Sepertiga Emisi Gas Rumah Kaca Terkait Urusan Perut 7,7 Miliar Warga Bumi
Rabu, 10 Maret 2021 - 19:52 WIB
JAKARTA - Berdasarkan penelitian global terbaru, sepertiga dari semua emisi gas rumah kaca buatan manusia ternyata terkait dengan penyediaan bahan makanan di seluruh negara. Pembukaan lahan dan penggundulan hutan, penggunaan pupuk, peternakan, dan limbah semuanya berkontribusi pada emisi gas rumah kaca dari sistem untuk memberi makan 7,7 miliar orang di Bumi.
Dikutip dari Phys.org , penelitian yang dipimpin oleh European Commission's Joint Research Centre mengatakan, hasil tersebut dirangkum dari semua negara dan sektor — mulai dari produksi, pengemasan dan distribusi hingga pembuangan limbah makanan. "Sistem pangan membutuhkan transformasi," kata para peneliti kepada AFP. (Baca: Pesawat Listrik Siap Terbang Tahun 2020)
Mereka berharap database akan membantu mengidentifikasi di mana harus dimulai langkah yang efektif untuk mengurangi emisi tersebut. "Hasil kami menguatkan temuan sebelumnya tentang bagian signifikan dari emisi sistem pangan," kata para peneliti.
Sekitar setengah dari sepertiga emisi global ini merupakan hilangnya sumber karbon dioksida, terutama dari penggunaan lahan — deforestasi dan degradasi tanah organik — serta energi dari langkah-langkah seperti pengemasan, transportasi, dan pemrosesan.
Sepertiga emisi lebih lanjut berasal dari metana — yang 28 kali lebih kuat daripada CO2 sebagai gas rumah kaca selama periode 100 tahun — dilepaskan oleh ternak seperti sapi, domba dan kambing, serta dari produksi beras dan pembuangan limbah organik. (Baca juga: Memburu Alien di Mars, Ilmuwan Mencari Petunjuk di Danau Turki)
Sisanya sebagian besar adalah dinitrogen oksida dari pupuk, meskipun laporan tersebut mengatakan bahwa gas berfluorinasi yang sering ditemukan dalam lemari es memainkan peran kecil tetapi terus berkembang.
Enam penghasil sistem pangan terbesar pada tahun 2015 adalah China (13,5 persen dari total global), Indonesia dengan (8,8 persen), Amerika Serikat (8,2 persen), Brasil (7,4 persen), Uni Eropa (6,7 persen) dan India ( 6,3 persen).
Para peneliti menyerukan kebijakan untuk meningkatkan efisiensi, mengurangi emisi dalam rantai pasokan makanan, dan memungkinkan orang mengakses makanan yang lebih sehat. KArena jika dibiarkan, bisa mendorong meningkatnya pemanasan global melebihi ambang batas 1,5 derajat celcius. (Baca juga: Piknik Naik Kereta, Jangan Lupa Bawa Surat Bebas Covid)
PBB baru-baru ini mengatakan bahwa 17 persen makanan yang tersedia bagi konsumen di seluruh dunia pada tahun 2019 — hampir satu miliar ton — dibuat oleh rumah tangga, waralaba, institusi, dan industri perhotelan. Masalah ini kemungkinan akan menjadi sorotan akhir tahun ini di KTT Sistem Pangan Dunia PBB yang pertama.
Dikutip dari Phys.org , penelitian yang dipimpin oleh European Commission's Joint Research Centre mengatakan, hasil tersebut dirangkum dari semua negara dan sektor — mulai dari produksi, pengemasan dan distribusi hingga pembuangan limbah makanan. "Sistem pangan membutuhkan transformasi," kata para peneliti kepada AFP. (Baca: Pesawat Listrik Siap Terbang Tahun 2020)
Mereka berharap database akan membantu mengidentifikasi di mana harus dimulai langkah yang efektif untuk mengurangi emisi tersebut. "Hasil kami menguatkan temuan sebelumnya tentang bagian signifikan dari emisi sistem pangan," kata para peneliti.
Sekitar setengah dari sepertiga emisi global ini merupakan hilangnya sumber karbon dioksida, terutama dari penggunaan lahan — deforestasi dan degradasi tanah organik — serta energi dari langkah-langkah seperti pengemasan, transportasi, dan pemrosesan.
Sepertiga emisi lebih lanjut berasal dari metana — yang 28 kali lebih kuat daripada CO2 sebagai gas rumah kaca selama periode 100 tahun — dilepaskan oleh ternak seperti sapi, domba dan kambing, serta dari produksi beras dan pembuangan limbah organik. (Baca juga: Memburu Alien di Mars, Ilmuwan Mencari Petunjuk di Danau Turki)
Sisanya sebagian besar adalah dinitrogen oksida dari pupuk, meskipun laporan tersebut mengatakan bahwa gas berfluorinasi yang sering ditemukan dalam lemari es memainkan peran kecil tetapi terus berkembang.
Enam penghasil sistem pangan terbesar pada tahun 2015 adalah China (13,5 persen dari total global), Indonesia dengan (8,8 persen), Amerika Serikat (8,2 persen), Brasil (7,4 persen), Uni Eropa (6,7 persen) dan India ( 6,3 persen).
Para peneliti menyerukan kebijakan untuk meningkatkan efisiensi, mengurangi emisi dalam rantai pasokan makanan, dan memungkinkan orang mengakses makanan yang lebih sehat. KArena jika dibiarkan, bisa mendorong meningkatnya pemanasan global melebihi ambang batas 1,5 derajat celcius. (Baca juga: Piknik Naik Kereta, Jangan Lupa Bawa Surat Bebas Covid)
PBB baru-baru ini mengatakan bahwa 17 persen makanan yang tersedia bagi konsumen di seluruh dunia pada tahun 2019 — hampir satu miliar ton — dibuat oleh rumah tangga, waralaba, institusi, dan industri perhotelan. Masalah ini kemungkinan akan menjadi sorotan akhir tahun ini di KTT Sistem Pangan Dunia PBB yang pertama.
(ysw)
tulis komentar anda