Peneliti Patahkan Teori Pembunuhan Raja Tutankhamum, Ini Fakta Terbarunya
loading...
A
A
A
KAIRO - Selama beberapa dekade, teori kematian Raja Tutankhamum yang dibunuh karena persaingan kekuasaaan di Mesir kuno terus bertahan. Namun penelitian terbaru mengungkapkan fakta lain, Raja Tut tidak dibunuh.
Teori pembunuhan berawal dari hasil x-ray mumi Raja Tut pada tahun 1968 yang menunjukkan adanya kerusakan dua fragmen di tulang tengkorak. Lalu muncul teori kalau raja muda itu dibunuh secara brutal oleh musuhnya selama periode kerajaan Mesir bergejolak.
Dikutip dari Express, Selasa (11/1/2022), penelitian terbaru menemukan bukti kalau Raja Tut tidak dibunuh. Kerusakan di tulang tengkorak kemungkinan karena pemindahan paksa mumi dari petinya.
Karena ketika ditemukan pada 1922 oleh arkeolog Dr Howard Carter, peneliti berusaha memindahkan mumi tersebut dari sarkofagus. Padahal saat itu mumi dimakamkan dengan cara menempel menggunakan resin ke peti mati.
Ahli radiologi Ashraf Selim mengatakan kepada National Geographic, beberapa bagian tulang Raja Tut yang lepas disebabkan upaya pertama peneliti ketika berusaha melepaskan topeng emas yang dipakai mumi tersebut. "Kematian ini bukan karena dibunuh, saya pikir ini adalah akhir teori pembunuhan," katanya.
Tim peneliti kini beralih ke kaki kiri Raja Tut yang menunjukkan bahwa patah tulang paha mungkin memainkan peran penting dalam kematiannya. Lapisan tipis resin pembalseman dapat dilihat pada CT scan di sekitar area fraktur.
Kini peneliti berspekulasi bahwa beberapa gangguan melemahnya kondisi Raja Tut karena faktor patah kaki dan infeksi parah sehingga menyebabkan kematian.
“Resin mengalir melalui luka dan bersentuhan langsung dengan fraktur dan menjadi padat, sesuatu yang tidak kami lihat di area lain. Kami juga tidak dapat menemukan tanda-tanda penyembuhan tulang,” katanya.
Mengingat bahwa tidak ada antibiotik pada 3.000 tahun yang lalu, sangat mungkin bahwa infeksi parah terjadi. "Mungkin infeksi itu yang membunuhnya," katanya.
Sementara itu, tim arkeolog Jerman berpendapat Raja Tut meninggal karena penyakit kelainan darah yang disebut sickle-cell disease (SCD).
Christian Timmann dan Christian Meyer menunjukkan bahwa SCD adalah penyebab paling umum dari kerusakan tulang seperti Raja Tut.
Orang dengan SCD masih dapat membawa parasit malaria dalam darahnya, meskipun kekebalannya meningkat karena adanya gen sel sabit. Ini akan menjelaskan mengapa mereka mendeteksi gen parasit malaria di mumi Raja Tut.
Teori pembunuhan berawal dari hasil x-ray mumi Raja Tut pada tahun 1968 yang menunjukkan adanya kerusakan dua fragmen di tulang tengkorak. Lalu muncul teori kalau raja muda itu dibunuh secara brutal oleh musuhnya selama periode kerajaan Mesir bergejolak.
Dikutip dari Express, Selasa (11/1/2022), penelitian terbaru menemukan bukti kalau Raja Tut tidak dibunuh. Kerusakan di tulang tengkorak kemungkinan karena pemindahan paksa mumi dari petinya.
Karena ketika ditemukan pada 1922 oleh arkeolog Dr Howard Carter, peneliti berusaha memindahkan mumi tersebut dari sarkofagus. Padahal saat itu mumi dimakamkan dengan cara menempel menggunakan resin ke peti mati.
Ahli radiologi Ashraf Selim mengatakan kepada National Geographic, beberapa bagian tulang Raja Tut yang lepas disebabkan upaya pertama peneliti ketika berusaha melepaskan topeng emas yang dipakai mumi tersebut. "Kematian ini bukan karena dibunuh, saya pikir ini adalah akhir teori pembunuhan," katanya.
Tim peneliti kini beralih ke kaki kiri Raja Tut yang menunjukkan bahwa patah tulang paha mungkin memainkan peran penting dalam kematiannya. Lapisan tipis resin pembalseman dapat dilihat pada CT scan di sekitar area fraktur.
Kini peneliti berspekulasi bahwa beberapa gangguan melemahnya kondisi Raja Tut karena faktor patah kaki dan infeksi parah sehingga menyebabkan kematian.
“Resin mengalir melalui luka dan bersentuhan langsung dengan fraktur dan menjadi padat, sesuatu yang tidak kami lihat di area lain. Kami juga tidak dapat menemukan tanda-tanda penyembuhan tulang,” katanya.
Mengingat bahwa tidak ada antibiotik pada 3.000 tahun yang lalu, sangat mungkin bahwa infeksi parah terjadi. "Mungkin infeksi itu yang membunuhnya," katanya.
Sementara itu, tim arkeolog Jerman berpendapat Raja Tut meninggal karena penyakit kelainan darah yang disebut sickle-cell disease (SCD).
Christian Timmann dan Christian Meyer menunjukkan bahwa SCD adalah penyebab paling umum dari kerusakan tulang seperti Raja Tut.
Orang dengan SCD masih dapat membawa parasit malaria dalam darahnya, meskipun kekebalannya meningkat karena adanya gen sel sabit. Ini akan menjelaskan mengapa mereka mendeteksi gen parasit malaria di mumi Raja Tut.
(ysw)