Mengenal Novichok, Senjata Kimia Buatan Rusia Era Perang Dingin
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kecanggihan ilmu teknologi yang dimiliki Rusia tak perlu diragukan lagi. Negara berjuluk Beruang Merah itu telah membuktikan hal tersebut, salah satunya melalui serangkaian senjata dan peralatan militer yang supercanggih.
Tak hanya memiliki serangkaian peralatan militer, ketika masih bernama Uni Soviet, Rusia diketahui memiliki senjata kimia yang sangat mematikan bernama Novichok yang berarti “Pendatang Baru” dalam bahasa Rusia.
Diberikan nama tersebut karena merupakan racun versi terbaru yang dikenal sebagai “binari”. Racun ini memiliki kelebihan yaitu lebih mudah disembunyikan ketika ada pemeriksaan senjata.
Novichok awalnya dikembangkan oleh Uni Soviet pada 1970 dan 1980-an. Senjata kimia generasi keempat dengan nama kode Foliant ini merupakan racun saraf terkuat yang bisa diberikan dalam bentuk cairan, bubuk, maupun aerosol.
Racun ini termasuk dalam kelas senyawa yang disebut inhibitor kolinesterase yang digunakan dalam berbagai macam obat-obatan dan racun. Senyawa racun ini menyerang neutrotransmitter, senyawa kimia tubuh yang memiliki fungsi menyampaikan pesan dari satu sel saraf ke saraf lainnya yang berada di kelenjar, otot, atau bagian tubuh lainnya.
Para Ilmuwan yang terlibat dalam pembuatan Novichok ini menggambarkan bahwa racun tersebut sangat berbahaya dan dapat menimbulkan masalah kesehatan jangka panjang yang serius. Racun ini bisa diatasi dengan bahan kimia atropin dan oksim, namun jika pengobatan berhasil pun korban tetap menderita kerusakan permanen.
Saat terpapar racun, gejala akan muncul dalam rentang waktu tiga puluh detik hingga dua menit. Gejala tersebut bisa meliputi kejang-kejang, kesulitan bernapas, tekanan darah tinggi, penurunan denyut jantung hingga henti jantung atau kematian.
Melansir laman New York Times, racun ini juga pernah dicurigai dipakai dalam kasus Sergei V Skripal, pensiunan intelijen militer Rusia dan agen ganda untuk Inggris. Dia ditemukan tidak sadarkan diri di taman pada 4 Maret 2018 bersama putrinya dan menunjukkan gejala akibat racun Novichok.
Badan Intelijen Inggris mengidentifikasi zat tersebut sebagai Novichok dan menuduh Rusia berperan atas kejadian itu. Namun, Presiden Rusia Vladimir Putin membantah terlibat. Beberapa bulan sebelum kejadian, Putin menyatakan bahwa Rusia telah menghancurkan semua senjata kimianya.
Duta Besar Rusia untuk PBB mengatakan bahwa pekerjaan pengembangan agen racun era Soviet telah dihentikan sejak tahun 1992 dan persediaannya telah hancur pada tahun 2017.
Pada bulan September 2017, Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) mengonfirmasi penghancuran total 39.967 metrik ton senjata kimia yang dimiliki Rusia. Namun, melansir laman bbc.com, dalam penghancuran itu Novichoks tidak pernah diumumkan ke OPCW.
Pada Agustus 2020, Alexei Navalny, seorang pemimpin oposisi Rusia, diduga juga diracun dengan racun saraf Novichok ketika hendak terbang ke Siberia. Hal itu diungkapkan oleh pemerintahan Jerman lantaran di tubuhnya terdapat senjata kimia Novichok.
Lihat Juga: Negara Pendiri BRICS yang Mulai Ragu Tinggalkan Dolar AS, Salah Satunya Musuh Amerika Serikat
Tak hanya memiliki serangkaian peralatan militer, ketika masih bernama Uni Soviet, Rusia diketahui memiliki senjata kimia yang sangat mematikan bernama Novichok yang berarti “Pendatang Baru” dalam bahasa Rusia.
Diberikan nama tersebut karena merupakan racun versi terbaru yang dikenal sebagai “binari”. Racun ini memiliki kelebihan yaitu lebih mudah disembunyikan ketika ada pemeriksaan senjata.
Novichok awalnya dikembangkan oleh Uni Soviet pada 1970 dan 1980-an. Senjata kimia generasi keempat dengan nama kode Foliant ini merupakan racun saraf terkuat yang bisa diberikan dalam bentuk cairan, bubuk, maupun aerosol.
Racun ini termasuk dalam kelas senyawa yang disebut inhibitor kolinesterase yang digunakan dalam berbagai macam obat-obatan dan racun. Senyawa racun ini menyerang neutrotransmitter, senyawa kimia tubuh yang memiliki fungsi menyampaikan pesan dari satu sel saraf ke saraf lainnya yang berada di kelenjar, otot, atau bagian tubuh lainnya.
Para Ilmuwan yang terlibat dalam pembuatan Novichok ini menggambarkan bahwa racun tersebut sangat berbahaya dan dapat menimbulkan masalah kesehatan jangka panjang yang serius. Racun ini bisa diatasi dengan bahan kimia atropin dan oksim, namun jika pengobatan berhasil pun korban tetap menderita kerusakan permanen.
Saat terpapar racun, gejala akan muncul dalam rentang waktu tiga puluh detik hingga dua menit. Gejala tersebut bisa meliputi kejang-kejang, kesulitan bernapas, tekanan darah tinggi, penurunan denyut jantung hingga henti jantung atau kematian.
Melansir laman New York Times, racun ini juga pernah dicurigai dipakai dalam kasus Sergei V Skripal, pensiunan intelijen militer Rusia dan agen ganda untuk Inggris. Dia ditemukan tidak sadarkan diri di taman pada 4 Maret 2018 bersama putrinya dan menunjukkan gejala akibat racun Novichok.
Badan Intelijen Inggris mengidentifikasi zat tersebut sebagai Novichok dan menuduh Rusia berperan atas kejadian itu. Namun, Presiden Rusia Vladimir Putin membantah terlibat. Beberapa bulan sebelum kejadian, Putin menyatakan bahwa Rusia telah menghancurkan semua senjata kimianya.
Duta Besar Rusia untuk PBB mengatakan bahwa pekerjaan pengembangan agen racun era Soviet telah dihentikan sejak tahun 1992 dan persediaannya telah hancur pada tahun 2017.
Baca Juga
Pada bulan September 2017, Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) mengonfirmasi penghancuran total 39.967 metrik ton senjata kimia yang dimiliki Rusia. Namun, melansir laman bbc.com, dalam penghancuran itu Novichoks tidak pernah diumumkan ke OPCW.
Pada Agustus 2020, Alexei Navalny, seorang pemimpin oposisi Rusia, diduga juga diracun dengan racun saraf Novichok ketika hendak terbang ke Siberia. Hal itu diungkapkan oleh pemerintahan Jerman lantaran di tubuhnya terdapat senjata kimia Novichok.
Lihat Juga: Negara Pendiri BRICS yang Mulai Ragu Tinggalkan Dolar AS, Salah Satunya Musuh Amerika Serikat
(ysw)