Peneliti LIPI Yuliati Herbani: Menjawab Tantangan Dunia Sains

Minggu, 11 Februari 2018 - 08:48 WIB
Peneliti LIPI Yuliati...
Peneliti LIPI Yuliati Herbani: Menjawab Tantangan Dunia Sains
A A A
SATU lagi perempuan peneliti yang menang dalam kompetisi sains tingkat nasional. Dia adalah Yuliati Herbani dengan proposol penelitian bertajuk "Pengembangan Nanopartikel Kurkumin-Emas (Cur-GNPs) untuk Aplikasi Terapi Kanker".

Yuli –sapaan Yuliati– memanfaatkan tanaman asli Indonesia, yaitu kunyit, yang telah lama dikenal mampu mematikan sel kanker, juga aplikasi nanopartikel emas (GNPs), khususnya di dalam pencitraan sel kanker. Terapi kanker itu sendiri sudah diketahui secara luas dan menjanjikan. Itu terbukti dengan makin banyaknya laporan saintifik yang beredar di dunia internasional mengenai hal ini walaupun di Indonesia belum populer.

Bagaimana penelitian ini akan memberi manfaat bagi penderita kanker dan seperti apa proses penelitiannya? Apa pula pendapat Yuli mengenai dunia penelitian di Indonesia? Simak wawancaranya dengan KORAN SINDO berikut ini.

Ide dari mana penelitian Anda atau sebelumnya pernah melakukan dan ini tinggal melanjutkan?
Sejak S-3 sampai sekarang, bidang riset saya adalah sintesis nanopartikel logam dengan metode fisika: (1) Pulse Laser Ablation in Liquid (PLAL) dan (2) Femtosecond Laser Induced Photoreduction (FLIP). Dalam metode (1), nanopartikel logam dihasilkan dari fragmentasi material bulk oleh laser di dalam medium cairan. Adapun dalam metode (2), nanopartikel dihasilkan dari proses reduksi ion logam oleh elektron-elektron tersolvasi yang dihasilkan dari reaksi fotolisis medium pelarut oleh laser. Material logam yang mudah dikembangkan adalah logam-logam mulia seperti emas, perak, platina, dan tembaga.

Nanopartikel monometalik maupun multimetalik sudah berhasil saya kembangkan melalui metode tersebut. Berbekal pengalaman ini dan dari hasil diskusi dengan dosen saya di Fisika IPB bidang Fisika Komputasi (Dr Tony Ibnu Sumaryada), beliau melemparkan ide untuk membuat konjugasi nanopartikel emas dan kurkumin. Nanopartikel kurkumin sudah terlebih dulu dikembangkan di lab biokimia IPB di bawah pimpinan Dr Laksmi Ambarsari dengan metode kimia (water-in-oil microemulsion).

Bagi saya, ide konjugasi ini bukanlah ide baru karena sudah ada beberapa peneliti di dunia yang sedang menekuni. Namun hal itu cukuplah layak untuk dieksekusi ke dalam sebuah penelitian yang formal di Indonesia mengingat kebaruan dalam hal teknik sintesis nanopartikel yang saya kuasai dan ada dukungan kolaboratif dari IPB yang telah dulu mempelajari kurkumin baik dari segi molekular docking maupun biokimianya.

Maka jadilah proposal ini yang saya ajukan ke ajang L'Oreal For Women in Science (FWIS) 2017 untuk mengkaji pemanfaatan nanopartikel emas yang dihasilkan dengan metode fisika, apakah dapat memiliki nilai lebih jika dibandingkan nanopartikel yang dihasilkan secara kimia, khususnya dalam aplikasi biomedis. Jadi proposal penelitian ini merupakan proyek baru bagi saya.

Apa harapan dari penelitian tersebut?

