150 Rumah Bersejarah Era Ottoman di Gaza Terabaikan
loading...
A
A
A
GAZA - Gaza memiliki sekitar 150 rumah penting arkeologi dari era Ottoman yang berusia sekitar 450 tahun. Sebagian besar rumah bersejarah ini terabaikan karena kekurangan dana dan pengepungan yang berkepanjangan.
“Kementerian Pariwisata dan Purbakala bertanggung jawab atas rumah-rumah kuno tersebut. Namun, karena keadaan pengepungan Gaza dan sumber daya yang terbatas, Kementerian tidak memiliki sumber daya untuk memulihkan semua rumah ini,” kata Jamal Abu Raida, Direktur Pendanaan Purbakala Kementerian Pariwisata Palestina dikutip dari Palestinechronicle, Jumat (2/12/2022).
Pusat Reyad El-Alami untuk Warisan Palestina adalah rumah kuno di Lingkungan Daraj di Kota Tua Gaza. Usianya lebih dari 430 tahun dan berasal dari Era Ottoman. “Rumah kuno ini kekurangan infrastruktur dasar, seperti listrik dan air,” kata Abdul Hamid Rushdi Al-Alami yang bertanggung jawab atas rumah itu.
Rumah itu juga terkena dampak banyak perang, berupa pecahan kaca, pecahan tong, dan atap yang roboh. Terlepas dari semua ini, tidak ada bantuan yang pernah diterima.
Rumah itu pertama kali dihuni lebih dari 100 tahun lalu, oleh tujuh keluarga. Rumah itu juga penuh dengan kenangan pemiliknya. Di sinilah pemilik tumbuh dan mengalami suka dan duka.
“Banyak tawaran masuk untuk menghancurkan rumah dan mengubahnya menjadi proyek komersial, tetapi kami sebagai keluarga menolak. Kami ingin tempat ini tetap terbuka sebagai cara untuk memperkenalkan orang-orang akan pentingnya warisan Palestina,” kata Abu Hussein, pemilik rumah.
Berbeda dengan rumah Al-Alami, properti lain, Bait Sitti, mampu melestarikan fasilitas aslinya dan menjaga keutuhan sejarah arkeologisnya yang signifikan. Bangunan ini telah ada selama lebih dari 450 tahun. Baru-baru ini diubah menjadi restoran dan terletak di lingkungan zaitun Kota Gaza.
“Karena restoran Bait Sitti sudah sangat tua, terkadang pasir jatuh dari dindingnya. Pekerja kami rajin membersihkannya dan pemerintah merawatnya saat kami perlu memulihkannya,” kata Ahmed Fayez Al-Assi, putra pemilik Bait Sitti.
Pelestarian dan menghidupkan kembali kenangan berharga adalah pengalaman unik di tempat ini. Bait Sitti berbeda dari restoran lain dalam hal musim, karena Anda akan menemukan restoran tetap sejuk di musim panas dan hangat di musim dingin.
Ada banyak rumah kuno di Gaza yang dihancurkan untuk mencari keuntungan finansial atau karena kurangnya kesadaran publik. Dari rumah yang tersisa, Pemerintah Kota dan Iwan Center berusaha sekuat tenaga untuk melestarikannya.
Iwan Center mampu menghidupi 2 atau 3 rumah kuno ini setiap tahunnya. Namun, banyak lainnya membutuhkan dukungan pemerintah yang signifikan untuk membantu melestarikan warisan kuno Palestina.
Iwan Center adalah unit dari Fakultas Teknik di Universitas Islam Gaza yang bertujuan untuk melestarikan warisan perkotaan Palestina dan mendidik tentang nilai budayanya. Sebuah studi baru-baru ini oleh Center menemukan bahwa untuk renovasi rumah arkeologi Pusat Reyad El-Alami dibutuhkan biaya lebih dari USD29.000 atau Rp446,5 miliar.
