Baru di Indonesia, AWS Sediakan Teknologi Canggih Pemantau Orang Utan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Amazon Web Services (AWS) , anak perusahaan dari Amazon , resmi menjalin kolaborasi dengan World Wildlife Fund for Nature Indonesia (WWF Indonesia) , organisasi nirlaba yang berada di dalam jaringan WWF global, untuk menyelamatkan orang utan di Indonesia dari kepunahan. (Baca juga: DNA Mirip Manusia, Orangutan dan Kera Besar Rawan Terinfeksi Virus Corona )
Kolaborasi ini menghasilkan layanan machine learning yang mendukung WWF Indonesia. Teknologi sanggup memantau hingga mengevaluasi ukuran dan tingkat kesehatan populasi orang utan yang tinggal di habitat aslinya.
“Mendukung pemberdayaan organisasi-organisasi nirlaba, melalui pemanfaatan teknologi Cloud dalam membangun dunia yang lebih baik merupakan salah satu prioritas yang menjadi misi AWS,” kata Peter Moore, Regional Managing Director for Asia Pacific and Japan, Worldwide Public Sector AWS, dalam pertemuan dengan media secara virtual, Kamis (4/6/2020).
Berkat teknologi yang dimiliki AWS, ujar dia, WWF Indonesia bisa mengumpulkan foto secara otomatis dari tiap-tiap ponsel pintar maupun kamera-kamera yang diaktifkan oleh gerakan yang dipasang di setiap basecamp. Foto-foto tersebut kemudian bisa diunggah ke Amazon Simple Storage Service (Amazon S3) untuk keperluan analisis.
Jadi, ungkap Peter, pemantauan bisa dilakukan secara akurat dan cepat, untuk melihat apakah ada orang utan yang sedang hamil, sakit, atau mengalami luka, sehingga bisa segera diberikan perawatan.
Teknologi machine learning juga meningkatkan akurasi dalam pemanfaatan data populasi orang utan. Tingkat akurasi dalam tiap proses analisis juga meningkat, seperti pengukuran rasio gender dan umur, termasuk tingkat viabilitas tiap-tiap populasi.
“Teknologi ini sangat membantu, terlebih dengan jumlah ahli konservasi yang terbatas seperti situasi saat ini,” kata Aria Nagasastra, Finance and Technology Director WWF Indonesia, pada kesempatan yang sama.
Penggunaan teknologi lainnya, seperti Amazon SageMaker, membuat layanan machine learning yang terkelola sepenuhnya, dapat mendukung saintis data untuk dilakukan pengembangan, pengujian, dan penggelaran beragam model machine learning secara cepat dan mudah dalam skala besar.
Selanjutnya, tambah Aria, WWF Indonesia juga berencana untuk eksplorasi lebih lanjut pemanfaatan layanan machine learning lainnya. Salah satunya Amazon Rekognition, sebuah layanan imaji dan gambar untuk meningkatkan kecepatan dan akurasi pada proses identifikasi, serta pelacakan populasi-populasi orang utan yang ada.
“Dari informasi WWF internasional, teknologi serupa belum ada di negara lain. Saat ini (teknologi di negara lain) baru ada pemantauan spesies, belum sampai individu,” papar Aria.
Populasi orang utan di Indonesia dan Malaysia saat ini terancam oleh aktivitas manusia yang telah menerobos ke kehidupan mereka. Seperti perburuan liar, perusakan habitat, serta perdagangan satwa liar yang dilindungi.
Menurut WWF, populasi orang utan di Kalimantan saat ini berkurang hingga lebih dari 50% dalam kurun waktu 60 tahun terakhir. Habitat mereka juga mengalami penurunan jumlahnya hingga 55% dalam kurun waktu 20 tahun belakangan.
Sejak 2005, WWF Indonesia telah melakukan assessment terhadap kesehatan populasi orang utan. Organisasi juga telah membangun konservasi habitat orang utan seluas 568.700 hektar di Taman Nasional Sebangau, di Kalimantan Tengah.
Kolaborasi ini menghasilkan layanan machine learning yang mendukung WWF Indonesia. Teknologi sanggup memantau hingga mengevaluasi ukuran dan tingkat kesehatan populasi orang utan yang tinggal di habitat aslinya.
“Mendukung pemberdayaan organisasi-organisasi nirlaba, melalui pemanfaatan teknologi Cloud dalam membangun dunia yang lebih baik merupakan salah satu prioritas yang menjadi misi AWS,” kata Peter Moore, Regional Managing Director for Asia Pacific and Japan, Worldwide Public Sector AWS, dalam pertemuan dengan media secara virtual, Kamis (4/6/2020).
Berkat teknologi yang dimiliki AWS, ujar dia, WWF Indonesia bisa mengumpulkan foto secara otomatis dari tiap-tiap ponsel pintar maupun kamera-kamera yang diaktifkan oleh gerakan yang dipasang di setiap basecamp. Foto-foto tersebut kemudian bisa diunggah ke Amazon Simple Storage Service (Amazon S3) untuk keperluan analisis.
Jadi, ungkap Peter, pemantauan bisa dilakukan secara akurat dan cepat, untuk melihat apakah ada orang utan yang sedang hamil, sakit, atau mengalami luka, sehingga bisa segera diberikan perawatan.
Teknologi machine learning juga meningkatkan akurasi dalam pemanfaatan data populasi orang utan. Tingkat akurasi dalam tiap proses analisis juga meningkat, seperti pengukuran rasio gender dan umur, termasuk tingkat viabilitas tiap-tiap populasi.
“Teknologi ini sangat membantu, terlebih dengan jumlah ahli konservasi yang terbatas seperti situasi saat ini,” kata Aria Nagasastra, Finance and Technology Director WWF Indonesia, pada kesempatan yang sama.
Penggunaan teknologi lainnya, seperti Amazon SageMaker, membuat layanan machine learning yang terkelola sepenuhnya, dapat mendukung saintis data untuk dilakukan pengembangan, pengujian, dan penggelaran beragam model machine learning secara cepat dan mudah dalam skala besar.
Selanjutnya, tambah Aria, WWF Indonesia juga berencana untuk eksplorasi lebih lanjut pemanfaatan layanan machine learning lainnya. Salah satunya Amazon Rekognition, sebuah layanan imaji dan gambar untuk meningkatkan kecepatan dan akurasi pada proses identifikasi, serta pelacakan populasi-populasi orang utan yang ada.
“Dari informasi WWF internasional, teknologi serupa belum ada di negara lain. Saat ini (teknologi di negara lain) baru ada pemantauan spesies, belum sampai individu,” papar Aria.
Populasi orang utan di Indonesia dan Malaysia saat ini terancam oleh aktivitas manusia yang telah menerobos ke kehidupan mereka. Seperti perburuan liar, perusakan habitat, serta perdagangan satwa liar yang dilindungi.
Menurut WWF, populasi orang utan di Kalimantan saat ini berkurang hingga lebih dari 50% dalam kurun waktu 60 tahun terakhir. Habitat mereka juga mengalami penurunan jumlahnya hingga 55% dalam kurun waktu 20 tahun belakangan.
Sejak 2005, WWF Indonesia telah melakukan assessment terhadap kesehatan populasi orang utan. Organisasi juga telah membangun konservasi habitat orang utan seluas 568.700 hektar di Taman Nasional Sebangau, di Kalimantan Tengah.
(iqb)