Ingin ikut berkontribusi pada penyediaan alternatif sintesis obat kanker dan obat kanker itu sendiri. Obat kanker yang diharapkan adalah yang memiliki efek penyembuhan ganda dan tidak punya efek samping yang justru membahayakan pasien. Adanya kurkumin yang terkonjugasi pada partikel emas saat aplikasinya pada pasien (dengan injeksi dalam darah) kurkumin bisa lepas dari nanopartikel emas dan menyebar kejangkauan yang lebih luas dari tempatnya tertambat di dalam tubuh. Dan nanopartikel yang tertinggal dapat berperan kembali selayaknya agen antikanker dalam terapi fototermal.

Hasil nanopartikel dalam penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai material agen untuk aplikasi terapi kanker di mana uji terapi kanker ini bakal dilaksanakan secara invitro bekerja sama dengan ahli biokimia dari IPB di tahun 2018/2019. Sampai saat ini baru dalam tahap pembuatan Cur-GNPs dengan metode laser dan optimalisasi berbagai parameter.

Penelitian Anda mengenai kunyit untuk mematikan kanker. Apakah Anda lebih tertarik dengan tumbuh-tumbuhan alami di Indonesia sebagai bahan penelitian?
Seperti saya ceritakan di awal, latar belakang saya hard science bidang material science nanopartikel logam yang membutuhkan bahan, alat, dan karakterisasi yang tidak murah. Dengan segala ketertinggalan teknologi kita, tren yang berkembang di kalangan peneliti Indonesia saat ini adalah back to nature, mengeksploitasi sedalam mungkin apa saja yang unik dari alam Indonesia sebagai bahan penelitian agar mampu bersaing di tingkat dunia, paling tidak dalam hal tulisan ilmiah di jurnal internasional.

Kebetulan tema-tema yang seperti ini juga yang "laku" untuk didanai di Indonesia. Beberapa kolega saya misalnya mengembangkan carbon-dot berpendar dari sampah sayur dan buah, membuat RF absorber dari paduan busa dan mikropartikel karbon sabut kelapa, atau pembuatan lapisan hidrofobik untuk cat dari bahan dasar karbon ampas kopi, dan lain-lain. Untuk kurkumin sendiri, menurut saya, belum secara maksimal digunakan sebagai pencegah kanker karena molekul kurkumin harus diekstrak terlebih dulu dari rimpang kunyit. Proses ekstraksinya panjang dan tidak murah, plus ekstraksi kurkumin dalam kunyit itu kurang lebih hanya 20% dari total massa kunyit yang diproses.

Menurut pengalaman Anda, apa suka duka menjadi peneliti?

Secara umum lebih banyak suka daripada dukanya. Mempunyai pekerjaan dan melakukan hal yang kita cintai dan dicita-citakan sejak awal, itu merupakan anugerah tersendiri yang patut disyukuri karena masih banyak yang bekerja tidak atas kehendak hati hanya karena tuntutan ekonomi, misalnya. Terlebih jika penelitian kita bisa berhasil, walau masih tahap skala lab, dan bisa menuliskan atau mengomunikasikannya dengan bangga di komunitas terkait. Ini merupakan kebahagiaan bagi saya sebagai peneliti. Pun ternyata fungsi pengajaran juga melekat pada diri peneliti ketika ada mahasiswa-mahasiswa tugas akhir yang mengadakan penelitian di lab kita.

Hubungan intens walau periodenya tidak lama (maksimum enam bulan), kombinasi satu-satu ini lebih cocok bagi saya daripada harus berdiri di depan kelas. Mungkin untuk manfaat nyata di masyarakat dari penelitian kita masih jauh. Namun sedikit kontribusi kebaruan sepatutnya dikomunikasikan agar komunitas terkait bisa mengambil langkah selanjutnya dan agar manfaat finalnya bisa terasa di masyarakat. Toh tidak harus selalu dari tangan kita semua output-nya bisa lewat tangan orang lain.

