shukor, seorang dokter yang diluncurkan di atas kapal Soyuz TMA-11 Rusia.
Situs hds.harvard.edu menyebutkan, sebelum lepas landas, Shukor, mengatakan, sementara ini prioritas utamanya lebih pada melakukan eksperimen. Sebagai tanggapan, Pemerintah Malaysia mengundang 150 sarjana hukum Islam, ilmuwan, dan astronot untuk membuat pedoman bagi Dr Shukor.
Para ulama mengeluarkan fatwa, atau opini hukum Islam yang tidak mengikat, yang dimaksudkan untuk membantu astronot Muslim di masa depan, yang mereka terjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Inggris. Mereka menulis bahwa untuk salat, umat Islam di luar angkasa harus menghadap Mekah jika memungkinkan; tapi jika tidak, mereka bisa menghadap Bumi secara umum, atau hanya menghadap "ke manapun".
Untuk memutuskan kapan harus salat dan berpuasa selama Ramadan, para ulama menulis, umat Islam harus mengikuti zona waktu dari tempat yang mereka tinggalkan di Bumi, yang dalam kasus Dr Shukor adalah Kazakhstan. Untuk bersujud saat salat dalam gravitasi nol, para ulama menyatakan bahwa astronot dapat melakukan gerakan yang sesuai dengan kepala mereka, atau sekadar membayangkan gerakan umum di Bumi.
Keberadaan mereka di luar angkasa membawa tantangan di luar misi sainsnya. Ya, para astronot Muslim dihadapkan pada praktik keagamaan yang tetap mesti mereka lakukan dengan kondisi "geografi" yang berbeda.
Misalnya, umat Islam yang salat menghadap ke Kakbah di Mekkah, tapi ketika mengorbit Bumi dengan kecepatan 17.400 mil per jam, Mekkah bergerak cepat di bawah pesawat luar angkasa.
Selain itu, umat Islam salat lima kali sehari, tapi astronot mengalami Matahari terbit dan terbenam setiap 90 menit saat mereka mengorbit Bumi. Matahari terbit dan terbenam yang cepat ini dapat menyebabkan kebingungan tentang kapan harus salat, serta kapan harus berpuasa selama Bulan Suci Ramadan ketika umat Islam berpuasa di siang hari.
Muslim juga bersujud selama salat. Tetapi ini sulit dilakukan di luar angkasa karena kurangnya gravitasi.
Muslim pertama yang menghadapi tantangan ini di luar angkasa adalah Sultan bin Salman bin Abdulaziz Al-Saud, seorang pilot pesawat tempur dan Pangeran Kerajaan Arab Saudi. Pada 1985, dia adalah Spesialis Muatan untuk misi Badan Antariksa dan Penerbangan Nasional (NASA) AS STS-51G, menggunakan pesawat ulang-alik Discovery untuk meluncurkan tiga satelit.
Sultan memilih untuk tidak berpuasa Ramadan saat dia berlatih dan di luar angkasa, tapi dia membawa Alquran kecil ke luar angkasa bersamanya. Bersama dengan doa dari ibunya yang memohon kepada Allah SWT untuk melindunginya. Dia juga mengatakan kepada wartawan bahwa dia mengikat kakinya ke lantai pesawat ulang-alik untuk memungkinkan dirinya melakukan gerakan sujud dengan kemampuan terbaiknya.
Astronot Muslim lainnya lebih blak-blakan tentang kewajiban agamanya. Pada 2007, Malaysia mengirimkan astronot pertamanya ke ISS. Astronot itu adalah Sheikh Muszaphar Shukor, seorang dokter yang diluncurkan di atas kapal Soyuz TMA-11 Rusia.
Situs hds.harvard.edu menyebutkan, sebelum lepas landas, Shukor, mengatakan, sementara ini prioritas utamanya lebih pada melakukan eksperimen. Sebagai tanggapan, Pemerintah Malaysia mengundang 150 sarjana hukum Islam, ilmuwan, dan astronot untuk membuat pedoman bagi Dr Shukor.
Para ulama mengeluarkan fatwa, atau opini hukum Islam yang tidak mengikat, yang dimaksudkan untuk membantu astronot Muslim di masa depan, yang mereka terjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Inggris. Mereka menulis bahwa untuk salat, umat Islam di luar angkasa harus menghadap Mekah jika memungkinkan; tapi jika tidak, mereka bisa menghadap Bumi secara umum, atau hanya menghadap "ke manapun".
Untuk memutuskan kapan harus salat dan berpuasa selama Ramadan, para ulama menulis, umat Islam harus mengikuti zona waktu dari tempat yang mereka tinggalkan di Bumi, yang dalam kasus Dr Shukor adalah Kazakhstan. Untuk bersujud saat salat dalam gravitasi nol, para ulama menyatakan bahwa astronot dapat melakukan gerakan yang sesuai dengan kepala mereka, atau sekadar membayangkan gerakan umum di Bumi.
(iqb)