“Iwan Center dapat memulihkan sebagian rumah pada tahun 2009 dengan bantuan Palang Merah. Sejak saat itu, pemilik hanya mampu mengembalikan sedikit yang mereka bisa,” sebut Al-Alami.
“Kementerian Pariwisata dan Purbakala bertanggung jawab atas rumah-rumah kuno tersebut. Namun, karena keadaan pengepungan Gaza dan sumber daya yang terbatas, Kementerian tidak memiliki sumber daya untuk memulihkan semua rumah ini,” kata Jamal Abu Raida, Direktur Pendanaan Purbakala Kementerian Pariwisata Palestina dikutip dari Palestinechronicle, Jumat (2/12/2022).
Pusat Reyad El-Alami untuk Warisan Palestina adalah rumah kuno di Lingkungan Daraj di Kota Tua Gaza. Usianya lebih dari 430 tahun dan berasal dari Era Ottoman. “Rumah kuno ini kekurangan infrastruktur dasar, seperti listrik dan air,” kata Abdul Hamid Rushdi Al-Alami yang bertanggung jawab atas rumah itu.
Rumah itu juga terkena dampak banyak perang, berupa pecahan kaca, pecahan tong, dan atap yang roboh. Terlepas dari semua ini, tidak ada bantuan yang pernah diterima.
Rumah itu pertama kali dihuni lebih dari 100 tahun lalu, oleh tujuh keluarga. Rumah itu juga penuh dengan kenangan pemiliknya. Di sinilah pemilik tumbuh dan mengalami suka dan duka.
“Banyak tawaran masuk untuk menghancurkan rumah dan mengubahnya menjadi proyek komersial, tetapi kami sebagai keluarga menolak. Kami ingin tempat ini tetap terbuka sebagai cara untuk memperkenalkan orang-orang akan pentingnya warisan Palestina,” kata Abu Hussein, pemilik rumah.
Berbeda dengan rumah Al-Alami, properti lain, Bait Sitti, mampu melestarikan fasilitas aslinya dan menjaga keutuhan sejarah arkeologisnya yang signifikan. Bangunan ini telah ada selama lebih dari 450 tahun. Baru-baru ini diubah menjadi restoran dan terletak di lingkungan zaitun Kota Gaza.
“Karena restoran Bait Sitti sudah sangat tua, terkadang pasir jatuh dari dindingnya. Pekerja kami rajin membersihkannya dan pemerintah merawatnya saat kami perlu memulihkannya,” kata Ahmed Fayez Al-Assi, putra pemilik Bait Sitti.
Pelestarian dan menghidupkan kembali kenangan berharga adalah pengalaman unik di tempat ini. Bait Sitti berbeda dari restoran lain dalam hal musim, karena Anda akan menemukan restoran tetap sejuk di musim panas dan hangat di musim dingin.
Ada banyak rumah kuno di Gaza yang dihancurkan untuk mencari keuntungan finansial atau karena kurangnya kesadaran publik. Dari rumah yang tersisa, Pemerintah Kota dan Iwan Center berusaha sekuat tenaga untuk melestarikannya.
Iwan Center mampu menghidupi 2 atau 3 rumah kuno ini setiap tahunnya. Namun, banyak lainnya membutuhkan dukungan pemerintah yang signifikan untuk membantu melestarikan warisan kuno Palestina.
Iwan Center adalah unit dari Fakultas Teknik di Universitas Islam Gaza yang bertujuan untuk melestarikan warisan perkotaan Palestina dan mendidik tentang nilai budayanya. Sebuah studi baru-baru ini oleh Center menemukan bahwa untuk renovasi rumah arkeologi Pusat Reyad El-Alami dibutuhkan biaya lebih dari USD29.000 atau Rp446,5 miliar.
“Iwan Center dapat memulihkan sebagian rumah pada tahun 2009 dengan bantuan Palang Merah. Sejak saat itu, pemilik hanya mampu mengembalikan sedikit yang mereka bisa,” sebut Al-Alami.
(wib)