Sementara dukanya lebih terkait dalam hal di mana penelitian kita berjalan tidak seperti ekspektasi/hipotesis di awal. Banyak hal yang tidak sesuai teori. Terlebih kurangnya keberadaan kolega diskusi masalah terkait, dukungan akses literatur yang memadai menambah duka semakin dalam dan akhirnya mentok deh penelitian kita.

Apa tantangan menjadi peneliti?

Tantangan terbesar jadi peneliti, terutama peneliti bidang hard science seperti saya, adalah ide penelitian itu sendiri. Sementara peneliti di Indonesia dituntut ganda, berkarya buat masyarakat (science for society) dengan orientasi produk sekaligus berkarya untuk keilmuannya (science for science) dengan orientasi publikasi jurnal terindeks global yang dijadikan indikasi utama kinerja peneliti.

Bayangkan, kita tertinggal 75 tahun dari negara-negara maju lain. Rata-rata apa yang kita kerjakan (dan yang bisa dikerjakan) di Indonesia adalah hal yang sudah dilakukan di negara-negara tersebut. Untuk tujuan science for science saja kita harus sekreatif mungkin bisa mencari celah-celah kebaruan demi tembusnya jurnal ilmiah terindeks global.

Namun artinya ide kreatif ini belum tentu bisa terealisasi dalam bentuk produk siap pakai di masyarakat karena idenya benar-benar baru, misalnya. Di sisi lain, jika orientasinya adalah science for society, artinya kita mengulang teknologi yang sudah ada, yang sudah established di luar negeri, dan menampilkan segi kebaruan tadi. Cukup sulit menjalankan kedua hal tersebut secara selaras dan saling menunjang jika tuntutan dari pemerintah tetap sama.

Bagaimana pendapat Anda mengenai peneliti di Indonesia saat ini dan sudahkah dimanfaatkan maksimal untuk kepentingan masyarakat luas?
Menyambung pertanyaan sebelumnya, kami sebagai peneliti berada dalam himpitan dua tuntutan. Dengan berbagai kekurangan dan keterbatasan yang ada, kami selalu berusaha ada porsi untuk diseminasi dalam bentuk produk yang bermanfaat di masyarakat, walau tidak sejalan dengan core penelitian kami. Semisal produk-produk seperti planetary ball mill, insenerator sampah, pengolahan air banjir, penghancur jarum suntik, yang telah diproduksi Puslit Fisika LIPI, bukanlah sesuatu yang terlahir dari penelitian para penelitinya, tetapi lebih pada kemampuan memproduksinya saja.

Teknologinya sudah ada dan jejeg. Bukan suatu yang unik di mata dunia penelitian, namun karena manfaatnya sangat besar bagi masyarakat di Indonesia, maka kami melakukannya. Hasil-hasil penelitian yang murni/unik secara sains sepertinya masih jauh dimanfaatkan secara maksimal. Terbukti begitu banyak paten terdaftar di Indonesia yang belum juga keluar lisensinya. Artinya belum ada pemakai atau stakeholder -nya.

Kalau perempuan peneliti di Indonesia bagaimana?

Mengenai perempuan peneliti, saya bersyukur apresiasi pemerintah dan masyarakat Indonesia maupun dunia semakin lama semakin meningkat. Khususnya kesediaan porsi-porsi khusus dalam hal pendanaan riset dan beasiswa bagi perempuan peneliti. Hal ini cukup memotivasi perempuan peneliti yang sudah ada untuk terus berkarya, mengimbangi dominasi kaum pria (rasio 46:54 untuk kondisi di Indonesia) dan juga bagi kaum wanita pada umumnya untuk bercita-cita menjadi peneliti. Pun atmosfer apresiasi ini dirasakan berdampak pada perubahan iklim kerja peneliti di mana peneliti perempuan diberi ruang dan kesempatan seluas-luasnya untuk menjadi leader dalam suatu kegiatan riset.
(amm)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1030 seconds (0.1#10.140)